(Umar bin Khattab)
Jika cinta menyerupai air
pada beberapa tabiat dasarnya, maka sifat utama air yang melekat padanya adalah
fakta bahwa air adalah sumber kehidupan. Jika cinta adalah gagasan tentang
bagaimana menciptakan kehidupan yang lebih baik, dan tindakan utamanya adalah
memberi untuk menumbuhkan, maka kekuatan pesona utama, seorang pencinta adalah
aura kehidupan yang memancar dari dalam dirinya.
Aura kehidupan. Ya, aura
kehidupan. Ia membuat orang–orang di sekelilingnya merasakan denyut nadi
kehidupan, merasakan hamparan keindahan hidup, merasakan alasan tentang mengapa
mereka hidup dan harus melanjutkan hidup, merasakan alasan untuk bertumbuh demi
merakit pemaknaan tiada henti terhadap kehidupan. Ia, intinya membuat
orang–orang di sekeliling merasa hidup. Sebab ia menebar benih kehidupan di
ladang hati mereka.
Aura kehidupan.Ya,
aura kehidupan. Sebab ia hidup. Dan hidup itu nyata pada setiap jengkal
tubuhnya, pada setiap detak jantungnya, pada setiap hembusan nafasnya, pada
setiap langkah kakinya, pada setiap uluran tangannya, pada setiap kedipan
matanya, pada setiap kata dan suaranya. Gagasannya seluruhnya adalah tentang
kehidupan yang lebih baik. Niatnya seluruhnya adalah penumbuhan yang membuat
hidup lebih baik.
Aura kehidupan. Ya, aura
kehidupan. Sebab ia memiliki dan menggabung tiga pesona utama para pencinta:
pesona raga, pesona jiwa, pesona ruh. Ketiga pesona tersebut terbingkai rapi
pada sebuah “akal besar” yang menerangi kehidupannya dan kehidupan orang–orang
disekitarnya.
Maka mendekat–dekatlah
padanya, niscaya engkau kan merasakan betapa air kehidupan serasa mengalir pada
setiap sudut jiwa dan ragamu. Maka tataplah matanya, niscaya engkau kan
merasakan gairah kehidupan yang memberimu semangat baru untuk terus hidup,
terus melanjutkan hidup. Maka dengarkanlah kata–katanya, maka engakau kan
merasakan betapa engkau layak dan pantas mendapat kehidupan yang berkualitas,
kehidupan yang lebih baik.
Dan jika tuhan mengijinkan
engkau merasakan sentuhannya, niscaya engkau kan merasakan betapa air kehidupan
mendidih dalam tubuhnya. Dan jika Tuhan memperkenankanmu hidup berlama-lama
dengannya, niscaya engkau kan merasakan betapa perlindungan dan penumbuhannya
membuatmu terengkuh dalam rasa aman dan nyaman.
Engkau bahkan tidak pernah
begitu yakin tentang pesona apa yang pertama kali menawanmu. Apakah kulit hitam
yang tidak dapat menyembunyikan cahaya matanya? Atau ketegasan sikap yang tidak
dapat merahasiakan kebajikan hatinya? Atau kelembutan bawaan yang tidak sanggup
menutup–nutupi keberaniannya? Atau diam panjang yang tidak mampu menghalangi
ilmu dan wawasannya? Atau badan kurus yang dijelaskan oleh puasa dan
pengendalian dirinya? Atau?
Tidak! Semua tampak menyatu
dalam dirinya: ruhnya yang halus, jiwanya yang lembut, terbungkus dalam raganya
yang kokoh, terangkai dalam perilaku yang terbimbing akal besarnya. Tapi itu
semua ada dalam dirinya. Dan ketika Ia keluar, ia hanya memancarkan satu hal:
aura kehidupan.
Dan itulah yang engkau rasakan dan yang mungkin sekali tidak engkau ketahui asal muasal dak akarnya dalam dirinya. Dia bukan nabi yang tak mungkin salah. Dia hanya sebuah tekad perbaikan berkesinambungan yang tak henti–henti. Dan itulah aura kehidupan: gairah yang tidak pernah selesai.
Puisi yang terlalu seadanya
memang tak memberi rasa apa-apa. Puisi perlu greget. Perlu hentakan. Begitu
juga ungkapan cinta. Cinta hanya bekerja jika ia membara. Dan baranya
meletup-letup lewat kata.
Qur’an tidak mengingkari itu.
Virus penyakit yang disebut Qur’an sebenarnya terletak pada kadar kebohongan
yang menyertai dramatisasi itu. Begitu juga ungkapan rasa cinta yang terlalu
berlebihan sering mengandung kebohongan. Bisa karena tidak berakar di hati.
Bisa juga karena tidak mengandung kebenaran. Atau mengandung kebenaran, tapi
tidak berakar pada hati. Yang benar tapi tidak ada di hati adalah kebohongan.
Yang tidak benar tapi ada di hati adalah kesalahan.
Yang terakhir ini misalnya lagu berikut ini :
Semua yang ada padamu
Oh membuat diriku tiada berdaya
Hanyalah untukmu
Hanyalah bagimu
Seluruh hidup dan cintaku
Ungkapan itu mungkin berakar
di hati. Tapi mengandung makna pengabdian dan penyerahan diri yang total kepada
sang kekasih. Dan itu yidak boleh terjadi dalam cinta jiwa atau cinta sesame
manusia. Itu hanya untuk Allah SWT.
Di sinilah letak tantangan
bagi para pecinta; bagaimana menemukan ungkapan yang benar dan tepat bagi bara
cinta yang meletup-letup dalam bara jiwa? Yang pertama tentu saja menemukan
persoalan dasarnya; apakah memang ada bara dalam jiwa? Ini jelas sangat
mendasar untuk memastikan bahwa “tidak ada dusta kita”.
Yang kedua adalah menemukan
kata yang benar dan tepat. Benar pada maknanya, tapi tepat melukiskan suasana
jiwa. Ini membutuhkan penghayatan yang dalam, keakraban dengan diri sendiri
yang kental, cita rasa keindahan dan kekayaan bahasa.
Melukis bara cinta dalam jiwa
memang membutuhkan kata yang kuat agar baranya nyata dalam pandangan sang
kekasih. Tapi tidak harus menakar dengan objektif, seberapa panas bara yang
hendak kita lukis. Ini untuk memastikan bahwa kata tidak melampaui panasnya
bara, atau kata tidak melukis semua panas bara secara utuh.
Akhirnya memang, kejujuran dan kebenaran adalah kata kunci di balik semua dramatisasi cinta yang manis. Hanya itu. Jika tidak, pasti akan ada kesalahan dalam bahasa cinta kita. Tidak mudah memang, tapi begitulah cinta, selalu punya syaratnya sendiri.
Keagungan. Keluhuran.
Ketinggian. Hanya itu yang ada pada cinta misi. Romantikanya juga ada. Tapi
tetap dalam bingkai itu. Kita sebut itu romantika perjuangan. Seperti kita
memandang indahnya pelangi yang menggores langit. Mengagumkan. Mempesona. Tapi
ada jarak. Itu keindahan yang dilukis oleh nilai: kekuatan yang memvisualisasi
sisi malaikat dari dalam diri kita ke kanvas kenyataan, lalu melegenda dalam
riwayat sejarah.
Tapi manusia tercipta dari
tanah. Dan tanah punya tabiatnya sendiri. Juga punya rasa, punya mau, punya
hajatnya sendiri. Juga punya permintaannya sendiri dari asal usul ini kehidupan
manusia tersublimasi menjadi riwayat yang rumit dan kompleks. Begitu juga cinta
jiwa yang lahir dari sini. Kalau dalam cinta misi perasaan bergerak mengikuti
pikiran dan nilai, dalam cinta jiwa perasaan bergerak memenuhi kebutuhannya
sendiri. Kebutuhan akan kegenapan. Kebutuhan akan kesatuan.
Sendiri. Sepi. Itu musuh jiwa manusia. Sebab alam ini
termasuk kita-tercipta berpasangan. Begitu juga kita: kita semua punya pasangan
hidup dalam perkawinan dan pasangan social dalam bermasyarakat. Perjalanan
menemukan pasangan jiwa adalah kebutuhan eksistensial. Sampai kita menembus
ruang dan waktu yang panjang: “sebab keterpisahan ini,” kata Rumi, “hanya tipu
daya waktu.”
Sebab ia lahir dari kebutuhan
akan kegenapan dan kesatuan, maka cinta jiwa mensyaratkan adanya penerimaan.
Tidak ada pertemuan tanpa penerimaan. Syarat ini tidak selalu ada dalam cinta
misi. Tapi syarat ini pula yang membuat cinta jiwa menjadi rumit. Sebab asas
penerimaan jiwa ini juga beragam. Ada factor kesamaan. Ada factor kegenapan.
Ada factor keseimbangan. Seperti dua sungai besar yang bertemu dalam samudera
yang sama lalu menciptakan gelombang cinta yang dahsyat. Itu yang lahir dari
kesamaan.
Atau lidah api yang
menyala-nyala namun dipadamkan oleh air yang sejuk. Cinta yang ini lahir dari
kebutuhan akan keseimbangan. Atau seperti air yang bening yang mengaliri lahan
tanah yang subur lalu melahirkan taman kehidupan yang indah. Ini kegenapan jiwa
yang melahirkan cinta.
Kerumitan terletak pada
pencarian “meeting point”
dari dua jiwa. Itu pada kesamaan atau kegenapan atau keseimbangan antara dua
karakter. Hampir tidak ada pertemuan jiwa di luar ketiga meeting point itu.
Bayangkanlah jika yang terjadi sebaliknya. Api bertemu angin akan menciptakan
kebakaran yang ganas. Air bertemu angin yang melahirkan gelombang tsunami.
Baik dalam perkawinan atau perkawanan kita menemukan kerumitan itu. Itu masalah kecocokan. Sebab harus ada dua tangan untuk bisa bertepuk. Dua jiwa hanya mungkin bisa bertemu dan menyatu jika hajat mereka sama. Hikmah itulah yang disampaikan Rasullullah saw, “Jiwa-jiwa itu ibarat prajurit-prajurit yang dibaris-bariskan. Yang saling mengenal di antara mereka pasti akan saling melembut dan menyatu. Yang tidak saling mengenal di antara mereka pasti akan saling berbeda dan berpisah.”
Bukan hanya
kelezatan ruhani. Cinta misi juga memberikan kita kelezatan lain. Kelezatan
akal batin. Akal adalah kekuatan yang memberi kita kemampuan memahami. Akal
memproses semua informasi yang masuk ke dalam otak kita melalui panca indera
atau penalaran. Hasil pemrosesan itulah yang kemudian melahirkan sikap dan
tindakan. Buah dari akal itulah yang selanjutnya kita sebut pikiran. Tapi dalam
diri manusia ada kemampuan yang lebih tinggi. Yaitu kemampuan untuk memikirkan
pikiran-pikiran yang merupakan buah proses akal. Ini adalah pikiran di atas
pikiran. Atau akal kedua. Atau akal batin.
Seperti
ketika kita memandang awan dari bumi, ia akan tampak satu lapis gugus awan.
Tapi ketika kita naik pesawat, kita akan menemukan bahwa awan itu ternyata
adalah gugus berlapis. Kemampuan untuk memikirkan pikiran, baik pikiran kita
sendiri atau pikiran orang lain, akan memberikan kita kelezatan yang luar
biasa. Bayangkanlah anda memandang sesosok tubuh dengan pakaian lengkap. Tapi
sorot mata anda mampu menembus ke dalam tubuhnya dan menyaksikan semua yang ada
di sana. Seperti isi bagasi yang terlihat jelas dalam X-Ray. Itu kelezatan:
karena pengetahuan ini memberi kita kesadaran yang berbeda.
Dan kelezatan itulah yang kita rasakan dalam cinta
misi. Ini sedikit berbeda dengan kelezatan ruhani. Kelezatan ruhani bersifat
vertikal dan terkait dengan perasaan diterima di sisi Allah serta janji surga
di akhirat. Sedang kelezatan akal batin bersifat horizontal dan terkait dengan
kesadaran serta pemahaman yang mendalam tentang dunia batin anak manusia,
tentang pergolakan jiwanya dalam mewadahi pertarungan antara sisi baik dan sisi
buruknya, tentang peristiwa menang kalah dalam pertarungan itu. Memahami itu
semua ibarat menyerap air kehidupan melalui pori-pori akal kita. Kelezatan akal
batin terkait dengan perasaan kebermaknaan…Perasaan bahwa kita menyelamatkan
orang lain…Perasaan bahwa sebagai peserta kehidupan alam raya, kita telah ikut
berpartisipasi menciptakan kehidupan manusia yang lebih baik… perasaan bahwa
kita bermanfaat bagi orang banyak…Perasaan bahwa di laut kehidupan yang luas
ini kita telah ikut menyumbangkan beberapa tetes air…
Kesadaran
itu menyatukan diri kita dengan orang lain di sekeliling kita dan dengan alam
yang mengitari kita. Sebab cinta misi lahir untuk menciptakan kehidupan yang
lebih baik bagi manusia. Sebab cinta misi tumbuh untuk membuat bumi jadi
sepotong surga yang nyaman dihuni. Kita menyatu sebagai manusia: pada
asal-usul, pada jalan hidup, pada tujuan akhir. Ini kesatuan kemanusiaan yang
membuat space of human entity kita terbentang begitu luas di jagat raya dan di
alam batin.
Perasaan itu mengalirkan kelezatan akal batin kita. Seperti kelezatan raga yang kita rasakan saat kita menghirup udara bersih musim semi. Atau angin sepoi di penghujung senja. Kelezatan akal batin itulah yang terangkum dalam sabda Sang Rasul: “Bahwa Allah memberi hidayah kepada seorang manusia melalui usahamu adalah lebih baik bagimu dari seluruh dunia dan isinya.”
Cinta misi
hanya bersemi dari nurani yang hidup. Tapi dari manakah nurani kita menemukan
kehidupan? Dari cinta Allah dan cinta kebenaran. Inilah cintanya cinta. Denyut
kehidupan nurani adalah tanda-tandanya. Cinta misi adalah buahnya.
Cerita-cerita
keagungan yang kita warisi dari sejarah sesungguhnya merupakan penampakan cinta
misi dari waktu ke waktu. Ia mengejawantah pada karya-karya ilmiah para ulama,
pada darah dan air mata syuhada, pada keadilan para pemimpin, pada kasih sayang
para duat (dai), pada kelembutan para guru.
Tidak ada karya besar tanpa cinta misi. Itu yang
membuat cinta ini jadi teramat agung. Sekaligus rumit. Karena seluruh isinya
adalah karya. Adalah kerja. Adalah memberi. Tanpa pernah terpengaruh oleh
penerimaan dan penolakan. Penerimaan mungkin menguatkannya. Tapi penolakan
tidak mengendurkannya.
Pertanyaan
kemudian muncul di sini. Dari mana mereka menemukan energi itu? Apa yang
membuat mereka sanggup berkarya dan memberi terus menerus, sementara
kadang-atau bahkan sering sekali-mereka tidak dipahami atau bahkan terabaikan
oleh orang-orang yang justru mereka cintai? Pasti ada rahasia hati yang mereka
simpan dengan rapih. Tapi apakah rahasia hati itu?
Kelezatan
ruhani. Itulah rahasianya. Yang mereka cintai sesungguhnya adalah Allah, adalah
kebenaran, adalah misi hidup mereka. Bukan orang, atau benda atau bentuk
apapun.
Yang mereka
rindukan adalah surga abadi, adalah bidadari-bidadari yang kelak akan mengitari
mereka, adalah pandangan mata pada cahaya wajah Allah. Bukan pujian dan
penerimaan manusia.
Manusia
hanya medan karya tempat cinta mengejawantah. Maka Allah memberi mereka
kelezatan demi kelezatan setiap kali cinta itu mengejawantah.
Kelelahan-kelelahan melahirkan kegembiraan ruhani, kelezatan yang melahirkan
energi baru untuk terus mengejawantahkan cinta.
Seperti
orgasme yang kita rasakan pada setiap keintiman fisik, dan mengajak kita untuk
mengulangi dan mengulangi, seperti itulah Allah memberi kelezatan ruhani.
Setiap kali cinta pada Nya mengejawantah pada cinta misi, setiap kali cinta
vertikal itu mengejawantah pada horizon kehidupan manusia.
Kelezatan
ruhani itulah sumber energinya. Disana makna-makna penerimaan, keberartian,
keterhormatan, keberanian hati, merasuk ke serat-serat jiwa dan melapangkan
serta meluaskannya sampai ia tampak bagai karpet merah nan empuk di tengah
gurun luas yang tersambung dengan kaki langit.
Itulah
kelezatan ruhani yang dirasakan Khalid bin Walid dari kecamuk perang, atau
Utsman saat berinfak, atau Umar saat mengantar gandum di tengah malam pada
rakyat miskin, atau Sayyid Quthub menjelang digantung.
Kelezatan ruhani itu adalah ledakan kegembiraan yang mendengung di cakrawala kesadaran batin kita. Orang-orang tidak menyaksikannya. Tapi mereka merasakan penampakannya. Maka seorang ahli ibadah mengatakan: “Seandainya para raja mengetahui kelezatan yang kita rasakan dalam ibadah ini mereka pasti akan menyiksa kita untuk merampas kelezatan itu.”
Taman
punya kita berdua
Tak lebar luas, kecil saja
Satu tak kehilangan lain didalamnya
Bagi kau dan aku cukuplah
Itu
penggalan puisi Chairil Anwar, 1943, tentang rumahnya yang disebut taman. Taman
hati. Taman hidup. Sempit ruangnya. Tapi cinta membuatnya jadi terasa cukup
lapang dalam dada. Cinta membuatnya nyaman dihuni:
Kecil, penuh
surya taman kita
Tempat merenggut dari dunia dan manusia
Kenyamanan.
Itu rahasia jiwa yang diciptakan cinta: maka kita mampu bertahan memikul beban
hidup, melintasi aral kehidupan, melampaui gelombang peristiwa, sambil tetap
merasa aman dan teduh. Cinta menciptakan kenyamanan yang bekerja menyerap semua
emosi negatif masuk kedalam serat-serat jiwa melalui himpitan peristiwa
kehidupan. Luka-luka emosi yang kita alami di sepanjang jalan kehidupan ini
hanya mungkin di rawat di sana: dalam rumah cinta.
Dalam rumah cinta itu kita menemukan system
perlindungan emosi yang ampuh. Mary Carolyn Davies mengungkapkannya dengan
manis:
Ada sebuah
tembok yang kuat
Di sekelilingku yang melindungiku
Dibangun dari kata-kata yang kau ucapkan padaku
Jiwa yang
terlindungi akan cepat bertumbuh dan berbuah. Sederhana saja. Karena hakikat
cinta selamanya hanya satu: memberi. Memberi semua kebaikan yang tersimpan
dalam jiwa. Melalui tatapan mata, kata atau tindakan. Jika kita terus menerus
memberi, maka kita akan terus menerus menerima. Pemberian jiwa itu memberikan
kekuatan kebajikan yang sering tertidur dalam jiwa manusia. Seperti pohon: pada
mulanya ia menyerap matahari dan air, untuk kemudian mengeluarkan semua
kebajikan yang ada didalam dirinya: buahnya, keindahannya.
Dalam rumah
yang penuh cinta itu kita menemukan rasa aman, kenyamanan dan kekuatan untuk
terus bertumbuh. Itu sebabnya rumah yang begitu menghadirkan surga dalam
kehidupan kita. Rumah itu pasti utuh. Dan abadi. Adakah doa cinta yang lebih
agung daripada apa yang diajarkan sang Rasul kepada kita di malam pertama saat
kita meletakkan dasar dari hubungan jiwa yang abadi? Letakkan tangan kananmu
diatas ubun-ubun istrimu, lalu ucapkan do’a ini dengan lembut:
Ya Allah, aku
mohon pada-Mu kebaikan perempuan ini
Dan semua kebaikan yang tercipta bersama penciptaannya.
Kulitnya
hitam. Wajahnya jelek. Usianya tua. Waktu pertama kali masuk ke rumah wanita
itu, hampir saja ia percaya kalau ia berada di rumah hantu. Lelaki kaya dan
tampan itu sejenak ragu kembali. Sanggupkah ia menjalani keputusannya? Tapi ia
segera kembali pada tekadnya. Ia sudah memutuskan untuk menikahi dan mencintai
perempuan itu. Apapun resikonya.
Suatu saat,
perempuan itu datang padanya, “Ini emas-emasku yang sudah lama kutabung,
pakailah ini untuk mencari wanita idamanmu, aku hanya membutuhkan status bahwa
aku pernah menikah dan menjadi seorang istri.” Tapi lelaki tua itu malah
menjawab, “Aku sudah memutuskan untuk mencintaimu. Aku takkan menikah lagi.”
Semua orang terheran-heran. Kelaurga itu tetap utuh
sepanjang hidup mereka. Bahkan mereka kemudian dikaruniai anak-anak dengan
kecantikan dan ketampanan yang luar biasa. Bertahun-tahun kemudian orang-orang
ini menanyakan rahasia ini padanya. Lelaki tua itu menjawab enteng, “Aku
memutuskan untuk mencintainya. Aku berusaha melakukan yang terbaik. Tapi
perempuan itu melakukan semua kebaikan yang bisa ia lakukan untukku. Sampai aku
bahkan tidak pernah merasakan kulit hitam dan wajah jeleknya dalam kesadaranku.
Yang kurasakan adalah kenyamanan jiwa yang melupakan aku pada fisik.”
Begitulah
cinta ketika ia terurai laku. Ukuran integritas cinta ia bersemi dalam hati…
terkembang dalam kata, terurai dalam laku. Kalau hanya berhenti dalam hati, itu
cinta yang lemah dan tidak berdaya. Kalau hanya berhenti dalam kata, itu cinta
yang disertai kepalsuan dan tidak nyata. Kalau cinta sudah terurai laku, cinta
itu sempurna seperti pohon; akarnya terhujam dalam hati, batangnya tegak dalam
kata, buahnya menjumbai dalam laku. Persis seperti iman, terpatri dalam hati,
terucap dalam lisan, dan dibuktikan oleh amal.
Semakin
dalam kita merenungi makna cinta, semakin kita temukan fakta besar ini: bahwa
cinta hanya kuat ketika ia datang dari pribadi yang kuat; bahwa integritas
cinta hanya mungkin lahir dari pribadi yang juga punya integritas. Karena cinta
adalah keinginan baik kepada orang yang kita cintai yang harus menampak setiap
saat sepanjang kebersamaan.
Rahasia
sebuah hubungan yang sukses bertahan dalam waktu yang lama adalah pembuktian
cinta terus-menerus. Yang dilakukan oleh pecinta sejati di sini adalah memberi
tanpa henti. Hubungan bertahan lama bukan karena perasaan cinta yang bersemi
dalam hati, melainkan karena kebaikan tiada henti yang dilahirkan oleh perasaan
itu.
Seperti
lelaki itu, yang terus membahagiakan istrinya, begitu ia memutuskan untuk
mencintainya. Dan istrinya, yang terus menerus melahirkan kebajikan dari cinta
tanpa henti. Cinta tidak terurai dalam laku adalah jawaban atas angka-angka
perceraian yang semakin menganga lebar dalam masyarakat kita.
Tidak mudah
memang menemukan cinta yang ini. Tapi, harus begitulah cinta, seperti kata Imam
Syafii:
Kalau
sudah pasti ada cinta di sisimu
Semua kan jadi enteng
Dan semua yang ada di atas tanah
Hanyalah tanah jua
Kamu haruslah
seorang pemberani kalau kamu mau jadi pecinta sejati. Orang-orang yang kamu
cintai harus merasa aman saat berada di dekatmu. Rasa aman adalah aroma
kepribadian para pecinta pemberani.
Kalau kita
sudah memberi perhatian mendalam, melakukan kerja-kerja penumbuhan, merawat
cinta kasih dengan siraman kebajikan harian, hal terakhir yang kita
persembahkan kepada orang yang kita cintai adalah melindunginya. Melindungi
jiwanya, raganya, masa depannya serta proses pertumbuhannya.
Tapi, perlindungan bukan penjara bagi sang kekasih.
Orang yang kita cintai tidak boleh merasa bahwa perlindungan adalah cara kita
untuk mempertahankan “kekuasaan” dan “kepemilikan” atas dirinya. Perlindungan
adalah langkah-langkah proteksi yang bersifat antisipatif untuk memastikan
bahwa orang yang kita cintai menjalani proses kehidupannya secara aman, baik
fisik maupun psikis, dan proses pertumbuhannya berjalan baik tanpa gangguan
berarti yang bisa menggagalkannya. Yang terakhir ini, misalnya, gangguan
lingkungan pergaulan dan kultur yang bisa merusak nilai-nilai yang kita
tanamkan untuk menumbuhkan orang-orang yang kita cintai. Jadi perlindungannya
bersifat menyeluruh: fisik, psikis, dan moral bahkan finansial.
Semua
bentuk perlindungan itu hanya mungkin dilakukan para pecinta pemberani.
Keberanian mereka juga menyeluruh: keberanian moral dan keberanian fisik.
Orang-orang yang kita cintai harus menikmati sebuah perasaan yang kuat saat
berada di sekitar kita bahwa mereka bebas dari rasa takut, sekaligus gembira
karena kepercayaan yang kuat bahwa jauh dari luar dirinya ada kekuatan cinta
yang bekerja secara diam-diam dan penuh keberanian untuk melindungi proses
pertumbuhannya.
Dalam
banyak situasi, proses perlindungan itu mengharuskan kita berkorban apa saja,
termasuk jiwa. Dalam makna, pengorbanan yang tulus itulah cinta menemukan
kesejatiannya. Dan keindahannya sekaligus.
Apakah ada
riwayat percintaan dalam sejarah manusia yang menggugah nurani kita selain
karena ia dipenuhi keringat, airmata, dan darah, tanpa akhir? Pengorbanan dalam
sejarah cinta seperti pelangi yang menghiasi langit kehidupan. Atau tetesan
darah yang akan menjadi saksi bagi para syuhada di hadapan Allah: saksi atas
cinta dan rindu yang tak pernah selesai.
Itu
sebabnya cinta sejati selalu melahirkan sifat-sifat ksatria, keterhomatan,
kedermawanan, kesetiaan dan pengorbanan. Karena sifat-sifat itulah yang memberi
kekuatan pada cinta dan membuatnya penuh daya gugah. Sifat-sifat itu semua
mengalir dari mata air: kecemburuan. Kecemburuan adalah semangat pembelaan yang
lahir dari cinta sejati. Ia hanya menjadi negatif ketika dia lahir dari semangat
menguasai dan memiliki.
Dalam makna pembelaan itulah Rasullullah saw bersabda, “siapa yang mati karena membela harta dan keluarganya maka ia mati syahid.”
Chemistry
yang biasanya mempengaruhi hubungan cinta antara laki-laki dan wanita
sebenarnya hanya menegaskan satu fakta: ketika
cinta yang genuine bertemu dengan motif lain dalam diri
manusia, dalam hal ini hasrat atau syahwat biologis, hubungan cinta antara
laki-laki dan wanita memasuki wilayah yang sangat rumit dan kompleks. Banyak
fakta yang tidak bisa dipahami dalam perspektif norma cinta yang lazim. Lebih
banyak lagi kejutan yang lahir di ruang ketidakterdugaan.
Namun itu
tidak menghalangi kita menemukan fakta yang lebih besar: bahwa dengan memandang
itu sebagai pengecualian-pengecualian, seperti dalam kasus Muawiyah Bin Abi
Sufyan dengan gadis badui yang tidak dapat mencintainya, kekuatan cinta
sesungguhnya dan selalu mengejewantah pada kematangan kepribadian kita.
Misalnya cinta antara Utsman Bin Affan dan istrinya, Naila.
Para pecinta sejati tidak memancarkan pesonanya dari
ketampanan atau kecantikannya, atau kekuasaan dan kekayaannya, atau popularitas
dan pengaruhnya. Pesona mereka memancar dari kematangan mereka. Mereka
mencintai maka mereka memberi. Mereka kuat. Tapi kekuatan mereka menjadi sumber
keteduhan jiwa orang-orang yang dicintainya. Mereka berisi, dan sangat
independen. Tapi mereka tetap merasa membutuhkan orang lain, dan percaya bahwa
hanya melalui mereka ia bisa bertumbuh dan bahwa pada orang-orang itulah
pemberian mereka menemukan konteksnya. Kebutuhan mereka pada orang lain bukan
sebentuk ketergantungan. Tapi lahir dari kesadaran mendalam tentang
keterbatasan manusia dan keniscayaan interdepensi manusia.
Pesona
inilah yang dipancarkan Khadijah pada Muhammad. Maka selisih umur tidak sanggup
menghalangi pesona Khadijah menembus jiwa Muhammad. Pesona kematangan itu pula
yang membuat beliau enggan menikah lagi bahkan setelah Khadijah wafat. “Siapa
lagi yang bisa menggantikan Khadijah?” tanya Rasulullah saw. Tapi bisakah kita
membayangkan pertemuan dua pesona? Pesona kematangan dan pesona kecantikan
serta kecerdasan?
Pesona
itulah yang dimiliki Aisyah: muda, cantik, innocent, cerdas dan matang dini.
Dahsyat, pasti! Pesonanya pesona. Dalam chemistry ini tidak ada pengecualian
Muawiyah. Di sini semua pesona menyatu padu: seperti goresan pelangi di langit
kehidupan pelangi Sang Nabi. Dua perempuan terhormat dari suku Quraisy itu
mengisi kehidupan pribadi Sang Nabi pada dua babak yang berbeda. Khadijah hadir
pada periode paling sulit di Mekkah. Aisyah hadir pada periode pertumbuhan yang
rumit di Madinah. Khadijah mengawali kehidupan kenabiannya. Tapi di pangkuan
Aisyahlah, ia menghembuskan nafas terakhirnya setelah menyelesaikan misi
kenabiannya.
Dalam jiwa Sang Nabi, ada dua cinta yang berbeda pada kedua perempuan terhormat itu. Ketika beliau ditanya orang yang paling ia cintai, ia menjawab: Aisyah! Tapi ketika beliau ditanya tentang cintanya pada khadijah, ia menjawab: “cinta itu dikaruniakan Allah padaku.” Cintanya pada Aisyah adalah bauran pesona kematangan dan kecantikan yang melahirkan syahwat. Maka Ummu Salamah berkata, “Rasulullah saw tidak bisa ‘menahan’ diri kalau bertemu Aisyah.” Tapi cintanya pada Khadijah adalah jawaban jiwa atas pesona kematangan Khadijah: cinta itu dikirim Allah melalui kematangan Khadijah.
Mari kita
bicara tentang orang-orang patah hati. Atau kasihnya tak sampai. Atau cintanya
tertolak. Seperti sayap-sayap Gibran yang patah. Atau kisah Zainuddin dan
Hayati yang kandas ketika kapal Vanderwicjk tenggelam. Atau cinta Qais dan
Laila yang membuat mereka ‘majnun’, lalu mati. Atau, jangan-jangan ini juga
cerita tentang cintamu sendiri, yang kandas dihempas takdir, atau layu tak
berbalas.
Itu cerita
cinta yang digali dari mata air air mata. Dunia tidak merah jambu di sana.
Hanya ada Qais yang telah majnun dan meratap di tengah gurun kenestapaan
sembari memanggil burung-burung:
O burung,
adakah yang mau meminjamkan sayap
Aku ingin terbang menjemput sang kekasih hati.
Mari kita ikut berbela sungkawa untuk mereka. Mereka orang-orang baik yang
perlu dikasihani. Atau jika mereka adalah kamu sendiri, maka terimalah ucapan
belasungkawaku, dan belajarlah mengasihani dirimu sendiri.
Di alam
jiwa, sayap cinta itu sesungguhnya tak pernah patah. Kasih selalu sampai di
sana. “Apabila ada cinta di hati yang satu, pastilah ada cinta di hati yang
lain,” kata Rumi, “sebab tangan yang satu takkan bisa bertepuk tanpa tangan
yang lain.” Mungkin Rumi bercerita tentang apa yang seharusnya. Sementara kita
menyaksikan fakta lain.
Kalau cinta
berawal dan berakhir pada Allah, maka cinta pada yang lain hanya upaya
menunjukkan cinta pada-Nya, pengejewantahan ibadah hati yang paling hakiki:
selamanya memberi yang bisa kita berikan, selamanya membahagiakan orang-orang
yang kita cintai. Dalam makna memberi itu kita pada posisi kuat: kita tak perlu
kecewa atau terhina dengan penolakan, atau lemah dan melankolik saat kasih
kandas karena takdir-Nya. Sebab di sini kita justru melakukan pekerjaan besar
dan agung: mencintai.
Ketika
kasih tak sampai, atau uluran tangan cinta tertolak, yang terjadi sesungguhnya
hanyalah “kesempatan memberi” yang lewat. Hanya itu. Setiap saat kesempatan
semacam itu dapat terulang. Selama kita memiliki “sesuatu” yang dapat kita
berikan, maka persoalan penolakan atau ketidaksampaian jadi tidak relevan. Ini
hanya murni masalah waktu. Para pencinta sejati selamanya hanya bertanya:
“apakah yang akan kuberikan?” Tentang kepada “siapa” sesuatu itu diberikan, itu
menjadi sekunder.
Jadi, kita hanyalah patah atau hancur karena kita lemah. Kita lemah karena posisi jiwa kita salah. Seperti ini: kita mencintai seseorang, lalu kita menggantungkan harapan kebahagiaan hidup dengan hidup bersamanya! Maka ketika dia menolak hidup bersama, itu lantas menjadi sumber kesengsaraan. Kita menderita bukan karena kita mencintai. Tapi karena kita menggantungkan sumber kebahagiaan kita pada kenyataan bahwa orang lain mencintai kita.
Pekerjaan
kedua seorang pecinta sejati, setelah memperhatikan, adalah penumbuhan. Inilah
cintanya cinta. Inilah rahasia besar yang menjelaskan bagaimana cinta bekerja
mengubah kehidupan kita dan membuatnya menjadi lebih baik, lebih bermakna.
Cinta
adalah gagasan dan komitmen jiwa tentang bagaimana membuat kehidupan orang yang
kita cintai menjadi lebih baik. Jika perhatian memberikan pemahaman mendalam
tentang sang kekasih, maka penumbuhan berarti melakukan tindakan-tindakan nyata
untuk membantu sang kekasih bertumbuh dan berkembang menjadi lebih baik.
Kita tidak boleh berhenti di ujung perhatian sembari
mengatakan kepada sang kekasih: “Aku mencintaimu sebagaimana kita adanya.”
Atau: “Aku menerima dirimu apa adanya.” Memahami dan mengerti sang kekasih
tidaklah cukup. Seorang pecinta sejati harus mampu mengimajinasikan sebuah plot
akhir dari kehidupan yang akan dijalani sang kekasih. Itu tidak berarti bahwa
kita mengintervensi kehidupan pribadinya dan mengatur kehidupan secara rigrid
atas nama cinta. Tidak! Yang
dilakukan pecinta sejati adalah menginspirasi sang kekasih untuk meraih
kehidupan paling bermutu yang mungkin ia raih berdasarkan keseluruhan potensi
yang ia miliki.
Kalau bukan
karena kerja-kerja penumbuhan, seorang pecinta sejati tidak akan sanggup bertahan
hidup di samping seorang kekasih yang ilmu, pengalaman, ketrampilan dan
kepribadiannya tidak bertumbuh dalam 10 tahun masa perkawinannya, misalnya.
Kamu pasti bosan mengobrol dengan seorang yang hidupnya stagnan, dingin dan
tidak dinamis.
Para pecinta
sejati menemukan gairah kehidupan dari perubahan-perubahan yang dinamis. Para
pecinta sejati menemukan gairah kehidupan dari perubahan-perubahan dinamis
dalam kehidupan kekasih mereka. Seperti gairah kehidupan yang dirasakan seorang
ibu ketika menyaksikan bayinya tumbuh dan berkembang menjadi anak remaja lalu
dewasa. Atau gairah yang dirasakan seorang guru menyaksikan muridnya tumbuh
menjadi ilmuwan dan intelektual.
Penumbuhanlah
yang membedakan cinta yang matang dan cinta seorang melankolik. Penumbuhanlah
adalah sisi paling rasional dan realistis dari cinta. Penumbuhan memberikan
sentuhan edukasi pada hubungan cinta. Sebab di sini cinta bukan sekedar
gumpalan emosi di langit jiwa: yang mungkin meledak bagai halilintar, atau
membanjiri bumi dengan hujan air mata. Di sini cinta adalah sebuah pekerjaan.
Pekerjaan jiwa, pikiran, dan fisik sekaligus. Itu yang membuatnya nyata. Dan
efektif.
Di tangan Rasullullah SAW, Aisyah bukan seorang istri. Rasullullah SAW telah menumbuhkannya menjadi bintang di langit sejarah. Suatu saat Ali Tantawi mengatakan: “Istriku yang hanya tamatan SD ternyata lebih intelek daripada mahasiswi-mahasiswiku yang sudah hampir sarjana.” Beliau mengatakan itu setelah melewati 10 tahun masa perkawinan. Ketika Iqbal menemukan dirinya telah menjadi filosof dunia, ia menyadari itu kerja sang guru. Maka ia berkata tentang gurunya itu: “Dan nafas cintanya meniup kuncupku menjadi bunga.”
Kalau intinya
cinta adalah memberi, maka pemberian pertama seorang pecinta sejati adalah
perhatian. Kalau kamu mencintai seseorang, kamu harus memberi perhatian penuh
kepada orang itu. Perhatian yang lahir dari lubuk hati yang paling dalam, dari
keinginan yang tulus untuk memberikan apa saja yang diperlukan orang yang kamu
cintai untuk menjadi lebih baik dan berbahagia karenanya.
Perhatian
adalah pemberian jiwa; semacam penampakan emosi yang kuat dari keinginan baik
kepada orang yang kita cintai. Tidak semua orang memiliki kesiapan mental untuk
memperhatikan. Tidak juga semua orang yang memiliki kesiapan mental memiliki
kemampuan untuk terus memperhatikan.
Memperhatikan adalah kondisi di mana kamu keluar dari
dalam dirimu menuju orang lain yang ada di luar dirimu. Hati dan pikiranmu
sepenuhnya tertuju kepada orang yang kamu cintai. Itu tidak sesederhana yang
kita bayangkan. Mereka yang bisa keluar dari dalam dirinya adalah orang-orang
yang sudah terbebas secara psikologis. Yaitu bebas dari kebutuhan untuk
diperhatikan. Mereka independen secara secara emosional: kenyamanan psikologis
tidak bersumber dari perhatian orang lain terhadap dirinya. Dan itulah
musykilnya. Sebab sebagian besar orang lebih banyak terkungkung dalam dirinya
sendiri. Mereka tidak bebas secara mental. Mereka lebih suka diperhatikan daripada memperhatikan.
Itu sebabnya mereka selalu gagal mencintai.
Itulah
kekuatan para pecinta sejati: bahwa mereka adalah pemerhati yang serius. Mereka
memperhatikan orang-orang yang mereka cintai secara intens dan menyeluruh.
Mereka berusaha secara terus menerus untuk memahami latar belakang kehidupan
sang kekasih, menyelidiki seluk-beluk persoalan hatinya, mencoba menemukan
karakter jiwanya, mendefinisikan harapan-harapan dan mimpi-mimpinya, dan
mengetahui kebutuhan-kebutuhannya untuk sampai kepada harapan-harapan itu.
Para
pemerhati yang serius biasanya lebih suka mendengar daripada didengarkan.
Mereka memiliki kesabaran yang cukup untuk mendengar dalam waktu yang lama.
Kesabaran itulah yang membuat orang betah dan nyaman menumpahkan isi hatinya
kepada mereka. Tapi kesabaran itupula yang memberi mereka peluang untuk menyerap
lebih banyak informasi tentang sang kekasih yang mereka cintai.
Tapi di sini juga tersimpan sesuatu yang teramat agung dari rahasia cinta. Rahasia tentang pesona jiwa para pecinta. Kalau kamu terbiasa memperhatikan kekasih hatimu, secara berlahan-lahan dan tanpa ia sadari ia akan tergantung dengan perhatiannmu. Secara psikologis ia akan sangat menikmati saat-saat diperhatikan itu. Bila suatu saat perhatian itu hilang, ia akan merasakan kehilangan yang sangat. Perhatian itu niscaya akan menyiksa jiwanya dengan rindu saat kamu tidak berada di sisinya. Mungkin ia tidak akan mengatakannya. Tapi ia pasti merasakannya.
Kamu takkan
pemah sanggup mendaki sampai ke puncak gunung iman, kecuali dengan satu kata:
cinta. Imanmu hanyalah kumpulan keyakinan semu dan beku, tanpa nyawa tanpa
gerak, tanpa daya hidup tanpa daya cipta. Kecuali ketika ruh cinta
menyentuhnya. Seketika ia hidup, bergeliat, bergerak tanpa henti, penuh
vitalitas, penuh daya cipta, bertarung dan mengalahkan diri sendiri, angkara
murka atau syahwat.
Iman itu
laut cintalah ombaknya.
Iman itu api cintalah panasnya.
Iman itu angin, cintalah badainya.
Iman itu salju, cintalah dinginnya.
Iman itu sungai, cintalah arusnya.
Seperti itulah cinta bekerja ketika kamu harus
memenangkan Allah atas dirimu sendiri, atau memenangkan iman atas syahwat.
Seperti itu pula cinta bekerja dalam diri pemuda ahli ibadah itu. Kejadiannya
diriwayatkan Al Mubarrid dari Abu Kamil dan Ishak bin Ibrahim dari Raja’ bin
Amr Al Nakha’i.
Seorang
pemuda Kufa yang dikenal ahli ibadah suatu saat jatuh cinta dan tergila-gila
pada seorang gadis. Cintanya berbalas. Gadis itu sama gilanya. Bahkan ketika
lamaran sang pemuda ditolak karena sang gadis telah dijodohkan dengan saudara
sepupunya, mereka tetap nekat, ternyata. Gadis itu bahkan menggoda kekasihnya,
“Aku datang padamu atau kuatur cara supaya kamu blsa menyelinap ke rumahku”.
Itu jelas jalan syahwat.
“Tidak! Aku
menolak kedua pilihan itu. Aku takut pada neraka yang nyalanya tak pernah
padam!” Itu jawaban sang pemuda yang menghentak sang gadis. Pemuda itu
memenangkan iman atas syahwatnya dengan kekuatan cinta.
“Jadi dia
masih takut pada Allah?” gumam sang gadis. Seketika ia tersadar dan dunia
tiba-tiba jadi kerdil di matanya. Ia pun bertaubat dan kemudian mewakafkan
dirinya untuk ibadah. Tapi cintanya pada sang pemuda tidak mati. Cintanya
berubah jadi rindu yang mengelana dalam jiwa dan doa-doanya. Tubuhnya luluh
lantak didera rindu. la mati, akhirnya.
Sang pemuda
terhenyak. Itu mimpi buruk. Gadisnya telah pergi membawa semua cintanya. Maka
kuburan sang gadislah tempat ia mencurahkan rindu dan do’a-do’anya. Sampai
suatu saat ia tertidur di atas kuburan gadisnya. Tiba-tiba sang gadis hadir
dalam tidurnya. Cantik. Sangat cantik.
“Apa kabar?
Bagaimana keadaanmu setelah kepergianku,” tanya sang gadis.
“Baik-baik
saja. Kamu sendiri di sana bagaimana?” jawabnya sambil balik bertanya.
“Aku di
sini dalam surga abadi, dalam nikmat dan hidup tanpa akhir,” jawab gadisnya.
“Doakan
aku. Jangan pernah lupa padaku. Aku selalu ingat padamu. Kapan aku bisa bertemu
denganmu?” tanya sang pemuda lagi.
“Aku juga
tidak pernah lupa padamu. Aku selalu berdoa agar Allah menyatukan kita di
surga. Teruslah beribadah. Sebentar lagi kamu akan menyusulku,” jawab sang
gadis.
Hanya tujuh
malam setelah mimpi itu, sang pemuda pun menemui ajalnya.
Atas nama
cinta ia memenangkan Allah atas dirinya sendiri, memenangkan iman atas
syahwatnya sendiri. Atas nama cinta pula Allah mempertemukan mereka. Cinta
selalu bekerja dengan cara itu.
(Sumber: Majalah Tarbawi edisi 80 Th. 5/Muharram 1425 H/18 Maret 2004 M)
Galau benar
hati sang raja. Putera mahkotanya ternyata seorang pemuda pemalas. Apatis.
Talenta raja-raja tidak terlihat dalam pribadinya. Suatu saat sang raja
menemukan cara mengubah pribadi puteranya: the power of love.
Sang raja
mendatangkan gadis-gadis cantik ke istananya. Istana pun seketika berubah jadi
taman: semua bunga mekar di sana. Dan terjadilah itu. Sesuatu yang memang ia
harapkan: puteranya jatuh cinta pada salah seorang di antara mereka. Tapi
kepada gadis itu sang raja berpesan, “Kalau puteraku menyatakan cinta padamu,
bilang padanya, “Aku tidak cocok untukmu. Aku hanya cocok untuk seorang raja
atau seseorang yang berbakat jadi raja.”
Benar saja. Putera mahkota itu seketika tertantang.
Maka ia pun belajar. Ia mempelajari segala hal yang harus diketahui seorang
raja. Ia melatih dirinya untuk menjadi raja. Dan seketika talenta raja-raja
meledak dalam dirinya. Ia bisa, ternyata! Tapi karena cinta!
Cinta telah
bekerja dalam jiwa anak muda itu secara sempurna. Selalu begitu: menggali tanah
jiwa manusia, sampai dalam, dan terus ke dalam, sampai bertemu mata air
keluhurannya. Maka meledaklah potensi kebaikan dan keluhuran dalam dirinya. Dan
mengalirlah dari mata air keluhuran itu sungai-sungai kebaikan kepada semua
yang ada di sekelilingnya. Deras. Sederas arus sungai yang membanjir, desak
mendesak menuju muara. Cinta menciptakan perbaikan watak dan penghalusan jiwa.
Cinta memanusiakan manusia dan mendorong kita memperlakukan manusia dengan
etika kemanusiaan yang tinggi.
Jatuh cinta
adalah peristiwa paling penting dalam sejarah kepribadian kita. Cinta, kata
Quddamah, mengubah
seorang pengecut menjadi pemberani, yang pelit jadi dermawan, yang malas jadi
rajin, yang pesimis jadi optimis, yang kasar jadi lembut. Kalau
cinta kepada Allah membuat kita mampu memenangkan Allah dalam segala hal, maka
cinta kepada manusia atau hewan atau tumbuhan atau apa saja, mendorong kita
mempersembahkan semua kebaikan yang diperlukan orang atau binatang atau tanaman
yang kita cintai. Jatuh cinta membuat kita mau merendah, tapi sekatigus
bertekad penuh untuk menjadi lebih terhormat.
Cobalah
simak cerita cinta Letnan Jenderai Purnawirawan Yunus Yosfiah, yang suatu saat
ia tuturkan pada saya dan beberapa kawan lain. Ketika calon istrinya menyatakan
bersedia hijrah dari Katolik menuju Islam, ia tergetar hebat. “Kalau cinta
telah mengantar hidayah pada calon istrinya,” katanya membatin, “seharusnya
atas nama cinta ia mempersembahkan sesuatu yang istimewa padanya.”
Ia sedang
bertugas di Timor Timur saat itu. Maka ia berjanji, “Besok aku akan berangkat
untuk sebuah operasi. Aku berharap bisa mempersembahkan kepala dedengkot
Fretilin untukmu.” Tiga hari kemudian, janji itu ia bayar lunas!
Gampang
saja memahaminya. Keluhuran selalu lahir dari mata air cinta. Sebab, “cinta
adalah gerak jiwa sang pencinta kepada yang dicintainya,” kata Ibnul Qoyyim.
(Sumber: Majalah Tarbawi edisi 81 Th. 5/Shafar 1425 H/2 April 2004 M)
(Sumber: Majalah Tarwabi edisi 92 Th. 6/Ra]ab 1425 H/2 September 2004 M)
Di saat
seperti itulah jibril datang menawarkan bantuan: biar kuhancurkan mereka semua!
Menggoda betul tawaran jibril itu. Tapi, “Tidak!” jawab
Rasulullah saw kepada jibril. “Aku bahkan memohon penangguhan untuk mereka.
Sungguh aku berharap bahwa Allah akan mengeluarkan tulang sulbi mereka
anak-anak yang akan menyembah Allah dan tidak mempersekutukan-Nya.” (Bukhari
dan Muslim).
Seandainya
ia seorang pendendam, ia pasti menerima tawaran jibrll itu. Tapi tidak! Ia
seorang pencinta. Dan ia sadar bahwa ia bisa mengubah komunitas penggembala
kambing yang angkuh di jazirah Arab menjadi pemimpin-pemimpin peradaban dunia
yang rendah hati. Hanya dengan kekuatan cinta.
Dan itulah
yang kemudian terjadi: hanya dalam waktu 22 tahun 2 bulan dan 22 hari, beliau
merampungkan tugas kenabiannya dengan membawa seluruh jazirah kedalam cahaya
Islam.
Cinta
adalah kekuatan perubahan yang dahsyat. Lima belas abad kemudian, Erich fromm
menjelaskan kekuatan cinta dalam proses perubahan:
“Pendekatan
cinta adalah kebalikan dari pendekatan dengan kekerasan. Cinta berusaha
memahami, menguatkan dan menghidupkan. Dengan cinta, seorang individu akan
selalu mentransformasikan dirinya. Dia menjadi lebih peka, lebih menghargai,
lebih produktif, lebih menjadi dirinya sendiri. Cinta tidak sentimental dan
tidak melemahkan. Cinta adalah cara untuk mempengaruhi dan merubah sesuatu
tanpa menimbulkan ‘efek samping’ sebagaimana kekerasan. Tidak seperti
kekerasan, cinta membutuhkan kesabaran, usaha dari dalam. Lebih dari semua itu,
cinta membutuhkan keteguhan hati. Menyelesaikan masalah dengan membutuhkan
keteguhan hati untuk terhindar dari frustasi, untuk tetap sabar meskipun
menemui banyak hambatan. Cinta lebih membutuhkan kekuatan dari dalam,
kepercayaan daripada sekedar kekuatan fisik.” (Cinta, Seksualitas, Matriarki,
Gender; 291; 2002).
Kalau Erich
Fromm menjelaskan kekuatan cinta dalam merubah individu dan masyarakat dengan
bahasa psikososial, maka Iqbal menjelaskannya dalam bait-bait puisinya:
Kekuatan
cinta bukan dari tanah, air dan udara,
kekuatannya bukan keliatan urat asalnya;
cinta menundukkan Khaibar tanpa kesulitan,
cinta membelah badan bulan,
cinta memecahkan tengkorak Nimrod tanpa pukulan,
menghancurkan tentara Fira’un tanpa pertempuron.
(Javid Namah; 29; 2003).
(Majalah Tarbawi edisi 83 Th. 5/Robiul Awwal 1425 H/29 April 2004 M)
Satu per satu
prajurit itu gugur. Mereka berempat. Semua syahid. Tapi semua hidup. Sebab
memang semua syuhada tidak mati di mata Allah.
Mereka
adadi sana, di sisi Allah menikmati limpahan karunia-Nya. Sebab mereka syahid
justru karena mereka ingin memberi kesempatan kepada saudaranya untuk hidup.
Itu cerita tentang empat sahabat Rasulullah saw yang
sama-sama kehausan dalam suatu pertempuran. Tapi air yang tersedia tidak cukup
untuk mereka berempat. Maka masing-masing mereka mendahulukan saudaranya.
Sampai gelas itu berkeliling tanpa satu pun yang minum. Begitu ia sampai pada
prajurit pertama ternyata ia sudah syahid. Begitu juga yang kedua, ketiga dan
keempai.
Itu “itsar”
dalam bahasa agama kita. Semua gugur jadi syuhada. Semua tegak jadi saksi
cinta.
Bisa. Bisa.
Kita bisa menunjukkan keluhuran tertinggi semacam itu di saat yang paling
sulit. Itu bukan sekadar cerita cinta yang hanya bisa diriwayatkan dalam
sahabat-sahabat Rasulullah saw.
Kita bisa
meriwayatkannya juga dalam kehidupan kita. Seperti pada badai Tsunami lalu.
Kita bisa bersatu atas nama cinta: maka ketika badai meluluhlantakkan Serambi
Mekkah, cinta mengalir ke sana lebih dahsyat. Kita bahkan tidak pernab punya
sejarah cinta sebagai sebuah bangsa seperti pada peristiwa Tsunami itu.
Sebab
ketika Allah mempersaudarakan orang-orang beriman, Ia hanya ingin mengatakan
bahwa komunitas sosial kita harus diikat dengan cinta yang lahir dari iman.
Hanya dengan begitu kita bisa menemukan kekuatan perekat yang abadi, tembus
masa dan ruang, dan bebas dari berbagai perubahan situasi. Di saat persatuan
bangsa dipertaruhkan di tengah badai alam atau politik atau ekonomi atau sosial
atau keamanan, cinta adalah satu-satunya jawaban.
Cinta yang
besarlah yang memungkinkan Rasulullah saw menyatukan para penghuni jazirab Arab
yang nomad, badui dan buta huruf serta tumbuh dalam struktur sosial berbasis
kabilah yang kompleks.
Seperti ketika Rasulullah saw menyatukan suku Aus dan Khazraj yang terseparasi
dalam perang selama 40 tahun, serta menjadikan mereka semua sebagai kaum
Anshar, yang kelak menyatu dengan Muhajirin dari suku Quraisy.
Bahkan
ketika “kearifan politik” menuntut beliau memberikan semua harta rampasan
perang kepada kaum Quraisy yang baru saja masuk Islam, yang terkesan “tidak
adil” di hati kaum Anshar, Rasulullah saw hanya memberikan jawaban cintanya:
“Bisakah kalian rela bahwa jatah kalian adalah Rasulullah saw?”
Fathu
Makkah bahkan tidak lagi menggoda beliau untuk kembali ke Mekkah. Raganya ada
di Madinah. Hatinya ada dalam hati kaum Anshar. Kaum Anshar menangis. Cinta
menghadirkan makna lain dalam kehidupan sosial politik kita. Dan mengangkat
kita ke ketinggian ruh yang mungkin sulit dijangkau oleh kepentingan sesaat.
Masih mungkin! Masih mungkin kita menyatukan bangsa yang terdiri lebih 300 suku dan bahasa. Bahkan juga bangsa-bangsa dunia Islam. Dengan cinta. Cinta misi. Dan hanya itu.
Pada mulanya
adalah fisik. Seterusnya adalah budi. Raga menarik pandangan mu. Jiwa membangun
simpatimu. Badan mengeluarkan gelombang magnetiknya. Jiwa meniupkan
kebajikannya.
Begitulah
cinta tersurat di langit kebenaran. Bahwa karena cinta jiwa harus selalu
berujung dengan sentuhan fisik, maka ia berdiri dalam tarikan dua pesona itu:
jiwa dan raga.
Tapi selalu ada bias di sini. Ketika ketertarikan fisik
disebut cinta tapi kemudian kandas di tengah jalan. Atau ketika cinta tulus
pada kebajikan jiwa tak tumbuh berkembang sampai waktu yang lama.
Bias dalam
cinta jiwa ini terjadi karena ia selalu merupakan senyawa spirituals dan
libido. Kebajikan jiwa merupakan udara yang memberi kita nafas kehidupan yang
panjang. Tapi pesona fisik adalah sumbu yang senantiasa menyalakan hasrat
asmara.
Biasnya
adalah ketidakjujuran yang selalu mendorong kita memenangkan salah satunya:
jiwa atau raga.
Jangan
pernah pakai “atau” di sini. Pakailah “dan”; kata sambung yang menghubungkan
dua pesona rtu. Sebab kita diciptakan dengan fitrah yang menyenangi keindahan
fisik. Tapi juga dengan fakta bahwa daya tahan pesona fisik kita ternyata
sangat sementara.
Lalu apakah
yang akan dilakukan sepasang pencinta jika mereka burumur 70 tahun? Bicara.
Hanya itu. Dan dua tubuh yang tidur berdampingan di atas ranjang yang sama
hanya bisa saling memunggungi, tanpa selera. Sebab tinggal bicara saja yang
bisa mereka lakukan.
Begitulah
pesona jiwa periahan menyeruak di antara lapisan-lapisan gelombang magnetik
fisik lalu menyatakan fakta yang tidak terbantahkan bahwa apa yang membuat dua
manusia bisa tetap membangun sebuah hubungan jangka panjang sesungguhnya adalah
kebajikan jiwa mereka bersama.
Seperempat
abad lamanya Rasulullah saw hidup bersama Khadijah. Perempuan agung yang pernah
mendapatkan titipan salam dari Allah lewat malaikat Jibril ini menyimpan
keagungannya begitu apik pada gabungan yang sempurna antara pesona jiwa dan
raganya.
Dua kali
menjanda dengan tiga anak sama sekali tidak mengurangi keindahan fisiknya. Tapi
apa yang menarik dari kehidupannya mungkin bukan ketika akhirnya pemuda
terhormat, Muhammad bin Abdullah, menerima uluran cintanya. Yang lebih menarik
dari itu semua adalah fakta bahwa Rasulullah saw sama sekali tidak pernah
berpikir memadu Khadijah dengan perempuan lain. Bahkan ketika Khadijah wafat,
Rasulullah saw hampir memutuskan untuk tidak akan pemah menikah lagi.
Bukan cuma
itu. Bahkan ketika akhirnya menikah setelah wafatnya Khadijah, dengan janda dan
gadis, beliau tetap berkeyakinan bahwa Khadijah tetap tidak tergantikan. “Allah
tetap tidak menggantikan Khadijah dengan seseorang yang lebih baik darinya,” kata
Rasulullah saw.
Terlalu
agung mungkin. Tapi memang begitu ia ditakdirkan: menjadi cahaya keagungan yang
menerangi jalan para pencinta sepanjang hidup.
Pengalaman
di sekitar kita barangkali justru selalu tidak sempurna. Karena biasanya selalu
hanya ada “atau”, bukan “dan” dalam pesona kita. Atau bahkan tidak ada “dan”
apalagi “atau”.
Ketika
pesona terbelah seperti itu, cinta pasti berada di persimpangan jalan,
selamanya diterpa cobaan, seperti virus yang menggerogoti tubuh kita. Dalam
keadaan begitu penderitaan kadang tampak seperti buaya yang menantu mangsa
dalam diam.
Majalah Tarbawi edisi 123 Th. 7/Dzulhijjah 1426 H/5 Januari 2006 M
Apa lagi yang
tersisa dari ketampanan setelah ia dibagi habis oleh Nabi Yusuf dan Muhammad.
Apalagi yang tersisa dari kecantikan setelah ia terbagi habis oleh Sarah, istri
Nabi Ibrahim, dan Khadijah, istri Nabi Muhammad saw? Apalagi yang tersisa dari
pesona kebajikan hati setelah ia direbut Utsman bin Affan? Apalagi yang tersisa
dari kehalusan budi setelah ia direbut habis oieh Aisyah?
Kita hanya
berbagi pada sedikit yang tersisa dari pesona jiwa raga yang telah direguk
habis oleh para nabi dan orang shalih terdahulu. Karena itu persoalan cinta
kita selalu permanen begitu: jarang sekali pesona jiwa raga menyatu secara utuh
dan sempura dalam diri kita.
Pilihan-pilihan kita, dengan begitu, selalu sulit. Ada
lelaki ganteng atau perempuan cantik yang kurang berbudi. Sebaliknya, ada
lelaki saleh yang tidak menawan atau perempuan salehah yang tidak cantik.
Pesona kita selalu tunggal.
Padahal
cinta membutuhkan dua kaki untuk bisa berdiri dan berjalan dalam waktu yang
lama. Maka tentang pesona fisik itu Imam Ghazali mengatakan, “Pilihlah istri
yang cantik agar kamu tidak bosan.” Tapi tentang pesona jiwa itu Rasulullah saw
bersabda, “Tapi pilihlah calon istri yang taat beragama niscaya kamu pasti
beruntung.”
Persoalan
kita adalah ketidaksempurnaan. Seperti ketika dunia menyaksikan tragedi cinta
Puteri Diana dan Pangeran Charles.
Dua
setengah milyar manusia menyaksikan pemakamannya di televisi. Semua sedih.
Semua menangis. Puteri yang pernah menjadi trendsetter kecantikan dunia dekade
80-an itu rasanya terlalu cantik untuk disia-siakan oleh sang pangeran. Apalagi
Camila Parker yang menjadi kekasih gelap sang pangeran saat itu, secara fisik
sangat tidak sebanding dengan Diana.
Tapi tidak
ada yang secara objektif mau bertanya ketika itu. “Kenapa akhirnya Charles
lebih memilih Camila, perempuan sederhana, tidak bisa dibilang cantik, dan
lebih tua, ketimbang Diana, gadis cantik berwajah boneka itu?”
Jawaban
Charles mungkin memang terlalu sederhana. Tapi itu fakta. “Karena saya lebih
bisa bicara dengan Camila.”
Kekuatan
budi memang bertahan lebih lama. Tapi pesona fisik justru terkembang di
tahun-tahun awal pernikahan. Karena itu ia menentukan.
Begitu masa
uji cinta selesai, biasanya lima sampai sepuluh tahun, kekuatan budi akhirnya
yang menentukan sukses tidaknya sebuah hubungan jangka panjang. Dampak
gelombang magnetik fisik berkurang atau hilang bersama waktu.
Bukan
karena kencantikan atau ketampanan berkurang. Yang berkurang adalah
pengaruhnya. Itu akibat sentuhan terus-menerus yang mengurangi kesadaran emosi
tentang gelombang magnetik tersebut.
Apa yang
harus kita lakukan adalah mengelola ketidaksempurnaan melalui proses
pembelajaran.
Belajar adalah proses berubah secara konstan untuk menjadi lebih baik dan
sempurna dari waktu ke waktu.
Fisik
mungkin tidak bisa dirubah. Tapi pesona fisik bukan hanya tampang. Ia lebih
ditentukan oleh aura yang dibentuk dari gabungan antara kepribadian bawaan,
pengetahuan dan pengalaman hidup. Ketiga hal itu biasanya termanifestasi pada
garis-garis wajah, senyuman dan tatapan mata serta gerakan refleks tubuh kita.
Itu yang menjelaskan mengapa sering ada lelaki yang tidak terlalu tampan tapi
mempesona banyak wanita. Begitu juga sebaliknya.
Itu jalan
tengah yang bisa ditempuh semua orang sebagai pencinta pembelajar. Karena
pengetahuan dan pengalaman adalah perolehan hidup yang membuat kita tampak
matang. Dan kematangan itulah pesonanya. “Sebab, setiap kali pengetahuan kita
bertambah,” kata Malik bin Nabi, “wajah kita akan tampak lebih baik dan
bercahaya.”
(Majalah Tarbawi edisi 124 Th. 7/Dzulhijjah 1426 H/19 Januari 2006 M)
Buta huruf.
Jelek. Itu gambaran wajah mereka, buruh-buruh kasaryang didatangkan dari
Aljazair ke Perancis. Tentu oleh Perancis, tuan besar yang menjajah negeri
Muslim itu lebih dari seratus tahun.
Bertahun-tahun
kemudian wajah-wajah mereka berubah menjadi lebih baik. Lebih indah, tepatnya.
Sentuhan peradaban telah meninggalkan goresan keindahannya pada sorot mata dan
garis-garis wajah mereka. Waktu tersenyum wajah mereka tampak lebih renyah, lebih
terbuka dan lebih mampu menyatakan isi dalam jiwa mereka.
Sisa-sisa kekasaran gurun pasir memang tidak lenyap
semua. Setidaknya pada tulang-tulang pipi mereka yang menampakkan kekerasan
sekaligus ketidakmengertian. Tapi penampilan mereka kini jauh lebih bagus.
Malik Bin
Nabi bertutur, “Setiap kali pengetahuan dan kemampuan membaca mereka bertambah,
kami selalu memotret wajah mereka. Kemudian kami menemukan fakta bahwa wajah
mereka berubah menjadi lebih indah dari waktu ke waktu. Pengetahuan membuat mereka
tampak lebih indah”.
Itu
merupakan hasil dari sebuah riset kecil di Perancis. Malik Bin Nabi, pemikir
Muslim terkenal asal Aljazair, mengajar buruh-buruh kasar dan buta huruf itu
membaca. Dari situ ia menemukan bagaimana pengetahuan dan keindahan memiliki
korelasi yang positif.
Menjadi
indah adalah efek pengetahuan. Pengetahuan membuka ruang kemungkinan lebih luas
dan menambah kemahiran. Itu membuat manusia merasa lebih berdaya. Keberdayaan
meningkatkan harapan dan kepercayaan diri. Dan itu yang mewariskan kegembiraan
jiwa. Yang terakhir inilah yang membuat senyum mereka merekah lebih renyah.
Karena harapan mereka permanen. Karena kepercayaan diri mereka beralasan.
Ini salah
satu penjelasan mengapa orang-orang yang berasal dari peradaban maju secara umum
lebih menarik ketimbang mereka yang berasai dari peradaban yang tidak maju.
Ada
fenomena lain lagi. Misalnya, perempuan atau laki-laki kota berpendidikan
secara umum jauh lebih menarik daripada perempuan atau laki-laki desa yang
mungkin secara alami berparas lebih tampan atau cantik tapi tidak
berpendidikan.
Kota punya
sentuhannya sendiri. Pendidikan punya sentuhannya sendiri.
Jika
pengaruh gelombang magnetik keindahan fisik berkurang bersama waktu, maka
pesona pengetahun justru tumbuh berkembang dalam rentang waktu yang lama. Jika
sepasang pencinta hidup seiama 40 tahun perkawinan, bisakah Anda membayangkan
bagaimana mereka merawat kebersamaan yang panjang itu?
Sebagian
besar waktu mereka akan habis dalam obrolan. Khususnya setelah mereka berusia
di atas 50 tahun.
Itu yang
dimaksud pangeran Charles. Dia butuh seseorang untuk diajak bicara. Bukan
seseorang untuk sekedar dipajang ke pesta. Pesta mungkin selalu ada. Tapi tidak
pernah lama. Begitu pesta selesai, kita kembali kepada kehidupan sehari-hari
yang natural di mana kita hanya bicara dan bicara lagi.
Dalam
sebuah hubungan jangka panjang kita tidak membutuhkan sebuah boneka cantik yang
gagu. Kita memerlukan seseorang yang bisa mengerti dan mudah dimengerti,
seseorang yang bisa memahami riak dan gelombang perasaan kita dan mampu
menyatakan isi hatinya secara jelas dan sempurna, seseorang yang mampu
memetakan pikiran-pikiran kita dan juga punya pikiran yang terus berkembang dan
bisa dipetakan.
Hidup
menjadi “bernas” ketika ia tampak seperti lautan teduh yang menyembunyikan
gelombangnya yang dahsyat dan tamannya yang indah. Tapi jika kita ingin
menyelami dan menyaksikannya, kita perlu kacamata renang atau selam. Kita juga
butuh alat bantu pernafasan.
Pengetahuanlah
itu yang memberi makna pada cinta ketika ia hendak menembus ruang dan waktu.
Pengetahuanlah itu yang memberi umur lebih panjang pada cinta yang hendak
bertahta di singgasana keabadian.
Majalah Tarbawi edisi 125 Th. 7/Muharram 1427 H/2 Februart 2006 M
Di
hadapannya, istrinya terduduk. Diam. Hening. Hanya tatapan mata yang saling
bicara. Tekad memancar tegas setegas pekat hitam kedua bola matanya.
“Kini tiba
giliranmu, istriku,” Umar bin Abdul Aziz membuka pembicaraan. “Perbaikan dan
reformasi dinasti Bani Umayyah sudah kumulai dari diriku sendiri. Selanjutnya
adalah giliranmu. Kemudian anak-anak. Kemudian keluarga besar istana. Sekarang
kembalikan seluruh harta dan perhiasanmu ke kas negara.”
Istrinya langsung angkat kepala. “Tidak, Umar! Ini
semua adalah pemberian ayahku, Abdul Malik Bin Marwan.”
Umar
terdiam, sejenak. Lalu menjawab, “Tapi uang untuk membeli itu semua berasal
dari kas negara, Fatimah!”
Dialog itu
terus berlangsung, mendatar dan meninggi, antara setuju dan tidak setuju.
Beberapa
saat Umar tertunduk. Terpekur. Tantangan itu ternyata ada di hadapannya kini.
Dari orang terdekat dan paling ia cintai. Bisakah ia melanjutkan perjuangannya
kalau hambatannya justru datang dari cinta?
Tidak!
Tidak boleh! Ia harus terus melangkah maju di jalan terjal perbaikan
pemerintahan.
Tiba-tiba
Umar bangkit dan berkata, “Fatimah, sekarang aku sudah bertekad untuk tidak
mundur. Dan kamu punya dua pilihan: kembalikan seluruh harta itu, atau jika
tidak, hubungan kita berakhir di sini.”
Fatimah
terhenyak. Kesadarannya seperti ditampar tangan kebenaran. Hanya sesaat
kemudian Fatimah mendengarkan panggilan nuraninya. la memilih untuk terus
bersama Umar.
Pada suatu
masa dalam hidup kita, fisik kita berhenti menuntut hak-haknya, akal kita
berhenti meminta penjelasan-penjelasan. Karena ada kebutuhan baru yang muncul
begitu kita makin menua: kebutuhan akan transendensi spiritual karena tuntutan
“tanah” tak lagi punya gravitasi yang kuat dalam tubuh kita.
Saat itu
kesadaran akan fisik lenyap dan kehebatan akal menjadi terlalu sederhana untuk
menjelaskan temuan-temuan ruh dalam kehidupan. Saat itu mata ruh kita mulai
menembus tembok-tembok ruang dan waktu, melewati kesementaraan pada panggilan
raga dan jiwa, dan memasuki gerbang keabadian ruh yang telah terbebaskan.
Karena itu godaan raga dan jiwa pada Umar lenyap ketika ia harus memilih jalan
ruhnya: tapi justru disitulah pesona keabadiannya menampakkan diri, dan seperti
angin sepo iyang masuk lewat jendela bersama cahaya matahari, kebenaran itu
merengkuh seluruh dirinya. Ada keagungan transendensi yang datang bersama
kebenaran cinta. Itu mencerahkan. Itu menghidupkan.
Dalam
transendensi itu tidak ada cantik atau jelek. Tidak ada seksi atau tidak seksi.
Yang ada hanya kebenaran dan keabadian. Itu yang memberinya aura keagungan.
Setiap kali
kamu melihat mereka yang memiliki pesona itu ingatanmu langsung kembali ke masa
depan, melampaui semua yang kini dan di sini, masa di mana waktu tak lagi punya
ujung. Maka pesona mereka membebaskanmu seperti buraq membawa Muhammad melewati
atmosfir bumi dan menembus langit demi langit menuju singgasana Zat Yang Abadi.
Dan begitu jugalah Muhammad saw mengakhiri konflik dengan istri-istrinya
sembari mengatakan, “Hai Nabi, katakanlah kepada istri-istrimu, “Jika kamu
sekalian mengingini kehidupan dunia dan perhiasannya, maka marilah supaya
kuberikan kepadamu mut’ah dan aku ceraikan kamu dengan cara yang baik. Dan jika
kamu sekalian menghendaki (keridhaan) Allah dan Rasul-Nya serta (kesenangan) di
negeri akhirat, maka sesungguhnya Allah menyediakan bagi siapa yang berbuat
baik diantaramu pahala yang besar.”
(Majalah Tarbawi edisi 126 Th. 7/Muharram 1427 H/16 Februari 2006 M)
Tdak karena
kamu memiliki semua pesona itu sekaligus, maka kamu bisa mencintai dan
mengawini semua perempuan. Begitu juga sebaliknya.
Pesona
fisik, jiwa, akal dan ruh, diperlukan untuk menciptakan daya tarik dan daya
rekat yang permanen bila kita ingin membangun sebuah hubungan jangka panjang.
Tapi seperti berlian, tidak semua orang mengenalnya
dengan baik, maka mereka tidak menghargainya. Atau mungkin mereka mengenalnya,
tapi terasa tertalu jauh untuk dijangkau, seperti mimpi memetik bintang atau
mtmpi memeluk gunung. Atau mungkin ia mengenalnya, tapi terasa terlalu mewah
untuk sebuah kelas sosial, atau kurang serasi untuk sebuah suasana.
Kira-kira
itulah yang membuat Aisyah-radhiyallahu ‘anha-sekali ini benar-benar gundah.
Orang terbaik di muka bumi ketika itu, Amirul Mu’minin, Khalifah Kedua, Umar
Bin Khattab, hendak melamar adiknya, Ummu Kaltsum. Tidak ada alasan untuk
menolak lamaran beliau kecuali bahwa Abu Bakar, sang Ayah, yang juga Khalifah
Pertama, telah mendidik puteri-puterinya dengan penuh kasih sayang dan
kemanjaan.
Aisyah,
karena itu, percaya bahwa adiknya tidak akan kuat beradaptasi dengan pembawaan
Umar yang kuat dan kasar. Bahkan ketika Abu Bakar meminta pendapat Abdurrahman
Bin Auf tentang kemungkinan penunjukan Umar bin Khattab sebagai khalifah, beliau
menjawab: “Dia yang paling layak, kecuali bahwa dia kasar”.
Dengan
sedikit bersiasat, Aisyah meminta bantuan Amru Bin ‘Ash untuk “menggiring” Umar
agar menikahi Ummu Kaltsum yang lain, yaitu Ummu Kaltsum Binti Ali Bin Abi
Thalib yang ketika itu berumur 11 tahun.
Karena
garis jiwa, akal dan ruh mereka lebih setara dan karena itu mereka akan tampak
lebih serasi karena bisa serasa. Berbekal pengalaman sebagai diplomat ulung,
pesan Itu memang sampai kepada Umar Akhirnya Umar menikahi Ummu Kaltsum Bin Ali
Bin Abi Thalib.
Kesetaraan
dan keserasian. Itu yang lebih menentukan daripada sekedar pesona an sich. Ibnu
Hazem menjelaskan, kalau ada lelaki tampan menikahi perempuan jelek, atau
sebaliknya, itu bukan sebuah keajaiban. Yang ajaib adalah kalau seorang lelaki
meninggalkan kekasih yang cantik dan memilih kekasih baru yang jelek.
“Saya tidak
bisa memahaminya. Tapi memang tidak harus dijelaskan”.
Ibnu Hazem,
imam terbesar pada mazhab Zhahiryah, yang menulis puluhan buku legendaris dalam
fiqh, hadits, sejarah, sastra, puisi dan lainnya, lelaki tampan yang lembut dan
seorang pencinta sejati, putera seorang menteri di Cordova, suatu ketika harus
menelan luka: cintanya ditolak oleh seorang perempuan yang justru bekerja di
rumahnya.
Ibnu Hazem
bahkan mengejar-ngejarnya dan melakukan semua yang bisa ia lakukan untuk
mendapatkan cintanya. Tapi tetap saja ditolak.
“Saya
teringat, kadang-kadang saya masuk melalui pintu rumahku di mana gadis itu ada
di sana, untuk berdekat-dekat dengannya. Tapi begitu ia tahu aku mendekat ia
segera menjauh dengan sopan dan tenang. Jika ia memilih pintu lain, maka aku
akan ke sana juga tapi dia akan pindah lagi ke tempat lain. Dia tahu aku sangat
mencintainya walaupun perempuan-perempuan tidak tahu hal itu karena jumlah
mereka yang sangat banyak di istanaku.”
Begitulah
leiaki yang memiliki semua pesona itu ditolak. Bahkan ketika suatu saat Ibnu
Hazem menyaksikan gadis itu menyanyi di istananya, Ibnu Hazem benar-benar
terpesona dan makin mencintainya. Tapi ia hanya berkata dengan lirih, “Oh, nyanyian
itu seakan turun ke hatiku, dan hari itu tidak akan pernah kulupakan sampai
hari ketika berpisah dengan dunia”.
Oh, lelaki
baik yang terluka oleh hukum keserasaan dan keserasian.
(Majalah Tarbawi edisi 129 Th. 7/Shafar 1427 H/30 Maret 2006 M)
Bahkan ketika
kamu memiliki semua pesona fisik, jiwa, akal dan ruh, cintamu bukan saja
mungkin tertolak dan kamu terluka di bawah hukum keserasaan dan keserasian.
Lebih dari itu, kamu juga tidak bebas dari problematika kehidupan cinta dan
asmara seperti yang dialami orang-orang biasa.
Dalam
terminologi batin kehidupan, sebenarnya kita semua hanya orang-orang biasa,
memiliki rasa orang-orang biasa, dan menghadapi persoalan cinta yang juga
dialami orang-orang biasa.
Bahkan ketika sang kekasih setara dengan kamu pada
pesona fisik, jiwa, akal dan ruhnya, itu juga bukan sebuah sertifikat bebas
perkara kehidupan, yang dapat kamu tempel pada dinding kesadaranmu.
Tidak!!!
Persoalan hidup adalah jatah setiap manusia, tidak peduli apakah ia orang baik
atau bukan. Bahkan sumber persoalan hidup kita seringkali datang dari kebaikan
hati kita. Seperti unta yang sabar; orang-orang hanya tahu memikulkan beban ke
punggungnya tanpa pernah mendengar keluhannya. Kesabarannya adalah sumber
masalahnya.
Yang
membedakan mereka adalah bahwa mereka selalu “berada di atas” masalah-masalah
mereka. Karena itu mereka selalu mampu “mengatasi” masalah-masalah mereka.
Mereka selalu sanggup melampaui lorong gelap pada suatu potongan waktu
kehidupan mereka.
Mereka
selalu menang. Cerita mereka selalu berakhir bagus; tidak selalu karena
endingnya penuh bunga dan senyum, kadang-kadang justru karena keputusan pahit
yang mengharu-biru sebab ia lahir dari cinta yang ksatria.
Seperti
ketika istri-istri Rasuiullah saw meminta tambahan perhiasan dunia. Apa yang
salah dengan tuntutan itu? Itu datang dari istri-istri yang shalihah kepada
seorang suami yang shalih. Itu bukan barang haram.
Tapi
tuntutan itu berat bagi sang Rasul; bagaimana mungkin ia kembali kepada
persoalan kecil seperti ini ketika ia sedang dalam perjalanan untuk melakukan
sentuhan akhir dalam penyelesaian misi kenabiannya? Itu mengganggu dan menyedot
perhatiannya justru ketika ia sedang membutuhkan konsentrasi penuh untuk
menyelesaikan tugas akhirnya. Itu menyebabkan beliau “mendiamkan” mereka selama
sebulan. Bahkan beliau menyendiri dan tidak ingin ditemui oleh sahabat-sahabat
beliau.
Contoh itu
mungkin terasa terlalu sophisticated. Mari kita ambil contoh lain. Suatu saat
beliau berada di rumah Aisyah. Kemudian Saudah datang menemui beliau. Aisyah
pun menawarkan kue yang baru saja dibuatnya. Tapi Saudah mengatakan, kue itu
tidak enak. Aisyah tentu saja tersinggung. la pun menimpuk Saudah dengan kue
itu. Dan Saudah membalasnya. Timpuk-menimpuk itu berlangsung sementara sang
suami menyaksikannya sembari tertawa terbahak-bahak.
Oh,
persoalan memang datang. Tapi selalu berialu. Di balik bilik sederhana itu ada
banyak gejolak. Tapi keteduhan selalu mengakhirinya.
(Majalah Tarwabi edisi 130 Th. 7/Rabi’ul Awal 1427 H/27 April 2006 M)
Orang-orang
di negerinya, di Mesir sana, menganggapnya pahlawan cinta. Mereka menyebutnya
sebagai kampiun asmara.
Dody Al
Fayed dan Lady Diana adalah sebuah roman yang tragis. Dua jiwa bertemu. Tapi
tanpa raga. Mereka tidak ditakdirkan bersatu.
Tapi Lady Diana dan pangeran Charles adalah juga roman
yang tragis. Dua raga bertemu. Tapi tanpa jiwa. Mereka pernah ditakdirkan
bersatu. Tapi tidak ditakdirkan untuk saling mencintai.
Tragis.
Terlalu tragis. Dua setengah milyar umat manusia yang ikut menyaksikan proses
pemakaman Lady Diana dan Dody hanya mampu menangis. Menyatakan haru entah
kepada siapa: sebab di alam jiwa mereka semua nestapa.
Tapi cerita
Charles dengan Camilla Parker yang entah menjadi pemicu keretakan rumah
tangganya atau tidak, menyelipkan sebuah pertanyaan besar: mengapa sang
pangeran lebih tertarik dengan perempuan tua itu ketimbang Diana yang cantik dan
anggun, Diana? Bahkan ketika Camila menjadi musuh bersama rakyat Inggris,
Charles tetap menikahinya beberapa tahun kemudian? Seperti sebuah kehendak yang
dipaksakan walaupun harus melawan arus. Tidak berartikah kecantikan Diana
baginya? Dan apakah pesona perempuan tua yang membuatnya nekat itu?
Charles
adalah sebuah cerita tentang kesepian. Punya ibu seorang ratu hampir sama
dengan menjadi yatim. Maka Charles tumbuh dengan sebuah kebutuhan jiwa yang
akut: seseorang yang bisa diajak bicara, mau mendengarnya dan mampu
memahaminya, seseorang yang bisa membuatnya merasa sebagai orang normal yang
bersikap wajar dalam kehidupannya. Camilla hadir dan bisa memenuhi kebutuhan
jiwa itu. Sementara Diana tumbuh sebagai gadis cantik yang terlalu lugu untuk
kerumitan-kerumitan besar yang dihadapi Cahrles. Ia bagus sebagai icon kerajaan
yang cantik. Tapi tidak bagi Charles yang rumit. Jiwa mereka tidak bertemu
ketika raga mereka justru seranjang.
Tim
kehidupan pada intinya adalah ide tentang pasangan jiwa dalam katagori cinta
jiwa. Bukan terutama tentang poligami. Ini ide tentang pertemuan jiwa yang
disebabkan oleh kesamaan, atau kesepadanan, atau keseimbangan, atau
kelengkapan. Jiwa-jiwa yang saling bertemu itu bisa dua atau tiga atau empat
dan seterusnya. Sama persis dalam semua bentuk tim dalam sebuah organisasi.
Tim itu
juga bisa besar pada mulanya lalu menciut pada akhirnya. Umar bin Khattab,
misalnya, menceraikan dua istrinya yang sangat cantik, Jamilah dan Qaribah.
Tapi bisa bertahan hidup bersama Ummu Kaltsum binti AN atau cucu Rasulullah saw
yang usianya terpaut lebih 40 tahun.
Itu
sebabnya cinta jiwa merupakan sumber semua cerita roman percintaan dalam
sejarah umat manusia. Baik yang berujung tragis maupun yang berakhir bahagia.
Jiwa mempunyai hajatnya sendiri. Maka ia lebih bisa mengenal pasangannya
sendiri. Juga bergerak dengan caranya sendiri menuju pasangannya.
Di alam
jiwa, terlalu banyak kaidah dan kebiasaan alam raga yang tidak berlaku. Itu
membuatnya rumit. Tapi agung. Rumit jalan ceritanya. Tapi agung suasananya.
Rumit untuk dicerna. Tapi agung untuk dirasakan. Maka romantika cinta pasangan
jiwa selalu begitu: bauran yang kompleks antara kerumitan dan keagungan.
(Majalah Tarbawi edisi 140 Th.8/Ramadhan 1427 H/28 September 2006 M)
Qais
sebenarnya tidak harus bunuh diri. Hidup tetap bisa dilanjutkan tanpa Layla.
Tapi itulah masalahnya. Ia tidak sanggup. Ia menyerah. Hidup tidak lagi berarti
baginya tanpa Layla.
Ia memang
tidak minum racun. Atau gantung diri. Atau memutus urat nadinya. Tapi la
membiarkan dirinya tenggelam dalam duka sampai nafas terakhir. Tidak bunuh
diri. Tapi jalannya seperti itu.
Orang-orang romantis selalu begitu: rapuh. Bukan karena
romantisme mengharuskan mereka rapuh. Tapi di dalam jiwa mereka ada bias besar.
Mereka
punya jiwa yang halus. Tapi kehalusan itu berbaur dengan kelemahan. Dan itu
bukan kombinasi yang bagus. Sebab batasnya jadi kabur: kehailusan dan kelemahan
jadi tampak sama.
Qais lelaki
yang halus. Sekaligus lemah.
Kombinasi
begini membuat banyak orang-orang romantis jadi sangat rapuh. Apalagi saat-saat
menghadapi badai kehidupan. Misalnya ketika mereka harus berpisah untuk sebuah
pertempuran.
Maka cinta
dan perang selalu hadir sebagai momen paling melankolik bagi orang-orang
romantis Mengerikan. Tapi tak terhindarkan. Berdarah-darah. Tapi tak
terelakkan. Itu dunia orang-orang jahat. Dan orang-orang romantis hanya datang
ke sana sebagai korban.
Begitu
ruang kehidupan direduksi hanya ke dalam kehidupan mereka berdua dunia tampak
sangat buruk dengan perang. Tapi kehidupan punya jalannya sendiri. Ada kaidah
yang mengaturnya. Dan perang adalah niscaya dalam aturan itu.
Maka
terbentanglah medan konflik yang rumit dalam batin mereka. Dan orang-orang
romantis yang rapuh itu seialu kalah. Itu sebabnya Allah mengancam orang-orang
beriman: kalau mereka mencintai istri-istri mereka lebih dari cinta mereka pada
jihad, maka Allah pasti punya urusan dengan mereka.
Tapi inilah
persoalan inti dalam ruang cinta jiwa. Jika cinta jiwa ini berdiri sendiri,
dilepas sama sekali dari misi yang lebih besar, maka jalannya memang biasanya
ke sana: romantisme biasanya mengharuskan mereka mereduksi kehidupan hanya ke
dalam ruang kehidupan mereka berdua saja, karena di sana dunia seluruhnya hanya
damai, di sana mereka bisa menyembunyikan kerapuhan atas nama kehalusan dan
kelembutan jiwa.
Itu
sebabnya cinta jiwa selalu membutuhkan pelurusan dan pemaknaan dengan
menyatukannya bersama cinta misi. Dari situ cinta jiwa menemukan keterarahan
dan juga sumber energi. Dan hanya itu yang memungkinkan romantisme dikombinasi
dengan kekuatan jiwa. Maka orang-orang romantis itu tetap dalam kehalusan
jiwanya sebagai pencinta, tapi dengan kekuatan jiwa yang tidak memungkinkan
mereka jadi korban karena rapuh.
Ketika
kabar syahidnya syekh Abdullah Azzam disampaikan kepada istri beliau, janda itu
hanya menjawab enteng, “Alhamdulillab, sekarang dia mungkin sudah
bersenang-senang dengan para bidadari.”
(Majalah Tarbawi edisi 142 Th. 8/Syawal 1427 H/26 Oktober 2006 M)
Ia salah satu yang paling rajin di antara semua muridnya. Tapi pada hari keempat akhirnya sang murid muncul juga. Tapi dengan wajah yang menyimpan banyak sedih. Dan pilu.
“Ke mana saja kamu selama tiga hari ini?” tanya sang guru.
“Aku sedang berduka, ya syaekhana (tuan kami). Istriku baru saja wafat tiga hari lalu,” jawabnya sedih.
“Oh, kalau begitu aku turut berduka. Semoga Allah memasukkannya ke dalam surga-Nya dan memberimu ketabahan.”
Tapi kemudian sang guru tiba-tiba bertanya lagi, “Apakah kamu sudah menikah lagi?”
Tentu saja ia kaget. Tapi ia menjawab juga. “Tentu saja belum, ya syaekhana”.
“Apakah kamu ingin menikah lagi?” tanya sang guru lagi.
“Tentu saja mau, ya syaekhana,” jawabnya pasti.
“Bagaimana kalau kunikahkan kamu dengan puteriku?”.
Pertanyaan ini membuat sang murid berpikir bahwa gurunya hanya sedang menghiburnya. Maka ia menjawab sekenanya: “Tentu saja aku terima nikah puterimu, ya syaekhana.”
Sang murid kembali ke biliknya tanpa beban. Tanpa ingatan apa-apa atas dialog tadi.
Tapi di malam hari tiba-tiba pintunya diketuk. Ketika ia membukanya ia mendapati sang guru berdiri di depan pintu.
“Ini istrimu ku antar padamu, karena kamu tidak datang menjemputnya sore tadi,” kata sang guru enteng.
Sang murid tergagap. Ini nyata atau mimpi? Sekelebat saja dan sang guru telah menghilang. Dan hadirlah di hadapannya seorang gadis berwajah cantik bagai rembulan. Matanya bersinar terang. Lugu dan tanpa dosa. Ia pasti tidak tahu siasat laki-laki. Tapi jidatnya memancarkan kecerdasan yang menyala-nyala.
Dan sang murid masih saja tergagap di antara percaya dan tidak percaya. Ia makin malu ketika ia menyadari bahwa di rumahnya hanya ada sepotong roti dan secangkir air putih. Bukan. Ia malah sedikit minder. Makanya ia segera menyatakan permohonan maaf kepada puteri gurunya yang sekarang telah menjadi istrinya.
Tapi gadis itu seketika marah dan berkata, “Celakahlah ayahku, Said Ibnul Musayyab, mengapa ia menikahkan aku dengan seorang laki-laki yang imannya lemah begini? Dia masih punya sepotong roti dan segelas air tapi merasa tidak punya apa-apa!”
Begitulah kejutan cinta datang mengisi potongan kedua hidupnya. Tapi riwayatnya belum berakhir di situ.
Malam pertama itu berlangsung indah. Seindah semua malam pertama para pengantin.
Keesokan harinya sang murid membenahi buku catatan untuk berangkat beiajar. Tapi ia dicegat sang istri, “Bukankah kamu belajar dalam fiqh bahwa hak seorang perawan adalah tujuh hari tidak boieh ditinggal?”
Sang murid termangu. “Kamu benar,” hanya itu yang bisa dikatakannya.
Maka ia pun menghilang tujuh hari dari halaqah ilmu sang guru untuk memenuhi hak sang perawan.
Pada hari ke delapan ia berkemas lagi untuk pergi ke halaqah ilmu sang guru. Tapi ia dicegat lagi sang istri dengan sebuah pertanyaan, “Kamu belajar apa sama ayahku, Said Ibnul Musayyab?”
Sang murid tidak mengerti arah pertanyaan ini. Ia pun menjawab, “Aku belajar semua ilmu. Ada tafsir, hadits, fiqh, sejarah dan semua ilmu tentang agama ini.”
Lalu sang gadis menjawab penuh percaya diri, “Duduklah di sini. Belajarlah padaku. Karena semua yang ada di kepala Said juga ada di kepalaku”.
Perempuan itu agaknya mewakili kezuhudan kakeknya, Abu Hurairah, dan ilmu ayahnya, Said Ibnul Musayyab. Tapi kepada para pencinta sejati ia menyampaikan pesan ini: “bahwa orang-orang romantis hanya menjadi mungkin kuat ketika romantika mereka diikat oleh misi kehidupan yang luhur.”
(Majalah Tarbawi edisi 143 Th. 8/Zdulqa’dah 1427 H/23 November 2006 M
“Kenapa kamu
takut bunuh diri?”, tanya letaki itu gamang.
“Dan kamu,
kenapa kamu tidak mau melanjutkan hidup?” kawannya gamang juga, namun tetap
berusaha optimis.
Dua orang
dekat Hitler itu saling menatap dalam ketakutan pada menit-menit terakhir
menjelang kejatuhan Berlin ke tangan Soviet, dan yang pasti akan mengakhiri
riwayat petualangan Hitler. Di medan tempur mereka kalah, dan di medan hati
semua rasa berkecamuk: antara ketakutan, kesetiaan, keberanian, kehormatan dan
kesia-siaan.
Ketika akhirnya Soviet merebut Berlin, lelaki yang
pertama akhirnya menembak kepalanya sendiri: “Karena saya sudah berjanji pada
Hitler, bahwa saya akan mengikuti jejaknya: bunuh diri begitu Soviet merebut
Berlin”. Tapi lelaki yang kedua akhirnya menyerah dan memilih bersama dengan
Soviet, namun terus hidup: “Karena saya tidak ingin mati sia-sia”.
Kematian
selalu mengajar manusia menghargai kehidupan. Seperti perang memaksa manusia
mengharapkan perdamaian. Setiap kali kegilaan angkara murka membinasakan hidup
manusia, saat itu akal sehat hadir dengan tawaran yang sederhana: tinggalkan
kesia-siaan ini dan hargailah hidup.
Maka di
ujung keberanian yang sebenarnya adalah kegilaan, selalu muncul ketakutan yang
malu-malu; tapi itu sebenarnya adalah harapan yang tulus untuk tetap bertahan
hidup dan terbebas dari kesia-siaan. Dialog yang terekam dengan baik dalam film
Dawn Fall itu sebenarnya merupakan dialog antara kegilaan dan akal sehat,
antara kematian dan kehidupan, antara kehormatan dan kesia-siaan.
Begitulah
selalu kejadiannya: cinta manusia pada perdamaian selalu lahir sesudah perang panjang
yang sia-sia. Cinta damai itu adalah ikrar akal sehat yang lahir di ujung
pengalaman pahit yang memilukan. Perang Dunia Kedua yang telah membinasakan
puluhan juta nyawa manusia akhirnya melahirkan PBB dengan cita-cita yang
sederhana: menciptakan perdamaian dunia.
Perdamaian
adalah maslahat kemanusiaan yang agung. Tapi manusia tidak selalu mencintainya
sejak awai. Mereka perlu melamapaui kegilaan angkara murka untuk merasakan
kebutuhan yang sangat pada perdamaian itu. Itu sebabnya cinta maslahat yang
lahir dari akal sehat ini selalu merupakan temuan dari pengalaman pahit.
Dan itu
tabiat manusia pada dasarnya: mereka membutuhkan benturan untuk menjadi lebih
baik. Seperti cinta maslahat itu. Seperti cinta damai itu.
(Majalah Tarbawi edisi 147 Th. 8/Dzulhijjah 1427 H/1B Januan 2007 M)
Cinta tidak
akan pernah berkembang menjadi rencana aksi kecuali ketika ia lahir dari
semangat pertanggungjawaban. Cinta yang kuat adalah manifestasi dan sense of
responsibility yang terus menerus bergelora dalam jiwa sang pencinta. Sebab
cinta adalah tindakan. Bukan sekadar kata-kata. Atau janji-janji.
Sebagian
dari tindakan cinta itu adalah mengambil-alih masalah yang tidak dapat
diselesaikan oleh orang yang kita cintai. Sebagiannya lagi adalah mengembangkan
diri orang yang kita cintai secara terus-menerus. Tindakan cinta adalah
keterlibatan terus-menerus pada masalah dan penumbuhan orang-orang yang kita
cintai.
Tantangan beratnya adalah bahwa orang-orang yang kita
cintai terlalu sering tidak menyadari kebajikan yang kita suplai secara
berkesinambungan kepada mereka. Bahkan sering tanpa sadar menjadi tergantung
kepada kebajikan itu. Tapi seperti kepada matahari, udara dan air, sikap kita
juga begitu: kita menjadi terlalu terbiasa dengan kebajikan Ilahiyah itu dan
karenanya lupa untuk bersyukur dan menyatakan terima kasih yang tulus.
Jadi
mencintai adalah sebuah keputusan besar yang kita buat dalam hidup kita. Dan
seperti semua keputusan lainnya, keputusan untuk mencintai juga mengandung
beban dan resiko. Maka semua pekerjaan yang harus dilakukan atas nama cinta
selalu mengandung makna sebuah amanat, sebuah tugas, sebuah janji.
Misalnya
menjadi pemimpin rakyat. Itu pekerjaan yang harus dilakukan atas nama cinta.
Dan karenanya merupakan sebuah amanat, sebuah tugas, sebuah janji. Cinta dari
semangat penanggungan itulah yang mengganggu tidur mereka senantiasa.
Lihatlah
Umar bin Khattab yang tidak bisa tidur siang dan malam. “Bagaimana mungkin aku
bisa tidur? Kalau aku tidur di siang hari lantas siapa yang mengurus rakyatku?
Kalau aku tidur di ma]am hari lantas kapan aku bisa memenuhi hak diriku untuk
bermunajat dengan Allah?”
Begitu juga
perkawinan. Akad nikah adalah sebuah perjanjian yang keras. Seorang laki-laki
yang mengambil-alih hak perwalian dari ayah perempuan yang menjadi istrinya
harus menandatangani sebuah ‘aqad, sebuah kontrak, sebuah janji.
Laki-laki
itu mengambil perempuannya dari perlidungan sang ayah dengan amanat Allah.
Dalam kontrak itu ada sebuah komitmen sekaligus daftar kewajiban yang harus
ditunaikan. Amanat itu yang selalu memastikan bahwa seorang suami yang
bertanggung jawab “akan menghormati istrinya kalau ia mencintainya, tapi tidak
akan pernah menzaliminya kalau kemudian ia tidak lagi mencintainya”.
Entah
karena merasa sudah tua atau alasan lain suatu saat Saudah menawarkan kepada
Rasulullah saw untuk memberikan giliran harinya kepada Aisyah yang lebih muda
dan lebih dicintai Rasulullah saw. Tapi Rasulullah saw mengatakan, “Tidak! Kamu
harus mendapatkan apa yang menjadi hakmu.”
Semangat
pertanggungjawaban selalu begitu: melahirkan cinta yang tulus dan agung, karena
ia membuat pandangan mata hatimu mampu menembus batas kebenaran yang tampak
sekilas kepada hakikat abadi yang ada di sana: di haribaan Allah di hari
keabadian.
(Majalah Tarbawi edisi 150 Th. 8/Safar 1428 H/ 1 Maret 2007 M)
Semangat
penanggungan dan naluri keulungan adalah gelora moral dan jiwa sekaligus yang
hanya mungkin metahirkan bunyi cinta yang nyaring kalau ia menggaung dalam
ruang kepribadian yang ulet.
Ulet.
Pribadi yang ulet. Itu semua tentang daya tahan untuk terus memberi dan
kemampuan untuk terus bertumbuh.
Keuletan adalah ciri pribadi yang kuat dan kokoh.
Kerja-kerja batin dalam suatu tindakan cinta seperti memperhatikan,
menumbuhkan, merawat dan melindungi hanya mungkin dilakukan oleh jiwa-jiwa yang
ulet: jiwa-jiwa yang selalu mampu menembus ketidakmungkinan, jiwa-jiwa yang
selalu sanggup melawan kebosanan, jiwa-jiwa yang selalu bisa memecahkan
kebekuan dan kemalasan, jiwa-jiwa yang selalu dapat mengalahkan kelelahannya
sendiri.
Menjadi ulet
adalah karakter utama yang diperlukan untuk menjadi pencinta sejati.
Menumbuhkan dan merawat suatu hubungan jangka panjang, katakanlah sampai dua
puluh lima atau lima puluh tahun, tentu saja membutuhkan daya tahan mental dan
kemampuan untuk mempertahankan produktivitas hidup yang tinggi.
Lihatlah
berapa lama waktu yang diperlukan para nabi untuk menyampaikan dakwahnya dengan
hasil yang tidak dapat dipastikan? Lihatlah berapa lama waktu yang diperlukan
para pemimpin bangsa untuk membangun bangsanya? Dalam kehidupan keluarga yang
berlangsung hingga seperempat atau setengah abad, bagaimanakah kita
mempertahankan kehangatan emosi melalui perhatian, penumbuhan, perawatan dan
perlindungan terus menerus?
Keuletan
adalah kesabaran pada maknanya yang progresif. Di sini bertahan tidak berarti
berhenti. Di sini menanti tidak berarti melamun. Di sini mengalah tidak berarti
mundur. Ulet adalah kata tentang geliat tanpa henti. Ulet adalah kata tentang
pergerakan jiwa dalam dunia kebajikan yang tak selesai.
Jika ada latihan
paling berat untuk menjadi pencinta sejati, maka inilah dia latihan itu:
melatih jiwa menjadi ulet, meiatih jiwa untuk tetap dan terus bergerak di
tengah semua kesulitan, melatih jiwa melawan kebosanan dan kemalasan serta
kelelahan, melatih jiwa melawan kesedihan dan keputusasaan serta ketakutan,
melatih jiwa untuk mempertahankan kegembiraan dan keriangan serta kesenangan
dalam semua situasi, melatih jiwa untuk tetap produktif daiam semua rintangan,
melatih jiwa untuk tetap optimis dan progresif menghadapi waktu.
Tidak mudah
memang. Tapi jalan cinta selalu begitu; itu adalah cerita panjang tentang
kebajikan yang tak dapat dikalahkan oleh waktu. Para pencinta sejati selalu
mampu menembus dinding waktu itu ketika mereka menjeima menjadi pribadi-pribadi
yang ulet, yang selalu bergeliat dan bergerak dalam kebajikan tanpa henti.
Tidak mudah memang.
Tapi jalan
cinta selalu begitu.
(Majalah Tarwabi edisi 153 Th.8/RabiulAwaL 1428 H/12 April 2007 M)
Lelaki tua
menjelang 80-an itu menatap istrinya. Lekat-lekat. Nanar. Gadis itu masih
terlalu belia. Baru saja mekar.
Ini bukan
persekutuan yang mudah. Tapi ia sudah memutuskan untuk mencintainya. Sebentar.
kemudian ia pun berkata, “Kamu kaget melihat semua ubanku? Percayalah! Hanya
kebaikan yang kamu temui di sini”.
Itulah kalimat pertama Utsman bin Affan ketika menyambut
istri terakhirnya dari Syam, Naila. Selanjutnya adalah bukti. Sebab cinta
adalah kata lain dari memberi. Sebab memberi adalah pekerjaan…Sebab pekerjaan
cinta dalam siklus memperhatikan, menumbuhkan, merawat dan melindungi itu
berat. Sebab pekerjaan berat itu harus ditunaikan dalam waktu lama. Sebab
pekerjaan berat dalam waktu lama begitu hanya mungkin dilakukan oleh mereka
yang memiliki kepribadian kuat dan tangguh.
Maka setiap
orang hendaklah berhati-hati saat ia mengatakan, “Aku mencintaimu”. Kepada
siapapun! Sebab itu adalah keputusan besar. Ada taruhan kepribadian di situ.
Aku
mencintaimu, adalah ungkapan lain dari aku ingin memberimu sesuatu. Yang
terakhir ini juga adalah ungkapan lain dari, “Aku akan memperhatikan dirimu dan
semua situasimu untuk mengetahui apa yang kamu butuhkan untuk tumbuh menjadi
lebih baik dan bahagia…” “Aku akan bekerja keras untuk memfasilitasi dirimu
agar bisa tumbuh semaksimal mungkin…” “Aku akan merawat dengan segenap kasih
sayangku proses pertumbuhan dirimu melalui kebajikan harian yang akan kulakukan
padamu…” “Aku juga akan melindungi dirimu dari segala sesuatu yang dapat
merusak dirimu…”
Dan proses pertumbuhan itu taruhannya adalah kepercayaan orang yang kita cintai
terhadap integritas kepribadian kita.
Sekali kamu
mengatakan kepada seseorang, “Aku mencintaimu”, kamu harus membuktikan ucapan
itu. Itu deklarasi jiwa bukan saja tentang rasa suka dan ketertarikan, tapi
terutama tentang kesiapan dan kemampuan memberi, kesiapan dan kemampuan
berkorban, kesiapan dan kemampuan pekerjaan-pekerjaan cinta: memperhatikan,
menumbuhkan, merawat dan melindungi.
Ini yang
menjelaskan mengapa cinta yang terasa begitu panas membara di awal hubungan
lantas jadi redup dan padam pada tahun kedua, ketiga, keempat dan seterusnya.
Dan tiba-tiba saja perkawinan bubar, persahabatan berakhir, keluarga
berantakan, atau pemimpin jatuh karena tidak rakyatnya Jalan hidup kita
biasanya tidak linear. Tidak juga seterusnya pendakian atau penurunan. Karena
itu, konteks di mana pekerjaan-pekerjaan cinta dilakukan tidak selalu kondusif
secara emosional.
Tapi
disitulah tantangannya: membuktikan ketulusan di tengah situasi-situasi yang
sulit. Di situ konsistensi teruji. Di situ juga integritas terbukti. Sebab
mereka yang bisa mengejawantahkan cinta di tengah situasi yang sulit, jauh
lebih bisa membuktikannya dalam waktu yang longgar.
Mereka yang
dicintai dengan cara begitu, biasanya mengatakan bahwa hati dan jiwanya penuh
seluruh. Bahagia sebahagia-bahagianya. Puas sepuas-puasnya. Sampai tak ada
tempat bagi yang lain. Bahkan setelah sang pencinta mati.
Begitulah Naila. Utsman telah memenuhi seluruh jiwanya dengan cinta. Maka ia memutuskan untuk tidak menikah lagi setelah suaminya terbunuh. Ia bahkan merusak wajahnya untuk menolak semua pelamarnya. Tak ada yang dapat mencintai sehebat lelaki tua itu
Sang Khalifah
termenung gundah. Sedih. Tampaknya belum ada tanda-tanda kalau kelaparan yang
melanda kota Madinah akan segera berakhir. Puluhan orang meninggal sudah. Di
tingkat teknis operasional rasanya semuanya sudah ia lakukan. Tapi masih adakah
upaya lain yang mungkin ia lakukan?
Tidak jelas
betul hubungannya. Tapi sang Khalifah kemudian merasa kalau ia membutuhkan
tekad lebih besar. Cinta pada rakyat harus diekspresikan lebih nyata. Perasaan
itulah yang mengantarnya kepada keputusan kecilnya: selama kelaparan ini masih
berlangsung, Ummar bin Khattab tidak akan membiarkan seorang pun dari anggota
keluarganya untuk makan daging, dan tidak boleh menggauli satu dari ketiga
istrinya.
TIdak ada korelasi teknis. Tapi sebagai pemimpin, Umar
telah menyatakan tanggung jawab dan kepedulian kepada rakyatnya. Karena ia
terlibat. Sangat terlibat.
Itu
sebagian penampakan dari cinta misi. Ini buah keluhuran jiwa dan keyakinan yang
kuat terhadap sebuah misi. Cinta pada sebuah misi mendorong kita mencintai
semua orang dan pekerjaan yang ada di sepanjang jalan menuju misi itu. Semua
orang. Semua pekerjaan. Di sini cinta bekerja seperti mesin kendaraan. Tidak
penting betul siapa penumpangnya, dan jalan mana yang harus dilalui.
Keluhuran
misi menguasai jiwa sang pecinta dan membuat perasaan pada orang yang kita
cintai jadi beda. Kita tidak sedang mencintai sebuah “bentuk” di sini.
Yang kita
cintai adalah “gerak” yang lahir dari bentuk itu: gerak dari “manusia” sebagai
sebuah “entity” di alam raya. Karena itu beda warna adalah variasi yang indah.
Beda karakter juga kekayaan hidup. Semua niscaya. Karena kita memerlukannya
untuk melukis misi di atas kanvas kehidupan kita.
Hubungan
yang terbentuk dari cinta ini adalah penyatuan pada orbit pikiran. Perasaan
kita bergerak mengitari orbit itu. Perasaan adalah fungsi pikiran. Ia lahir,
bergerak dan meliuk seperti seorang penari mengikuti alur lagu.
Orang yang
kita cintai tidak harus memiliki perasaan yang sama. Para pecinta hanya
berpikir bagaimana mencintai. Mereka tidak terganggu jika kemudian mereka tidak
dicintai. Sebab mereka tidak mencintai “orangnya”. Mereka mencintai
“entity”-nya. Sebab entity merupakan fungsi pencapaian misi.
Cinta
inilah yang ada dan harus ada, misalnya di kalangan pada duat (dai), ulama,
mujahidin, guru, pekerja sosial, pemimpin politik, seniman, wartawan dan
lainnya. Karena cinta ini tertuju pada gerak, bukan bentuk, maka semua
pekerjaan yang terkait dengan pencapaian misi juga jadi niscaya.
Misalnya, Khalid bin Walid. Ia mencintai “jihad”. Ia bukan menikmati “saat-saat membunuh orang”. Ia mencintai “pekerjaannya”. Karena itu,niscaya untuk mencapai misi dakwah. Maka ia menikmati kesulitan-kesulitan di jalan itu. Lebih dari apapun juga. “Berada pada suatu malam yang dingin membeku dalam sebuah pertempuran lebih aku sukai daripada tidur bersama seorang gadis di malam pengantin,” katanya.
Cinta! Kata
ini kedengaran begitu melankolis, sentimentil, puitis sekaligus dramatis.
Ketiganya sering menjadi adonan runyam serta renyah sehingga kehadirannya tidak
bisa dijelaskan oleh bahasa apa pun. Maka, ungkapan bahwa cinta itu misteri,
merupakan ungkapan klise dari ketidakmampuan kita untuk menerangkan secara
alamiah.
Apapun kita
menamainya, yang jelas setiap orang pasti mengalami cinta. Bahkan, sejarah
manusia sesungguhnya cinta itu sendiri; mulai dari manusia masih dalam proses
pembuaian, kelahiran kemudian menjadi dewasa, semuanya karena cinta. Singkatnya
cinta ada di mana-mana dan kapan saja. Ia menembus ruang dan waktu serta
menghancurkan segala bentuk penghalang.
Karenanya, cinta tidak bisa diciptakan atau dibunuh. Ia
hadir mengalir terus tanpa harus direncanakan kehadirannya. Jadi biarkan cinta
ada, berkembang, tumbuh tanpa harus di schedule. Biarkan cinta berjalan alami
dengan apa adanya. Begitu alaminya, sebenarnya cinta itu amat sederhana. Ia
tidak serumit orang orang modern yang selalu tersekat oleh rencana-rencana,
keuntungan dan kerugian. Meski sederhana, sebenarnya cinta sangat dalam dan
berpengaruh luar biasa dalam setiap detik kehidupan.
Namun, seringkali kita merasakan bahwa cinta dan benci selalu mengalir selalu bersamaan. Begitu melekatnya, kadang kita tidak bisa merasakan apakah ini benci atau cinta. Perbedaannya sangat tipis. Setipis kulit bawang. Kita tidak dapat mengklasifikasikan di mana kebencian dan dalam ruang mana cinta itu berada. Keduanya selalu bergumul sempurna. Di dalam diri kita!
Lelaki
parlente itu tidak hanya dikenal sangat tampan yang ketampanannya bahkan
mengalahkan kecantikan wanita paling cantik. Ia juga lelaki paling berkuasa dan
paling disegani di muka bumi ketika itu. Lelaki itu adalah khalifah pertama
sekaligus pendiri khilafah Bani Umayyah.
Di ibu kota
khilafahnya, Damaskus, ia membangun sebuah istana megah. Ia punya selera. Semua
yang dimiliki adalah mimpi-mimpi wanita. Namun itu lantas menjadi ironi: kali
ini cinta tersedak. Ia tergila-gila pada seorang gadis badui yang cantik dan
innocent. Ia menikahinya. Lalu memboyongnya tinggal di istananya. Tapi ia gagal
menerbitkan bahwa sebersitpun cinta dalam hati sang istri.
Ketampanan, kemewahan dan kekuasaan Muawiyah tidak
cukup memadai membangkitkan cinta dalam jiwanya. Setiap langkah kakinya
menderap di sudut-sudut istana ingatannya malah kembali ke dusunnya. Sebab di
sana ada seorang pemuda badui yang terus merindukannya.
Pada suatu
malam yang sunyi, ketika purnama menghias langit malam, kesabarannya berakhir.
Rindunya meledak dalam bait-bait syair yang ia senandungkan. Sayup-sayup sang
Muawiyah mendengarnya. Ia terhenyak. Ia tahu bait-bait itu adalah deklarasi:
aku tidak mencintaimu, aku tidak bisa mencintaimu, aku ingin pulang, aku ingin
menikah dengan kekasihku!
Muawiyah
tersadar. Kekuasaan memungkinkan dia menikahi gadis badui itu dengan mudah.
Tapi kekuasaan tidak membantunya merebut cintanya. Gadis innocent itu adalah perempuan
merdeka. Ia memilih untuk meninggalkan istana Muawiyah yang megah hanya untuk
hidup bersama seorang pemuda dusun yang teramat sederhana. Dengan berat hati
akhirnya Muawiyah menceraikan sang istri, seorang gadis lugu yang telah
membuatnya tergila-gila.
Cinta
secara umum adalah emosi kebajikan yang meledakkan semangat memberi dalam jiwa
kita. Itu sebabnya kita selalu menjadi lebih baik ketika kita sedang jatuh
cinta. Tapi ketika cinta dihadapkan pada objeknya, khususnya cinta antara
laki-laki dan wanita, emosi kebajikan itu tetaplah emosi kebajikan, tapi dengan
chemistry yang sangat unik.
Dua emosi
kebajikan belum tentu bisa bertaut secara kimiawi dengan mudah. Jauh sebelum
cinta menjelma menjadi pertemuan dua fisik, ia terlebih dahulu bertaut di alam
jiwa. Jika ada pertemuan fisik yang tidak didahului oleh pertemuan jiwa itu
bukanlah cinta. Maka sepasang laki-laki dan wanita bisa melakukan hubungan seks
tanpa cinta.
Sebagai
manusia jiwa kita memiliki tabiat kimiawi yang sangat unik. Dan bisa ditebak.
Seorang perempuan lembut bisa jadi mencintai seorang laki-laki kasar, karena
kelembutan dan kekasaran adalah dua kutub jiwa yang bisa bertemu seperti air
dan api: saling tergantung dan saling menggenapkan.
Tapi
keunikan jiwa itu sama sekali tidak mengurangi kadar kebenaran dan fakta bahwa
cinta sebagai emosi kebajikan tetaplah harus mengejawantah pada semangat
memberi, dan bahwa nilai kita di mata orang yang kita cintai tetaplah terletak
pada kadar manfaat yang kita berikan padanya. Dan jika pada suatu hubungan
cinta tidak memberi sesuatu pada orang yang kita cintai, sementara hubungan itu
tetap berlanjut, bahkan langgeng, percayalah, itu semata-mata karena kesabaran
sang kekasih menyaksikan pencintanya mengkonsumsi kebajikannya setiap saat,
atas nama cinta.
Yang satu memberi atas nama cinta, yang lainnya menerima atas nama cinta. Ironis memang. Tapi faktanya ada. Bahkan mungkin banyak beredar di sekitar kita.
Lelaki itu
sudah mengabdi pada ibunya sampai tuntas. Ia menggendong ibunya yang lumpuh.
Memandikan dan mensucikannya dari semua hadats-nya. Ikhlas penuh ia
melakukannya. Itu balas budi dari seorang anak yang menyadari bahwa perintah
berbuat baik pada orang tua diturunkan Allah persis setelah perintah tauhid.
Tapi entah
karena dorongan apa ia kemudian bertanya pada Umar Bin Khattab: “Apakah pengabdianku
sudah cukup untuk membalas budi ibuku?”. Lalu Umar pun menjawab: “Tidak! Tidak
cukup! Karena kamu melakukannya sembari menunggu kematiannya, sementara ibumu
merawatimu sembari mengharap kehidupanmu”.
Tidak! Tidak! Tidak!
Tidak ada
budi yang membalas budi seorang ibu. Apalagi mengimbanginya. Sebab cinta ibu
mengalir dari darah dan ruh. Anak adalah buah cinta dua hati. Tapi ia tidak
dititip dalam dua rahim. Ia dititip dalam rahim sang ibu selama sembilan bulan:
di sana sang hidup bergeliat dalam sunyi sembari menyedot saripati kehidupa
sang ibu. Lalu ia keluar diantar darah: inilah ruh baru yang dititip dari ruh
yang lain.
Itu
sebabnya cinta ibu merupakan cinta misi. Tapi dengan ciri lain yang membedakan
dari jenis cinta misi yang lainnya, darah! Ya, darah! Anak adalah metamorfosis
dari darah dan daging sang ibu, yang lahir dari sebuah kesepakatan. Cinta ini
adalah campuran darah dan ruh. Ketika seorang ibu menatap anaknya yang sedang
tertidur lelap, ia akan berkata di akar hatinya: itu darahnya, itu ruhnya! Tapi
ketika ia memandang anaknya sedang merangkak dan belajar berjalan, ia akan
berkata di dasar jiwanya: itu hidupnya, itu harapannya, itu masa depannya! Itu
silsilah yang menyambung kehadirannya sebagai peserta alam raya.
Itu
kelezatan jiwa yang tercipta dari hubungan darah. Tapi di atas kelezatan jiwa
itu ada kelezatan ruhani. Itu karena kesadarannya bahwa anak adalah amanat
langit yang harus dipertanggungjwabkan di akhirat. Kalau anak merupakan isyarat
kehadirannya dimuka bumi, maka ia juga penentu masa depannya di akhirat. Dari
itu ia menemukan semangat penumbuhan tanpa batas: anak memberinya kebanggaan
eksistensial, ia juga sebuah pertanggungjawaban dan sepucuk harapan tentang
tempat yang lebih terhormat di surga berkat doa-doa sang anak.
Dalam semua
perasaan itu sang ibu tidak sendiri. Sang ayah juga berserikat bersamanya.
Sebab anak itu kesepakatan jiwa mereka. Mungkin karena kesadaran tentang sisi
dalam orang tua itu, DR. Mustafa Sibai menulis persembahan kecil di halaman
depan buku monementalnya “Kedudukan Sunnah Dalam Syariat Islam”. Buku ini, kata
Sibai, kupersembahkan kepada ruh ayahandaku yang senantiasa melantunkan
doa-doanya: “Ya Allah, jadikan anakku ini sebagai sumber kebaikanku di akhirat
kelak”.
Doa sang ibu dan sang ayah selamanya merupakan potongan-potongan jiwanya. Karena itu ia selamanya terkabul.
Selalu
begitu. Cinta selalu membutuhkan kata. Tidak seperti perasaan-perasaan lain,
cinta lebih membutuhkan kata lebih dari apapun. Maka ketika cinta terkembang
dalam jiwa tiba-tiba kita merasakan sebuah dorongan yang tak terbendung untuk
menyatakannya. Sorot mata takkan sanggup menyatakan semuanya.
Tidak
mungkin memang. Dua bola mata kita terlalu kecil untuk mewakili semua makna
yang membuncah di laut jiwa saat badai cinta datang. Mata hanya sanggup
menyampaikan sinyal pesan bahwa ada badai di laut jiwa. Hanya itu. Sebab cinta
adalah gelombang makna-makna yang menggores langit hati, maka jadilah pelangi;
goresannya kuat, warnanya terang, paduannya rumit, tapi semuanya nyata. Indah.
Itu sebabnya ada surat cinta. Ada cerita cinta. Ada
puisi cinta. Ada lagu cinta semuanya adalah kata. Walaupun tidak semua kata
mampu mewakili gelombang makna-makna cinta, tapi badai itu harus diberi kanal;
biar dia mengalir sampai jauh. Cinta itu membuat makna-makna itu jadi jauh
lebih nyata dalam rekaman jiwa kita. Bukan hanya itu.
Cinta
bahkan menyadarkan kita; langit, laut, gunung, padang rumput, tepi pantai,
gelombang, purnama, matahari, senja, gelap malam, cerah pagi, taman bunga,
burung-burung. Tiba-tiba semua itu punya arti. Tiba-tiba semua wujud itu masuk
ke dalam kesadaran kita. Tiba-tiba semua wujud itu menjadi bagian dari
kehidupan kita. Tiba-tiba semua wujud menjadi kata yang setia menjelaskan
perasaan-perasaan kita. Tiba-tiba semua wujud itu berubah menjadi
metafora-metafora yang memvisualkan makna-makna cinta.
Itu
sebabnya para pecinta selalu berubah menjadi sastrawan atau penyair atau
penyanyi. Atau setidak-tidaknya menyukai karya-karya para sastrawan, menyukai
puisi, atau mau belajar melantunkan lagu. Bukan karena ia percaya bahwa ia akan
benar-benar menjadi sastrawan atau penyair atau penyanyi yang berbakat. Tapi
semata-mata ia tidak kuat menahan menahan gelombang makna-makna cinta.
Cinta
membuat jiwa kita jadi halus dan lembut. Maka semua yang lahir dari kehalusan
dan kelembutan itu adalah juga makna-makna yang halus dan lembut. Hanya katalah
yang dapat mengurainya, menjamahnya perlahan-lahan sampai ia tampak terang
dalam imaji kita.
Puisi “Aku
Ingin”nya Sapardi Djoko Damono mungkin bisa jadi sebuah contoh bagaimana kata
mengurai dan menjamah makna-makna itu. Apakah Sapardi sedang jatuh cinta itu
atau sedang memaknai kembali cintanya? Saya tidak tahu! Tapi begini katanya:
Aku ingin
mencintaimu
dengan cara yang sederhana
kayu kepada api yang menjadikannya abu
Aku ingin
mencintaimu
dengan cara yang sederhana
awan kepada hujan yang menjadikannya tiada
Tidak ada
yang lebih indah dalam sejarah perasaan manusia seperti saat-saat ketika ia sedang
jatuh cinta. Bukan karena dunia disekeliling kita berubah pada kenyataannya.
Tapi saat-saat jatuh cintalah yang seketika mengubah persepsi kita tentang
dunia disekeliling kita. Tidak selalu karena wanita yang kita cintai itu memang
cantik pada kenyataannya. Tapi cinta kita padanya yang membuat cantik di mata
kita.
Saat jatuh
cinta adalah saat di mana persepsi kita mengalamai shifting pada semua
realitas yang ada di sekeliling kita. Kadang kita mungkin mengelabuhi diri
sendiri. Tapi itu puncak subjektifitas yang justru mengubah kita menjadi lebih
positif dalam kita memandang segala sesuatu.
Seperti indahnya subjektifitas pada dunia anak-anak.
Bagi mereka realitas yang sesungguhnya adalah realitas yang mereka persepsikan.
Bukan realitas yang ada di luar sana seperti yang dilihat oleh orang dewasa.
Bangku bisa dipersepsi sebagai rumah. Tongkat bia dipersepsi sebagai senjata.
Dunia menjadi sangat ringan dan fleksibel di mata mereka. Karena itu dunia anak
selalu indah, selalu penuh kenangan.
Begitu juga
saat kita jatuh cinta. Shifting pada
persepsi kita membuat dunia kita serasa jadi realitas lain yang begitu indah.
Dan itu membawa kenyamanan pada rongga dada kita. Karena perasaan kita seketika
berbunga-bunga. Karena, kata Ibnu Hazem, ruh kita seketika jadi ringan dan
lembut, badan kita seketika wangi, senyum kita seketika mengembang lebar, benci
dan dendam dan angkara murka seketika lenyap dari ruang hati kita, dan
tiba-tiba saja yang bukan penyair jadi penyair, yang tidak bisa bernyanyi
menjadi penyayi.
Suatu saat,
seorang raja bingung menyaksikan putera mahkotanya begitu pemalas, apatis,
tidak bergairah, tidak berminat pada ilmu pengetahuan, tidak bisa pidato. Ia
gundah, karena putera mahkotanya sama sekali tidak layak jadi raja. Maka sang
raja memerintahkan seorang dayang cantik istana untuk menggoda sang putera
mahkota.
Bilang
padanya, pesan sang raja pada dayang cantik itu, aku sangat mencintaimu dan
bersedia jadi permaisurinya. Nanti kalau hatinya sudah berbunga-bunga, bilang
lagi padanya-lanjut sang raja-tapi ada syaratnya, kamu harus bersemangat, lebih
rajin dan mau menyiapkan diri jadi raja, dan aku percaya kamu bisa.
Firasat
sang raja ternyata benar. Putera mahkota seketika berubah: ia mengubah
penampilannya jadi keren dan wangi, ia mempelajari berbagai macam ilmu, ia juga
tampil berpidato, ia juga menulis. Saat jatuh cinta telah mengubah persepsinya
tentang dirinya dan dunianya, seketika membangkitkan semangat hidupnya, dan
meledakkan semua potensinya.
Shifting pada persepsi mengembalikan sisi kekanakan kita saat kita jatuh cinta. Itu keindahan yang mempertemukan kita dengan sisi kemanusiaan kita; subjektif, melankolis, kekanakan, tapi positif. Dan indah.
Suatu saat
dalam sejarah cinta kita
Kita tidur saling memunggungi
Tapi jiwa berpeluk-peluk
Senyum mendekap senyum
Suatu
saat dalam sejarah cinta kita
Raga tak lagi saling membutuhkan
Hanya jiwa kita sudah lekat menyatu
Rindu mengelus rindu
Suatu
saat dalam sejarah cinta kita
Kita hanya mengisi waktu dengan cerita
Mengenang dan hanya itu
Yang kita punya
Suatu
saat dalam sejarah cinta kita
Kita mengenang masa depan kebersamaan
Ke mana cinta kan berakhir
Di saat tak ada akhir.
Sepasang
aktivis itu datang menemui saya dengan mata berbinar. Binar cinta yang bersemi
di mushalla kampus dan bangku kuliah dan di arak-arakan jalanan demonstrasi
untuk reformasi. Di tengah badai politik itu cinta bersemi.
Tapi cinta
gadis keturunan Arab dengan pemuda jawa itu kandas. Kasih mereka tak sampai ke
pelaminan. Restu orang tua sang gadis tak berkenan meneruskan riwayat asmara
putih mereka.
Tragis. Tragis sekali. Karena di hati siapa pun cinta
yang suci dan tulus seperti itu singgah, kita seharusnya mengasihi pemilik hati
itu. Sebab itu perasaan yang luhur. Sebab perasaan yang luhur begitu adalah
gejolak kemanusiaan yang direstui di sisi Allah. Sebab karena direstui itulah
Rasulullah SAW lantas bersabda, “tidak ada yang lebih baik bagi mereka yang
sudah saling jatuh cinta kecuali pernikahan”.
Islam
memang begitu. Sebab ia agama kemanusiaan. Sebab itu pula nilai-nilainya selalu
ramah dan apresiatif terhadap gejolak jiwa manusia. Dan sebab cinta adalah
perasaan kemanusiaan yang luhur, mengertilah kita mengapa ia mendapat ruang
sangat luas dalam tata nilai Islam.
Itu karena
Islam memahami dahsyatnya goncangan jiwa yang dirasakan orang-orang yang sedang
jatuh cinta. Tak ada tidur. Tak ada lelah. Tak ada takut. Tak ada jarak. Tak
ada aral. Yang ada hanya hasrat, hanya tekad, hanya rindu, hanya puisi
keindahan. Puisi adalah busur yang mengirimkan panah-panah asrmara ke jantung hati
sang kekasih. Rembulan adalah utusan hati yang membawa pesan kerinduan yang
pernah lelah melawan waktu.
Dua jiwa
yang sudah terpaut cinta akan tampak akan menyatu bagaikan api dengan panasnya,
salju dengan dinginnya, laut dengan pantainya, rembulan dengan cahaya. Mungkin
berlebihan atau mungkin memang begitu, tapi siapapun yang melantunkan bait ini
agaknya ia memang mewakili perasaan banyak arjuna yang sedang jatuh cinta:
“separuh nafasku terbang / bersama dirimu”.
Bisakah
kita membayangkan betapa sakitnya sepasang jiwa yang dipautkan cinta lantas
dipisah tradisi atau apa saja? Tragedi Zaenuddin dan hayati dalam Tenggelamnya
Kapal Vanderwick, atau Qais dan Laila dalam Majnun Laila, terlalu miris. Sakit.
Terlalu sakit.
Karena di
alam jiwa seharusnya itu mustahil. Tragedi cinta selamanya merupakan tragedi
kemanusiaan. Sebab itu memisahkan pasangan suami-istri yang saling mencintai
adalah misi terbesar syetan. Sebab itu menjodohkan sepasang kekasih yang saling
mencintai adalah tradisi kenabian.
Suatu saat,
Khalifah Al Mahdi singgah beristirahat dalam perjalanan haji ke Mekkah.
Tiba-tiba seorang pemuda berteriak, “Aku sedang jatuh cinta.”
Maka Al
Mahdi pun memanggilnya, “Apa masalahmu?”
“Aku
mencintai puteri pamanku dan ingin menikahinya. Tapi ia menolak karena ibuku
bukan Arab. Sebab itu aib dalam tradisi kami.”
Al Mahdi pun memanggil pamannya dan berkata padanya, “Kamu lihat putera-puteri Bani Abbasiyah? Ibu-ibu mereka juga banyak yang bukan Arab. Lantas apa salah mereka? Sekarang nikahkanlah lelaki ini dengan puterimu dan terimalah 20 ribu dirham ini; 10 ribu untuk aib dan 10 ribu untuk mahar.”
Memang tidak
mudah. Sebab tidak karena kamu mencintai lalu hendak memberi, atau kamu menebar
pesona kematanganmu melalui itu, maka cintamu berbalas. Fakta ini mungkin
pahit. Tapi begitulah adanya: kadang-kadang kamu harus belajar menepuk angin,
bukan tangan lain yang melahirkan suara cinta.
Sebabnya
sederhana saja. Cinta itu banyak macamnya. Ada cinta misi: cinta yang memang
kita rencanakan sejak awal. Cinta ini lahir dari misi suci, didorong oleh emosi
kebajikan dan didukung dengan kemampuan memberi. Misalnya cinta para nabi
kepada umatnya, atau guru kepada muridnya, atau pemimpin kepada rakyatnya, atau
ibu kepada anaknya. Jiwamu dan jiwa orang yang kamu cintai tidak mesti bersatu.
Cinta ini sering tidak berbalas. Bahkan sering berkembang menjadi permusuhan.
Lihatlah bagaimana nabi-nabi itu dimusuhi umatnya, atau para ibu ditelantarkan
anak-anaknya di usia tua, atau pemimpin yang baik dibunuh rakyatnya, atau guru
yang dilupakan murid-muridnya.
Inilah cinta yang paling luhur. Paling suci. Sebagian
besar kebaikan yang kita saksikan dalam kehidupan kita, bahkan dalam sejarah
umat manusia, sebenarnya merupakan buah dari cinta yang ini. Ambillah contoh
1,3 milyar umat Islam saat ini adalah hasil perjuangan berdarah-darah sang nabi
beserta sahabat-sahabatnya. Itu cinta misi.
Tapi ada
jenis cinta yang lain. Cinta jiwa. Cinta ini lahir dari kesamaan atau kegenapan
watak jiwa. Jiwa yang sama atau berbeda tapi saling menggenapi biasanya akan
saling mencintai. Cinta ini yang lazim ada dalam hubungan persahabatan dan
perkawinan atau keluarga. Cinta ini mengharuskan adanya respon yang sama: cinta
tidak boleh bertepuk sebelah tangan di sini.
Inilah
cinta yang paling rumit. Serumit kimia jiwa manusia. Suatu saat misalnya Umar
bin Khattab hendak melamar Ummu Kaltsum binti Abu Bakar, adik Aisyah ra. Gadis
itu sangat belia dan tumbuh di antara jiwa-jiwa yang lembut nan penyayang.
Aisyah ra jadi gusar. Wataknya tidak bertemu dengan watak Umar. Tapi siapa
berani menolak lamaran manusia paling sholeh di muka bumi ketika itu? Namun
dengan diplomasi yang sangat halus, melalui kepiawaian Amr bin Ash, Aisyah ra
menolak lamaran itu sembari menyarankan sang Khalifah menikahi Ummu Kaltsum
binti Ali bin Abi Thalib, adik Hasan dan Husein. Kali ini lamarannya diterima:
Ali dan Umar memiliki watak yang sama. “Tidak ada alasan menolak lamaran
manusia terbaik di muka bumi,” kata Ali ra.
Ada cinta ketiga. Cinta maslahat. Cinta ini dipertemukan oleh kesamaan kepentingan. Mereka bisa berbeda watak atau misi. Tapi kepentingan mereka sama maka mereka saling mencintai. Misalnya hubungan baik yang lazim berkembang di dunia bisnis. Suara ramah dari penjawab telepon, atau senyum manis seorang pramugari, atau layanan sempurna seorang resepsionis hotel: semua berkembang dari kepentingan tapi efektif menciptakan kenyamanan jiwa (comfortability). Anda adalah bagian dari pekerjaannya. Bukan jiwanya. Anda adalah kepentingannya. Bukan misinya.
Layak
dicintai adalah lambang keberartian. Sebab cinta tidak dipersembahkan untuk
padang jiwa yang hampa. Tidak juga untuk karya-karya tidak bermakna. Hanya bila
kita berguna, maka kita layak dicintai.
Kelayakan
dicintai adalah definisi sebuah kapasitas diri. Kapasitas yang diukur sejauh
mana kita memiliki harga. Dalam wujud amal nyata dan peran-peran yang berbukti.
Bukan status, apalagi sekedar hiasan performa dan gincu-gincu kepalsuan.
Kelayakan dicintai, berpulang pada banyak sebab. Ada
dedikasi di sana. Sebab, kelayakan itu tak datang percuma. Tanpa harga dan
tanpa biaya. Tidak. Kelayakan itu adalah buah persembahan yang berpeluh dan
berjibaku.
Kita memang
harus selalu bertanya tentang kelayakan untuk dicintai. Sebab cinta bukan
menuntut tapi mematut diri. Jika kita patut, maka orang-orang dengan sendirinya
akan mencintai kita dengan tulus. Tapi jika kita sudah mematut, tidak jua orang
datang. Kita tak perlu gusar! Yang penting adalah terus mencintai. Karena
cinta, sejujurnya adalah ketulusan untuk selalu memberi!
Seperti sunnatullah pada segala hal, cinta punya tabiat keseimbangannya. Antara mencintai dan kelayakan dicintai. Keduanya adalah capaian dan derajat hidup yang tak datang dengan cuma-cuma. Ada kerja dan persembahan besar dibaliknya. Orang-orang besar mengerti benar, betapa mencintai dan dicintai adalah karya-karya jiwa yang melelahkan!
Pada mulanya
cinta adalah gagasan tentang bagaimana membahagiakan dan menumbuhkan orang
lain. Selanjutnya adalah kemauan baik yang menjembatani gagasan itu menuju alam
kenyataan. Sisanya adalah kemampuan. Cinta yang hanya berkembang di batas gagasan
dan kemauan baik akan tampak seperti pohon rindang yang tidak berbuah.
Bagian
cinta yang pertama dan kedua, gagasan dan kemauan baik, biasanya terbentuk dari
serangkaian penghayatan akan nilai-nilai luhur kemanusiaan dan keagamaan
tentang kehidupan dan hubungan antar manusia di dalamnya, hubungan manusia
dengan Tuhan, dan hubungan manusia dengan alam. Sedalam apa itu penghayatan
dalam diri seorang pencinta, sedalam itu pula sumber energi yang ada di dalam
dirinya.
Tapi bagian ketiga dari cinta, kemampuan, memerlukan
latihan dan proses pembelajaran. Kalau kita mau memberi, kita harus belajar dan
berlatih bagaimana memiliki. Kalau kita mau memperhatikan orang yang kita
cintai, kita harus belajar dan berlatih untuk tidak membutuhkan perhatian orang
lain. Kalau kita mau menumbuhkan sang kekasih, kita harus belajar dan berlatih
bagaimana bertumbuh sendiri terlebih dahulu. Begitu seterusnya: memberi,
memperhatikan, menumbuhkan, merawat dan melindungi mengharuskan kita memiliki
kemampuan pribadi untuk melakukan tindakan-tindakan produktif.
Membangun
kemampuan mencintai berarti membangun kemampuan produktif dalam diri kita.
Menjadi seorang pecinta sejati berarti menjadi seorang produktif yang selalu
berorientasi bukan saja pada proses, tapi juga terutama hasil akhir.
Produktivitas adalah indikator kematangan seorang pecinta. Seorang pecinta yang
tidak produktif adalah pohon rindang yang tidak berbuah.
Ini sisi
cinta yang paling rasional dan paling berat: belajar dan berlatih untuk menjadi
produktif. Ini bukan pelajaran tentang bagaimana menguntai kata-kata cinta.
Atau tentang teknik-teknik merawat cinta kasih. Ini pelajaran tentang bagaimana
kita mengembangkan diri, mengubah semua potensi dalam diri kita menjadi
kemampuan-kemampuan baru itu menjadi produktivitas.
Mencintai
dengan semua siklusnya adalah kerja dari dalam ke luar. Seorang pencinta sejati
adalah seseorang yang mampu keluar dari dirinya sendiri menuju orang lain. Tapi
sejauh seseorang sebelum mampu keluar dari dirinya sendiri, ia harus masuk ke
dalam dirinya sendiri. Sedalam mungkin. Karena dari kedalaman itulah, ia bisa
keluar sejauh mungkin.
Pelajaran cinta adalah pelajaran tentang bagaimana kita masuk kedalam diri sendiri untuk kemudian keluar dengan cara yang lain. Ini latihan untuk menjadi lebih baik. Dan akhirnya, ini adalah pelajaran tentang bagaimana mengubab kehidupan kita menjadi taman yang lebih indah dipandang dan lebih nyaman dihuni. Karena di sana kita bertumbuh. Karena dalam pertumbuhan itu kita berbahagia.
“Wahai
orang-orang beriman, sesungguhnya diantara istri-istri dan anak-anak kamu ada
yang menjadi musuh bagimu.”
Bisakah
Anda membayangkan bahwa suatu saat, istri dan anak-anak yang Anda cintai,
justru menjadi musuh Anda? Mungkin. Mungkin sekali itu terjadi. Pada siapa
saja. Karena cintanya pada istri dan anak-anaknya tidak “turun” dari cinta
misi, dari cintanya pada Allah. Atau sebaliknya, jika cinta pada istri dan
anak-anak tidak berhasil membawa mereka ke dalam lingkaran cinta misi.
Itulah tragedi dua orang nabi dan seorang perempuan shalihah.
Dengan segenap cinta dan harapan jiwanya, Nabi Nuh masih terus berusaha
mempertahankan istri dan anak-anaknya ketika tsunami itu datang. Tapi tidak!
Cinta misinya tidak tersambung dengan nasabnya. Begitu juga Nabi Luth. Istrinya
ada dalam daftar umatnya yang dibinasakan Allah. Dan perempuan shalihah itu
bernama Aisyah, istri seorang thagut terbesar sepanjang sejarah, Fir’aun.
Ketika cinta harus memilih, ia memilih Tuhannya. Ia memilih cinta misinya.
Meskipun ia harus mengorbankan nyawanya sendiri.
Itu saat
yang getir. Ketika kita harus memilih dua cinta yang bertarung dalam jiwa. Dan
Allah mengabadikan cerita pertarungan dua cinta itu dalam jiwa Nuh, Luth dan
Aisyah. Agar kita mengerti bahwa permisalan itu adalah takdir kehidupan bahwa
siapapun mungkin mengalami itu: saat-saat di mana kita harus memutuskan pilihan
dari dua cinta yang tidak dapat dipertemukan.
Tidak harus
selalu begitu, memang. Sebab ada cerita cinta lain. Cerita tentang dua cinta
yang bertemu. Seperti cinta Muhammad dan Khadijah, atau Yusuf dan Zulaikha,
atau Adam dan Hawa. Cerita tentang Adam yang memakan buah khuldi yang terlarang
adalah manifesti cinta jiwa yang tidak terangkai dalam cinta misi. Tapi mereka
segera bertaubat dan meluruskan arah cinta. Tapi ketegaran Yusuf menghadapi godaan
istri sang raja adalah yang mengantarkan hidayah ke dalam jiwa Zulaikha. Adapun
Muhammad dan Khadijah: itu cinta yang sejak awal tumbuh dan berkembang dalam
bingkai cinta misi.
Secara
manusiawi perseteruan dua cinta ini lahir dari kecenderungan jiwa yang tidak
terbingkai dengan nilai-nilai cinta misi. Itu cobaan hati yang paling banyak
menimpa orang shalih. Ketika “bentuk” mengalahkan “makna”, ketika “rupa”
mendahului “jiwa”, itu pertanda awal datangnya cobaan. Mereka yang memenangkan
bentuk dan rupa, biasanya harus membayar harga kenikmatan duniawi dengan ongkos
makna dan jiwa yang seringkali terlalu mahal. Itu sebabnya Rasullullah saw
menganjurkan kita mendahulukan agama dalam memilih pasangan hidup.
Itu kalau harus memilih. Tapi masalah ini tentu selesai dengan sendirinya kalau bentuk berpadu dengan makna, rupa bertemu jiwa. Dan itu, kata Ibnu Qoyyim, adalah puncak karunia dan kenikmatan dunia akhirat: menikahi seorang perempuan shalilah, cerdas dan cantik sekaligus. Seperti Muhammad kepada Aisyah. Tidak mudah memang. Tapi tetap saja mungkin.
Lelaki tua
menjelang 80-an itu menatap istrinya. Lekat-lekat. Nanar. Gadis itu masih
terlalu belia. Baru saja mekar.
Ini bukan
persekutuan yang mudah. Tapi ia sudah memutuskan untuk mencintainya. Sebentar.
kemudian ia pun berkata, “Kamu kaget melihat semua ubanku? Percayalah! Hanya
kebaikan yang kamu temui di sini”.
Itulah kalimat pertama Utsman bin Affan ketika menyambut
istri terakhirnya dari Syam, Naila. Selanjutnya adalah bukti. Sebab cinta
adalah kata lain dari memberi. Sebab memberi adalah pekerjaan…Sebab pekerjaan
cinta dalam siklus memperhatikan, menumbuhkan, merawat dan melindungi itu
berat. Sebab pekerjaan berat itu harus ditunaikan dalam waktu lama. Sebab
pekerjaan berat dalam waktu lama begitu hanya mungkin dilakukan oleh mereka
yang memiliki kepribadian kuat dan tangguh.
Maka setiap
orang hendaklah berhati-hati saat ia mengatakan, “Aku mencintaimu”. Kepada siapapun!
Sebab itu adalah keputusan besar. Ada taruhan kepribadian di situ.
Aku
mencintaimu, adalah ungkapan lain dari aku ingin memberimu sesuatu. Yang
terakhir ini juga adalah ungkapan lain dari, “Aku akan memperhatikan dirimu dan
semua situasimu untuk mengetahui apa yang kamu butuhkan untuk tumbuh menjadi
lebih baik dan bahagia…” “Aku akan bekerja keras untuk memfasilitasi dirimu
agar bisa tumbuh semaksimal mungkin…” “Aku akan merawat dengan segenap kasih
sayangku proses pertumbuhan dirimu melalui kebajikan harian yang akan kulakukan
padamu…” “Aku juga akan melindungi dirimu dari segala sesuatu yang dapat
merusak dirimu…”
Dan proses pertumbuhan itu taruhannya adalah kepercayaan orang yang kita cintai
terhadap integritas kepribadian kita.
Sekali kamu
mengatakan kepada seseorang, “Aku mencintaimu”, kamu harus membuktikan ucapan
itu. Itu deklarasi jiwa bukan saja tentang rasa suka dan ketertarikan, tapi
terutama tentang kesiapan dan kemampuan memberi, kesiapan dan kemampuan
berkorban, kesiapan dan kemampuan pekerjaan-pekerjaan cinta: memperhatikan,
menumbuhkan, merawat dan melindungi.
Ini yang
menjelaskan mengapa cinta yang terasa begitu panas membara di awal hubungan
lantas jadi redup dan padam pada tahun kedua, ketiga, keempat dan seterusnya.
Dan tiba-tiba saja perkawinan bubar, persahabatan berakhir, keluarga
berantakan, atau pemimpin jatuh karena tidak rakyatnya Jalan hidup kita
biasanya tidak linear. Tidak juga seterusnya pendakian atau penurunan. Karena
itu, konteks di mana pekerjaan-pekerjaan cinta dilakukan tidak selalu kondusif
secara emosional.
Tapi
disitulah tantangannya: membuktikan ketulusan di tengah situasi-situasi yang
sulit. Di situ konsistensi teruji. Di situ juga integritas terbukti. Sebab
mereka yang bisa mengejawantahkan cinta di tengah situasi yang sulit, jauh
lebih bisa membuktikannya dalam waktu yang longgar.
Mereka yang
dicintai dengan cara begitu, biasanya mengatakan bahwa hati dan jiwanya penuh
seluruh. Bahagia sebahagia-bahagianya. Puas sepuas-puasnya. Sampai tak ada
tempat bagi yang lain. Bahkan setelah sang pencinta mati.
Begitulah Naila. Utsman telah memenuhi seluruh jiwanya dengan cinta. Maka ia memutuskan untuk tidak menikah lagi setelah suaminya terbunuh. Ia bahkan merusak wajahnya untuk menolak semua pelamarnya. Tak ada yang dapat mencintai sehebat lelaki tua itu.
“Ya Allah Engkau tahu
Hati-hati ini telah
Berkumpul daiam cintaMu
Bertemu dalam taatMu
Menyatu menolong dakwahMu
Berjanji perjuangkan syariatMu
Maka eratkan ikatannya
Dan abadikan cintanya”
Seperti
angin membadai. Kau tak melihatnya. Kau merasakannya. Merasakan kerjanya saat
ia memindahkan gunung pasir di tengah gurun. Atau merangsang amuk gelombang di
laut lepas. Atau meluluhlantakkan bangungan-bangungan angkuh di pusat kota
metropolitan.
Begitulah
cinta. Ia ditakdirkan jadi kata tanpa benda. Tak terlihat. Hanya terasa. Tapi
dahsyat.
Seperti banjir menderas. Kau tak kuasa mencegahnya. Kau hanya bisa ternganga
ketika ia meluapi sungai-sungai, menjamah seluruh permukaan bumi, menyeret
semua benda angkuh yang bertahan di hadapannya. Dalam sekejap ia menguasai bumi
dan merengkuhnya dalam kelembutannya. Setelah itu ia kembali tenang: seperti
seekor harimau kenyang yang terlelap tenang.
Demikianlah
cinta. la ditakdirkan jadi makna paling santun yang menyimpan kekuasaan besar.
Seperti
api menyala-nyala. Kau tak kuat melawannya. Kau hanya bisa menari di sekitarnya
saat ia mengunggun. Atau berteduh saat matahari membakar kulit bumi. Atau
meraung saat lidahnya melahap rumah-rumah, kota-kota, hutan-hutan. Dan seketika
semua jadi abu. Semua jadi tiada.
Seperti
itulah cinta. Ia ditakdirkan jadi kekuatan angkara murka yang mengawal dan
melindungi kebaikan.
Cinta
adalah kata tanpa benda, nama untuk beragam perasaan, muara bagi ribuan makna,
wakil dari sebuah kekuatan tak terkira. la jelas, sejelas matahari. Mungkin
sebab itu Eric Fromm—dalam The Art of Loving— idak tertarik—atau juga tidak
sanggup—mendefinisikannya. Atau memang cinta sendiri yang tidak perlu definisi
bagi dirinya.
Tapi
juga terlalu rumit untuk disederhanakan. Tidak ada definisi memang. Dalam
agama, atau filsafat atau sastra atau psikologi. Tapi inilah obrolan manusia
sepanjang masa. Inilah legenda yang tak pernah selesai.
Maka
abadilah Rabiah Al-Adawiyah, Rumi, Iqbal, Tagore atau Gibran karena puisi atau
prosa cinta mereka. Abadilah legenda Romeo dan Juliet, Laela Majunun, Siti
Nurbaya atau Cinderella. Abadilah Taj Mahal karena kisah cinta di balik
kemegahannya.
Cinta
adalah lukisan abadi dalam kanvas kesadaran manusia. Lukisan. Bukan definisi.
Ia disentuh sebagai sebuah situasi manusiawi, dengan detil-detil nuansa yang
begitu rumit. Tapi dengan pengaruh yang terlalu dahsyat.
Cinta
merajut semua emosi manusia dalam berbagai peristiwa kehidupannya menjadi
sublim: begitu agung tapi juga terlalu rumit. Perang berubah jadi panorama
kemanusiaan begitu cinta menyentuh para pelakunya. Revolusi tidak dikenang
karena geloranya tapi karena cinta yang melahirkannya. Kekuasaan tampak lembut
saat cinta memasuki wilayah-wilayahnya. Bahkan penderitaan akibat kekecewaan
kadang terasa manis karena cinta yang melatarinya: seperti Gibran yang kadang
terasa menikmati Sayag-sayap Patah-nya.
Kerumitan
terletak pada antagoni-antagoninya. Tapi di situ pula daya tariknya
tersembunyi. Kerumitan tersebar pada detil-detil nuansa emosinya, berpadu atau
berbeda. Tapi pesonanya menyebar pada kerja dan pengaruhnya yang teramat
dahsyat dalam kehidupan manusia.
Seperti
ketika kita menyaksikan gemuruh badai, luapan banjir atau nyala api, seperti itulah
cinta bekerja dalam kehidupan kita. Semua sifat dan cara kerja udara, api dan
air juga terdapat dalam sifat dan cara kerja cinta. Kuat. Dahsyat. Lembut. Tak
terlihat. Penuh haru biru. Padat makna. Sarat gairah. Dan, antagonis.
Barangkali
kita memang tidak perlu definisi. Toh kita juga tidak butuh penjelasan untuk
dapat merasakan terik matahari. Kita hanya perlu tahu cara kerjanya. Cara
kerjanya itulah definisinya: karena—kemudian—semua keajaiban terjawab di sana.
(Majalah Tarbawi edisi 78 Th. 5/Dzulhijjah 1424 H/19 Pebruari 2004 M)
Arafah.
Padang luas tempat kita menghampar jiwa. Semua lebur jadi satu tanpa sekat.
Semua sekat; etnis, wama kulit, postur, latar budaya dan sejarah. Ihram putih
yang membalut tubuh-tubuh kita menyimbolkan kesatuan. Semua kesatuan: asal
usul, tujuan hidup, jalan hidup yang kita tempuh untuk mencapai tujuan itu.
Arafah itu
seperti lukisan jiwa-jiwa yang digantung di dinding sejarah. Seluruh jiwa
menyatu dalam lukisan yang rumit; disatukan oleh kekuatan yang lahir kekuatan;
kekuatan cinta yang lahir kekuatan iman.
Tiba-tiba kita semua merasakan kerendahan hati yang
tulus. Lalu jiwa kita hampar bagai permadani; silakan semua orang duduk di
sana. Perbedaan-perbedaan ini-etnis, warna kulit, postur, tatar budaya dan
sejarah-seketika berubah menjadi sumber keindahan yang menghiasi langit
kehidupan kita.
Cintalah
rahasianya. Maka ekspansi Islam dari jazirah Arab ke kawasan Asia-Tengah,
Selatan, Tenggara dan Cina, atau kawasan Afrika-Selatan dan Utara-sampai ke
Eropa Barat dan Timur, bukanlah suatu catatan tentang pedang terhunus yang tak
pernah berhenti berdarah. Itu justru serangan pasukan cinta yang datang
membebaskan jiwa-jiwa manusia dari belenggu yang membatasi hidupnya dengan
sekat tanah dan etnis: maka menyatulah mereka dalam cinta yang melapangkan
dunia.
“Akan kami
perangi mereka dengan cinta”, kata Hasan Al Banna.
Dalam
celupan cinta jiwa-jiwa itu muncul kembali dengan kesamaan-kesamaan baru:
keramahan yang tulus, kerendahan hati yang natural, kedermawanan dan kebiasaan
menolong orang lain. Pergilah ke negara-negara Islam dan temuilah
masyarakatnya, kamu pasti menemukan sifat-sifat itu merata di antara mereka.
Itulah sifat-sifat yang lahir dari cinta.
Dan itulah
yang terjadi kemudian. Bangsa-bangsa Islam adalah rumpun ideologi yang tidak
pernah bisa punah, bahkan ketika khilafah mereka runtuh dan negara-negara mereka
porak-poranda.
Bandingkanlah
dengan imperium Romawi, atau Persia atau Uni Soviet. Bangsa-bangsa mereka pecah
begitu institusi negara mereka runtuh. Nasib seperti ini rasanya juga akan
dialami oleh negara-negara kosmo saat ini. Materialisme telah membangun sebuah
dunia kosmo yang disatukan dan dipisahkan oleh uang.
Di dunia
kita saat ini, krisis ekonomi bisa dengan mudah menghancurkan sebuah bangsa,
menutup riwayat sebuah negara. Seperti Uni Soviet. Walaupun tidak dapat
meramalkan waktu kejadiannya, tapi saya memiliki kepercayaan yang kuat, bahwa
Amerika Serikat juga akan mengalami masa depan yang sama.
Batasan
negeri kita, dan negeri mana pun, adalah ruang hati kita. Seluas apa ruang hati
kita dapat menampung orang lain, seluas itulah negeri yang mungkin kita huni.
Selama apa cinta dapat bertahan dalam hati kita, selama itulah umur negeri
kita. Dalam kehidupan berbangsa dan bernegara yang rumit sebenarnya tersimpan
sebuah ratiasia yang sederhana: keutuhan kita sebagai bangsa seumur dengan umur
cinta kita.
(Majalah Tarbawi edisi 87 Th. 5/Jumadil Awwal 1425 H/24 Juni 2004 M)
“Aku
mencintaimu, wahai Rasulullah, melebihi cintaku pada semua yang lain, kecuali
diriku sendiri.” Begitu Umar Bin Khattab berkata pada Rasulullah saw. la hendak
menyatakan cintanya pada Sang Rasul. Dengan caranya sendiri.
Tapi ia
tidak menduga kalau jawaban Sang Rasul justru berbeda sama sekali. “Tidak!
Wahai Umar! Sampai aku lebih engkau cintai daripada dirimu sendiri,” jawab
Rasulullah saw.
Itu ciri utamanya. Hirarki. Cinta misi berawal dan
berujung pada satu dan hanya satu nama: Allah Subhanahu Wataala. Tapi Allah
yang menjadi awal dan akhir dari semua cinta berkata kepada Nabi dan
kekasih-Nya, Muhammad saw, “Katakanlah pada mereka, jika kamu mencintai Allah,
maka ikutilah aku.” Maka cinta pada Allah harus turun pada cinta kepada
Rasul-Nya, Muhammad saw.
Tapi cinta
pada Muhammad saw mengharuskan kita mencintai semua manusia yang telah beriman
kepadanya, khususnya para anggota keluarga yang luhur dan sahabat-sahabatnya
yang mulia, dan kepada semua generasi yang datang sesudah mereka dari para
tabiin dan pengikut para tabiin, serta siapapun yang mengikuti jalan hidup
(manhaj) mereka dari kaum salaf bersama seluruh generasi mukmin hingga hari
kiamat.
Cukup?
Belum! Masih ada lagi. Cinta pada orang-orang beriman mengharuskan kita
mencintai semua ‘pekerjaan’ yang mendekatkan kita pada Allah, Rasul-Nya dan
orang-orang beriman. Jadi cinta pada Allah harus turun pada orang dan
pekerjaan. Orang-orang itu terdiri dari Nabi dan semua orang beriman. Pekerjaan
itu terdiri dari semua amal saleh.
Begitu
hirarkinya. Semua cinta kita yang lain hanya akan menjadi lurus kalau ia
menyesuaikan diri dengan hirarki ini. Cinta pada istri-istri dan anak-anak dan
sanak saudara dan handai taulan dan sahabat karib dan rumah-rumah dan
mobil-mobil dan harta-harta dan semua dan semua hanya akan menjadi lurus jika
ia berada dalam mang besar yang bernama cinta pada Allah SWT. Perasaan kita
harus ditata dalam struktur cinta seperti itu.
Cinta misi
adalah sebuah ruang besar tanpa batas. Semua cinta yang lain harus disusun
secara proporsional dalam mang besar itu. Tidak mudah, memang. Tapi inilah
sumber keharmonisan jiwa manusia.
Hanya
ketika emosi tertata secara apik dalam hirarki cinta misi, kita menemukan
pemaknaan yang hakiki terhadap semua aliran emosi kita yang lain. Persis
seperti anak-anak sungai yang mengalir sendiri-sendiri: pada mulanya menyatu di
hulu, laiu tampak berpencar di tengah, tapi kemudian bertemu lagi di muara.
Dengan cara
itu Al Banna memaknai cintanya pada Allah dan dakwah. Suatu saat anaknya
terbaring sakit. Panasnya meninggi. Istrinya panik. Beliau sendiri sedang
menjalankan sebuah aktivitas dakwah. Tapi sang istri memanggilnya pulang. Ia
tidak kuat sendiri menghadapinya. la khawatir terjadi sesuatu pada anak mereka.
Tapi sang dai menjawab enteng, “Ajalnya ada di tangan Allah. Kedatanganku tidak
akan menambah atau menguranginya.”
Majalah Tarbawi edisi 110 Th. 7/Jumadil Ula 1426 H/9 Juni 2005 M
Lupakan!
Lupakan semua cinta jiwa yang tidak akan sampai ke pelaminan. Tidak ada cinta
jiwa tanpa sentuhan fisika. Semua cinta dari jenis yang ini yang tidak berujung
dengan penyatuan fisik hanya akan mewariskan penderitaan bagi jiwa. Misalnya
yang dialami Nashr bin Hajjaj di masa Umar bin Khattab.
Ia pemuda
paling ganteng yang ada di Madinah. Sholeh dan kalem. Secara diam-diam
gadis-gadis Madinah mengidolakannya. Sampai suatu saat Umar mendengar seorang
perempuan menyebut namanya dalam bait-bait puisi yang dilantunkannya di malam
hari.
Umar pun mencari Nashr. Begitu melihatnya, Umar terpana
dan mengatakan, ketampanannya telah menjadi fitnah bagi gadis-gadis Madinah.
Akhirnya Umar pun memutuskan untuk mengirimnya ke Basra.
Di sini, ia
bermukim pada sebuah keluarga yang hidup bahagia. Celakanya, Nashr justru jatuh
cinta pada istri tuan rumah. Wanita itu juga membalas cintanya.
Suatu saat
mereka duduk bertiga bersama sang suami. Nashr menulis sesuatu dengan tangannya
di atas tanah yang lalu dijawab oleh sang istri. Karena buta huruf, suami yang
sudah curiga itu pun memanggil sahabatnya utuk membaca tulisan itu.
Hasilnya:
“Aku cinta padamu!” Nashr tentu saja malu karena ketahuan. Akhirnya ia
meninggalkan keluarga itu dan hidup sendiri. Tapi cintanya tak hilang. Dan ia
menderita karenanya. Sampai ia jatuh sakit dan badannya kurus kering.
Suami
perempuan itu pun kasihan dan menyuruh istrinya untuk mengobati Nashr. Betapa
gembiranya Nashr ketika perempuan itu datang.
Tapi cinta
tak mungkin tersambung ke pelaminan. Mereka tidak melakukan dosa, memang. Tapi
mereka menderita. Dan Nashr meninggal setelah itu.
Itu derita
panjang dari sebuah cinta yang tumbuh di lahan yang salah.
Tragis
memang. Tapi ia tak kuasa menahan cintanya. Dan ia membayarnya dengan
penderitaan hingga akhir hayat. Pastilah cinta yang begitu akan jadi penyakit.
Sebab cinta yang ini justru menemukan kekuatannya dengan sentuhan fisika.
Makin
intens sentuhan fisiknya, makin kuat dua jiwa saling tersambung. Maka ketika
sentuhan fisik jadi mustahil, cinta yang ini hanya akan berkembang jadi
penyakit.
Itu
sebabnya Islam memudahkan seluruh jalan menuju pelaminan. Semua ditata
sesederhana mungkin.
Mulai dari proses perkenalan, pelamaran, hingga mahar dan pesta pernikahan.
Jangan ada tradisi yang menghalangi cinta dari jenis yang ini untuk sampai ke
pelaminan.
Tapi
mungkin halangannya bukan tradisi. Juga mungkin tidak selalu sama dengan kasus
Nashr. Kadang-kadang misalnya, karena cinta tertolak atau tidak cukup memiliki
alasan yang kuat untuk dilanjutkan dalam sebuah hubungan jangka panjang yang
kokoh.
Apapun
situasinya, begitu peluang menuju pelaminan tertutup, semua cinta yang ini
harus diakhiri. Hanya di sana, cinta yang ini absah untuk tumbuh bersemi: di
singgasana pelaminan
(Majalah Tarbawi edisi 121 Th. 7/Dzulqa’dah 1426 H/8 Desember 2005 M)
Ini jenis
cinta ketiga: cinta maslahat. Cinta ini lahir dari dan karena dan untuk
maslahat.
Kita
mencintai sesuatu atau seseorang atau sebuah pekerjaan karena ada maslahatyang
kita peroteh di balik itu. Jadi maslahat adalah alasannya.Maslahat itu bisa
terbatas dalam skala pribadi bisa juga meluas dalam skala kelompok atau bangsa
atau bahkan dunia.
Dalam skala
pribadi misalnya cinta hobi. Para pembalap atau pemburu menanggung resiko besar
dari aktivitas mereka. Tapi mereka melakukannya karena hobi: maslahat mereka
adalah kenyamanan karena kepuasan psikologis.
Dalam skala kelompok misalnya cinta para pengusaha
kepada pelanggan mereka. Mereka mengeluarkan uang besar untuk melakukan survey
tentang kebutuhan pelanggan mereka. Lalu membangun sistem dan tradisi pelayanan
yang baik untuk memuaskan pelanggan mereka: karena di balik itu ada untung
besar.
Dalam skala
bangsa misalnya adalah apa yang dilakukan para politisi untuk mendapatkan
dukungan suara rakyat dalam pemilu. Mereka mungkin tidak didorong oleh misi
suci ibadah untuk memperbaiki keadaan rakyat mereka. Tapi mereka tetap harus
melakukan sesuatu untuk mendapatkan simpati mereka: kelanjutan karir mereka ada
pada dukungan suara mereka.
Dalam skala
dunia misalnya gerakan cinta lingkungan yang muncul setelah perang dan industri
mengancam keselamatan lingkungan global.
Dalam
lingkungan pergaulan sehari-hari, kadang-kadang kita harus “berbuat baik” pada
seseorang atau sekelompok orang. Bukan karena kita mencintai orang atau
kelompok tersebut. Tapi dengan berbuat baik pada mereka kita melindungi diri
kita dari potensi kejahatan mereka. Ini juga cinta maslahat.
Dulu Umar
Bin Khattab memberikan sepuluh ribu dirham kepada seorang penyair. Untuk apa?
Agar dia tidak membuat syair-syair hinaan kepada siapa saja yang bisa
mempengaruhi ketenangan masyarakat. Karena syair punya pengaruh besar dalam
masyarakat Arab. Katakanlah seperti pengaruh media dalam masyarakat kita saat
ini.
Menghindari
kejahatan seseorang dengan berbaik-baik pada mereka adalah cinta maslahat.
Bukan cinta misi. Bukan juga cinta jiwa. Pendorongnya bukan dari dalam jiwa.
Tapi dari luar.
Hanya
berguna untuk keseluruhan eksistensi jiwa dan proses pencapaian misi kita.
Kecuali dalam kasus cinta hobi, cinta maslahat umumnya adalah buah dari akal
sehat atau hasrat pemuasan jiwa. Akal sehat selalu lahir dari fitrah
kemanusiaan yang lurus. Maka buahnya pun begitu: selalu berguna bagi maslahat
kemanusiaan.
(Majalah Tarbawi edisi 144 Th. 8/Dzulqa’dah 1427 H/7 Desember 2006 M
Memang gagah
laki-laki itu. Tinggi, besar, ganteng dan seorang pemberani. Ia senang berburu.
Dan ia memanjakan kegemaran pribadinya itu sejauh yang bisa ia lakukan.
Maka ia pun
berburu ke seluruh tempat perburuan di manca negara: Afrika, Amerika, Kanada,
Asia Tengah, Eropa Timur, dan lainnya. Meskipun untuk setiap kali berburu ia
harus mengeluarkan uang ratusan juta atau bahkan milyaran rupiah.
Bukan cuma itu. Ia juga mengoleksi hasil buruannya
dalam sebuah galeri besar: bangunan berlantai tiga. Walau pun galeri ini
terletak di Medan, tapi mungkin bahkan yang terbesar di Asia. Maka tidak heran
kaiau untuk semua itu ia tercatat sebagai salah seorang the great hunter di jagad
ini.
Orang-orang
melakukan kerja-kerja besar bahkan raksasa, mengerahkan semua pikiran, energi,
waktu dan sumber daya lainnya untuk sesuatu yang ia gemari, sesuatu yang ia
senangi, sesuatu yang ia cintai.
Kita sebut
ini hobi. Tapi sumber energinya adalah cinta. Itu yang menjelaskan mengapa
hasilnya selalu besar, selalu spektakuler, selalu luar biasa, selalu
menakjubkan.
Jadi hobi
adalah kegemaran, kesenangan dan cinta yang bermuara pada hajat dan maslahat
pribadi seseorang. Maslahat pribadi itu biasanya benar-benar pribadi. Misalnya
dalam kasus perburuan ini adalah kepuasan batin, eksplorasi perasaan kejantanan
dan maskulinitas, kebanggaan dan keberanian, semangat petualangan dan
seterusnya. Biasanya juga tidak merusak orang lain atau kepentingan publik.
Karena orientasinya adalah pemuasan pribadi.
Tapi
kadang-kadang maslahat pribadi itu bisa juga terkait dengan maslahat umum yang
lebih besar. Misalnya jika kegemaran berburu itu dilakukan dalam kerangka
konservasi alam dan hasilnya untuk kepentingan pendidikan bagi publik. Atau
perburuan barang-barang antik dari para kolektornya untuk kemudian disimpan
dalam sebuah museum pribadi tapi bisa dinikmati publik.
Kadang juga
tidak bisa dikaitkan sama sekali dengan maslahat publik. Tapi sumber energinya
bisa dialihkan pada pekerjaan lain yang lebih bermanfaat bagi publik.
Sebab hobi
adalah sumber energi yang sangat dahsyat dalam diri seseorang. Misalnya jika
kita bisa mengalihkan hobi para pencinta binatang kepada pencinta manusia. Maka
kegemaran merawat, melindungi, dan memelihara binatang dialihkan menjadi
perawatan, perlindungan dan pemeliharaan manusia.
Hasilnya
bisa sama dahsyatnya. Misalnya dalam bidang aktivitas sosial atau pendidikan.
Cerita
itulah yang mengawali perubahan hidup dari seorang da’i besar abad lalu: Umar
Tilmsani.
Mursyid Am ketiga Ikhwanui Muslimin ini pada mulanya adalah seorang pencinta
binatang. Areal rumah pribadinya yang hampir satu hektar dipenuhi dengan
binatang peliharaannya. Dan ia sedang bermain dengan binatang-binatang itu
ketika sekelompok pemuda dakwah mendatanginya dalam kerangka rekrutmen dakwah.
Mereka tidak banyak bicara soal dakwah. Mereka justru ikut bicara soal binatang. Tapi di ujung pertemuan itu mereka mengeluarkan sebuah komentar yang kemudian mengubah seluruh hidup Umar Tilmsani. Mereka berkata pada beliau, “Seandainya kegemaran memelihara binatang ini dialihkan kepada memelihara manusia, mungkin itu akan jauh lebih bermanfaat. Sebab manusia muslim yang memerlukan pendidikan jauh lebih banyak dan lebih penting dari binatang-binatang ini.”
Jika cinta,
pada semua jenisnya, adalah kesadaran, adalah perasaan, adalah tindakan, maka
cinta pada akhirnya adalah kemampuan yang terintegrasi dalam seluruh aspek
kepribadian kita.
Kemampuan
seseorang untuk mencintai adalah gambaran paling utuh dari seluruh kapasitas
kepribadiannya. Hanya orang-orang dengan kepribadian kuat dan kapasitas besar
yang mampu mencintai. Orang-orang lemah, yang setiap saat bisa kita saksikan di
sekitar kita, tidak akan pernah mencintai. Bahkan untuk mencintai diri mereka
sekalipun. Takdir mereka adalah menantikan cinta dan kasih sayang orang-orang
kuat.
Orang-orang kuat mencintai dengan segenap kesadarannya.
Maka mereka terus-menerus memproduksi kebajikan demi kebajikan. Sementara
orang-orang lemah bahkan tidak memiliki kesadaran untuk mencintai. Maka mereka
terus-menerus mengkonsumsi kebajikan orang-orang kuat. Itu sebabnya orang-orang
kuat dalam masyarakat selalu merupakan faktor kohesi yang merekatkan
masyarakat.
Mereka
merekatkan masyarakat dengan cinta dan kebajikan mereka. Makna inilah yang
ditebarkan oleh Rasulullah saw begitu beliau tiba di Madinah dan memulai kerja
membangun negara baru itu: “Wahai sekalian manusia, tebarkan salam, berikan
makan, bangun sholat malam saat orang-orang tertidur, niscaya kalian akan masuk
surga dengan penuh damai”.
Ini
merupakan penjelasan bagi keterangan selanjutnya. Bahwa untuk bisa mencintai,
bahwa untuk menjadi pencinta sejati, kita harus mengembangkan kapasitas dan
kepribadian kita. Cinta adalah pelajaran tentang bagaimana mengubah kepribadian
kita untuk menjadi lebih baik secara berkesinambungan, pelajaran tentang
bagaimana menjadi manusia yang produktif untuk bisa memberi, pelajaran tentang
bagaimana menjadi orang kuat yang penyayang, pelajaran tentang bagaimana
melimpahruahkan kebajikan abadi bagi penumbuhan kehidupan orang-orang di sekitar
kita yang kadang berujung tanpa sedikitpun rasa terima kasih, atau bahkan
penolakan.
Ini bukan
pelajaran tentang teknik atau keterampilan mencintai seperti ketika belajar
tentang tehnik berkomunikasi dengan orang lain, atau bagaimana merebut hati seseorang
untuk suatu hubungan cinta asmara. Bukan. Sama sekali bukan tentang itu.
Ini adalah
pelajaran tentang bagaimana membangun kembali dasar-dasar kepribadian yang
kokoh dan tangguh, yang memungkinkan kita mencintai secara sadar,
bertanggungjawab dan bertindak produktif untuk membuktikan cinta itu dalam
kenyataan. Dan dengan begitu cinta bukan saja berefek pada perbaikan
berkesinambungan terhadap hubungan-hubungan kemanusiaan kita, tapi juga
terutama pada perbaikan kehidupan kita seluruhnya secara berkesinambungan.
Dan ini
mungkin dan terbuka. Semua kita bisa mempelajarinya. Alasannya sangat
sederhana. Rasulullah saw bersabda: “Ilmu diperoleh dengan belajar. Kesabaran
diperoleh dengan belajar menjadi sabar. Kesantunan diperoleh dengan belajar
menjadi santun.”
Ini
menjelaskan bahwa di samping karakter-karakter bawaan yang melekat dalam diri
kita sebagai warisan genetik, semua karakter lain bisa kita peroleh dengan
mempelajari dan mengimplementasikannya dalam kehidupan kita.
Begitu juga
cinta. Begitu juga cinta. Semua kita bisa mencintai. Semua kita mungkin menjadi
pencinta sejati. Asal kita kita mau belajar. Asal kita mau belajar bagaimana
mencintai.
Majalah Tarhawi edisi 148 Th. 8/Muharram 1428 H/1 Februari 2007 M
Penulis : Anis Matta
(Sumber: Majalah Tarbawi edisi 81 Th. 5/Shafar 1425 H/2 April 2004 M)
Penulis : Anis Matta
(Sumber: Majalah Tarbawi edisi 80 Th. 5/Muharram 1425 H/18 Maret 2004 M)
Komentar harus sopan, tidak mengandung spam dan iklan ConversionConversion EmoticonEmoticon