Serial Cinta


SERIAL CINTA Oleh  ANIS MATTA

Ajarkanlah sastra kepada anak-anakmu
Agar mereka berani melawan ketidak adilan. 

Ajarkanlah sastra pada anak-anakmu
agar mereka berani menegakan kebenaran. 

Ajarkanlah sastra pada anak-anakmu
agar jiwa-jiwa mereka hidup. 

Ajarkanlah sastra kepada anak-anakmu.
Sebab sastra akan  mengubah yang pengecut menjadi pemberani.

 

(Umar bin Khattab)


Aura Kehidupan

Jika cinta menyerupai air pada beberapa tabiat dasarnya, maka sifat utama air yang melekat padanya adalah fakta bahwa air adalah sumber kehidupan. Jika cinta adalah gagasan tentang bagaimana menciptakan kehidupan yang lebih baik, dan tindakan utamanya adalah memberi untuk menumbuhkan, maka kekuatan pesona utama, seorang pencinta adalah aura kehidupan yang memancar dari dalam dirinya.

Aura kehidupan. Ya, aura kehidupan. Ia membuat orang–orang di sekelilingnya merasakan denyut nadi kehidupan, merasakan hamparan keindahan hidup, merasakan alasan tentang mengapa mereka hidup dan harus melanjutkan hidup, merasakan alasan untuk bertumbuh demi merakit pemaknaan tiada henti terhadap kehidupan. Ia, intinya membuat orang–orang di sekeliling merasa hidup. Sebab ia menebar benih kehidupan di ladang hati mereka.

Aura kehidupan.Ya, aura kehidupan. Sebab ia hidup. Dan hidup itu nyata pada setiap jengkal tubuhnya, pada setiap detak jantungnya, pada setiap hembusan nafasnya, pada setiap langkah kakinya, pada setiap uluran tangannya, pada setiap kedipan matanya, pada setiap kata dan suaranya. Gagasannya seluruhnya adalah tentang kehidupan yang lebih baik. Niatnya seluruhnya adalah penumbuhan yang membuat hidup lebih baik.

Aura kehidupan. Ya, aura kehidupan. Sebab ia memiliki dan menggabung tiga pesona utama para pencinta: pesona raga, pesona jiwa, pesona ruh. Ketiga pesona tersebut terbingkai rapi pada sebuah “akal besar” yang menerangi kehidupannya dan kehidupan orang–orang disekitarnya.

Maka mendekat–dekatlah padanya, niscaya engkau kan merasakan betapa air kehidupan serasa mengalir pada setiap sudut jiwa dan ragamu. Maka tataplah matanya, niscaya engkau kan merasakan gairah kehidupan yang memberimu semangat baru untuk terus hidup, terus melanjutkan hidup. Maka dengarkanlah kata–katanya, maka engakau kan merasakan betapa engkau layak dan pantas mendapat kehidupan yang berkualitas, kehidupan yang lebih baik.

Dan jika tuhan mengijinkan engkau merasakan sentuhannya, niscaya engkau kan merasakan betapa air kehidupan mendidih dalam tubuhnya. Dan jika Tuhan memperkenankanmu hidup berlama-lama dengannya, niscaya engkau kan merasakan betapa perlindungan dan penumbuhannya membuatmu terengkuh dalam rasa aman dan nyaman.

Engkau bahkan tidak pernah begitu yakin tentang pesona apa yang pertama kali menawanmu. Apakah kulit hitam yang tidak dapat menyembunyikan cahaya matanya? Atau ketegasan sikap yang tidak dapat merahasiakan kebajikan hatinya? Atau kelembutan bawaan yang tidak sanggup menutup–nutupi keberaniannya? Atau diam panjang yang tidak mampu menghalangi ilmu dan wawasannya? Atau badan kurus yang dijelaskan oleh puasa dan pengendalian dirinya? Atau?

Tidak! Semua tampak menyatu dalam dirinya: ruhnya yang halus, jiwanya yang lembut, terbungkus dalam raganya yang kokoh, terangkai dalam perilaku yang terbimbing akal besarnya. Tapi itu semua ada dalam dirinya. Dan ketika Ia keluar, ia hanya memancarkan satu hal: aura kehidupan.

Dan itulah yang engkau rasakan dan yang mungkin sekali tidak engkau ketahui asal muasal dak akarnya dalam dirinya. Dia bukan nabi yang tak mungkin salah. Dia hanya sebuah tekad perbaikan berkesinambungan yang tak henti–henti. Dan itulah aura kehidupan: gairah yang tidak pernah selesai.

Biar Dramatisasi Jadi Manis

Puisi yang terlalu seadanya memang tak memberi rasa apa-apa. Puisi perlu greget. Perlu hentakan. Begitu juga ungkapan cinta. Cinta hanya bekerja jika ia membara. Dan baranya meletup-letup lewat kata.

Qur’an tidak mengingkari itu. Virus penyakit yang disebut Qur’an sebenarnya terletak pada kadar kebohongan yang menyertai dramatisasi itu. Begitu juga ungkapan rasa cinta yang terlalu berlebihan sering mengandung kebohongan. Bisa karena tidak berakar di hati. Bisa juga karena tidak mengandung kebenaran. Atau mengandung kebenaran, tapi tidak berakar pada hati. Yang benar tapi tidak ada di hati adalah kebohongan. Yang tidak benar tapi ada di hati adalah kesalahan.

Yang terakhir ini misalnya lagu berikut ini :
Semua yang ada padamu
Oh membuat diriku tiada berdaya
Hanyalah untukmu
Hanyalah bagimu
Seluruh hidup dan cintaku

Ungkapan itu mungkin berakar di hati. Tapi mengandung makna pengabdian dan penyerahan diri yang total kepada sang kekasih. Dan itu yidak boleh terjadi dalam cinta jiwa atau cinta sesame manusia. Itu hanya untuk Allah SWT.

Di sinilah letak tantangan bagi para pecinta; bagaimana menemukan ungkapan yang benar dan tepat bagi bara cinta yang meletup-letup dalam bara jiwa? Yang pertama tentu saja menemukan persoalan dasarnya; apakah memang ada bara dalam jiwa? Ini jelas sangat mendasar untuk memastikan bahwa “tidak ada dusta kita”.

Yang kedua adalah menemukan kata yang benar dan tepat. Benar pada maknanya, tapi tepat melukiskan suasana jiwa. Ini membutuhkan penghayatan yang dalam, keakraban dengan diri sendiri yang kental, cita rasa keindahan dan kekayaan bahasa.

Melukis bara cinta dalam jiwa memang membutuhkan kata yang kuat agar baranya nyata dalam pandangan sang kekasih. Tapi tidak harus menakar dengan objektif, seberapa panas bara yang hendak kita lukis. Ini untuk memastikan bahwa kata tidak melampaui panasnya bara, atau kata tidak melukis semua panas bara secara utuh.

Akhirnya memang, kejujuran dan kebenaran adalah kata kunci di balik semua dramatisasi cinta yang manis. Hanya itu. Jika tidak, pasti akan ada kesalahan dalam bahasa cinta kita. Tidak mudah memang, tapi begitulah cinta, selalu punya syaratnya sendiri.

Karena Jiwa Punya Hajat

Keagungan. Keluhuran. Ketinggian. Hanya itu yang ada pada cinta misi. Romantikanya juga ada. Tapi tetap dalam bingkai itu. Kita sebut itu romantika perjuangan. Seperti kita memandang indahnya pelangi yang menggores langit. Mengagumkan. Mempesona. Tapi ada jarak. Itu keindahan yang dilukis oleh nilai: kekuatan yang memvisualisasi sisi malaikat dari dalam diri kita ke kanvas kenyataan, lalu melegenda dalam riwayat sejarah.

Tapi manusia tercipta dari tanah. Dan tanah punya tabiatnya sendiri. Juga punya rasa, punya mau, punya hajatnya sendiri. Juga punya permintaannya sendiri dari asal usul ini kehidupan manusia tersublimasi menjadi riwayat yang rumit dan kompleks. Begitu juga cinta jiwa yang lahir dari sini. Kalau dalam cinta misi perasaan bergerak mengikuti pikiran dan nilai, dalam cinta jiwa perasaan bergerak memenuhi kebutuhannya sendiri. Kebutuhan akan kegenapan. Kebutuhan akan kesatuan.

Sendiri. Sepi. Itu musuh jiwa manusia. Sebab alam ini termasuk kita-tercipta berpasangan. Begitu juga kita: kita semua punya pasangan hidup dalam perkawinan dan pasangan social dalam bermasyarakat. Perjalanan menemukan pasangan jiwa adalah kebutuhan eksistensial. Sampai kita menembus ruang dan waktu yang panjang: “sebab keterpisahan ini,” kata Rumi, “hanya tipu daya waktu.”

Sebab ia lahir dari kebutuhan akan kegenapan dan kesatuan, maka cinta jiwa mensyaratkan adanya penerimaan. Tidak ada pertemuan tanpa penerimaan. Syarat ini tidak selalu ada dalam cinta misi. Tapi syarat ini pula yang membuat cinta jiwa menjadi rumit. Sebab asas penerimaan jiwa ini juga beragam. Ada factor kesamaan. Ada factor kegenapan. Ada factor keseimbangan. Seperti dua sungai besar yang bertemu dalam samudera yang sama lalu menciptakan gelombang cinta yang dahsyat. Itu yang lahir dari kesamaan.

Atau lidah api yang menyala-nyala namun dipadamkan oleh air yang sejuk. Cinta yang ini lahir dari kebutuhan akan keseimbangan. Atau seperti air yang bening yang mengaliri lahan tanah yang subur lalu melahirkan taman kehidupan yang indah. Ini kegenapan jiwa yang melahirkan cinta.

Kerumitan terletak pada pencarian “meeting point” dari dua jiwa. Itu pada kesamaan atau kegenapan atau keseimbangan antara dua karakter. Hampir tidak ada pertemuan jiwa di luar ketiga meeting point itu. Bayangkanlah jika yang terjadi sebaliknya. Api bertemu angin akan menciptakan kebakaran yang ganas. Air bertemu angin yang melahirkan gelombang tsunami.

Baik dalam perkawinan atau perkawanan kita menemukan kerumitan itu. Itu masalah kecocokan. Sebab harus ada dua tangan untuk bisa bertepuk. Dua jiwa hanya mungkin bisa bertemu dan menyatu jika hajat mereka sama. Hikmah itulah yang disampaikan Rasullullah saw, “Jiwa-jiwa itu ibarat prajurit-prajurit yang dibaris-bariskan. Yang saling mengenal di antara mereka pasti akan saling melembut dan menyatu. Yang tidak saling mengenal di antara mereka pasti akan saling berbeda dan berpisah.”

Kelezatan Akal Batin

Bukan hanya kelezatan ruhani. Cinta misi juga memberikan kita kelezatan lain. Kelezatan akal batin. Akal adalah kekuatan yang memberi kita kemampuan memahami. Akal memproses semua informasi yang masuk ke dalam otak kita melalui panca indera atau penalaran. Hasil pemrosesan itulah yang kemudian melahirkan sikap dan tindakan. Buah dari akal itulah yang selanjutnya kita sebut pikiran. Tapi dalam diri manusia ada kemampuan yang lebih tinggi. Yaitu kemampuan untuk memikirkan pikiran-pikiran yang merupakan buah proses akal. Ini adalah pikiran di atas pikiran. Atau akal kedua. Atau akal batin.

Seperti ketika kita memandang awan dari bumi, ia akan tampak satu lapis gugus awan. Tapi ketika kita naik pesawat, kita akan menemukan bahwa awan itu ternyata adalah gugus berlapis. Kemampuan untuk memikirkan pikiran, baik pikiran kita sendiri atau pikiran orang lain, akan memberikan kita kelezatan yang luar biasa. Bayangkanlah anda memandang sesosok tubuh dengan pakaian lengkap. Tapi sorot mata anda mampu menembus ke dalam tubuhnya dan menyaksikan semua yang ada di sana. Seperti isi bagasi yang terlihat jelas dalam X-Ray. Itu kelezatan: karena pengetahuan ini memberi kita kesadaran yang berbeda.

Dan kelezatan itulah yang kita rasakan dalam cinta misi. Ini sedikit berbeda dengan kelezatan ruhani. Kelezatan ruhani bersifat vertikal dan terkait dengan perasaan diterima di sisi Allah serta janji surga di akhirat. Sedang kelezatan akal batin bersifat horizontal dan terkait dengan kesadaran serta pemahaman yang mendalam tentang dunia batin anak manusia, tentang pergolakan jiwanya dalam mewadahi pertarungan antara sisi baik dan sisi buruknya, tentang peristiwa menang kalah dalam pertarungan itu. Memahami itu semua ibarat menyerap air kehidupan melalui pori-pori akal kita. Kelezatan akal batin terkait dengan perasaan kebermaknaan…Perasaan bahwa kita menyelamatkan orang lain…Perasaan bahwa sebagai peserta kehidupan alam raya, kita telah ikut berpartisipasi menciptakan kehidupan manusia yang lebih baik… perasaan bahwa kita bermanfaat bagi orang banyak…Perasaan bahwa di laut kehidupan yang luas ini kita telah ikut menyumbangkan beberapa tetes air…

Kesadaran itu menyatukan diri kita dengan orang lain di sekeliling kita dan dengan alam yang mengitari kita. Sebab cinta misi lahir untuk menciptakan kehidupan yang lebih baik bagi manusia. Sebab cinta misi tumbuh untuk membuat bumi jadi sepotong surga yang nyaman dihuni. Kita menyatu sebagai manusia: pada asal-usul, pada jalan hidup, pada tujuan akhir. Ini kesatuan kemanusiaan yang membuat space of human entity kita terbentang begitu luas di jagat raya dan di alam batin.

Perasaan itu mengalirkan kelezatan akal batin kita. Seperti kelezatan raga yang kita rasakan saat kita menghirup udara bersih musim semi. Atau angin sepoi di penghujung senja. Kelezatan akal batin itulah yang terangkum dalam sabda Sang Rasul: “Bahwa Allah memberi hidayah kepada seorang manusia melalui usahamu adalah lebih baik bagimu dari seluruh dunia dan isinya.”

Kelezatan Ruhani

Cinta misi hanya bersemi dari nurani yang hidup. Tapi dari manakah nurani kita menemukan kehidupan? Dari cinta Allah dan cinta kebenaran. Inilah cintanya cinta. Denyut kehidupan nurani adalah tanda-tandanya. Cinta misi adalah buahnya.

Cerita-cerita keagungan yang kita warisi dari sejarah sesungguhnya merupakan penampakan cinta misi dari waktu ke waktu. Ia mengejawantah pada karya-karya ilmiah para ulama, pada darah dan air mata syuhada, pada keadilan para pemimpin, pada kasih sayang para duat (dai), pada kelembutan para guru.

Tidak ada karya besar tanpa cinta misi. Itu yang membuat cinta ini jadi teramat agung. Sekaligus rumit. Karena seluruh isinya adalah karya. Adalah kerja. Adalah memberi. Tanpa pernah terpengaruh oleh penerimaan dan penolakan. Penerimaan mungkin menguatkannya. Tapi penolakan tidak mengendurkannya.

Pertanyaan kemudian muncul di sini. Dari mana mereka menemukan energi itu? Apa yang membuat mereka sanggup berkarya dan memberi terus menerus, sementara kadang-atau bahkan sering sekali-mereka tidak dipahami atau bahkan terabaikan oleh orang-orang yang justru mereka cintai? Pasti ada rahasia hati yang mereka simpan dengan rapih. Tapi apakah rahasia hati itu?

Kelezatan ruhani. Itulah rahasianya. Yang mereka cintai sesungguhnya adalah Allah, adalah kebenaran, adalah misi hidup mereka. Bukan orang, atau benda atau bentuk apapun.

Yang mereka rindukan adalah surga abadi, adalah bidadari-bidadari yang kelak akan mengitari mereka, adalah pandangan mata pada cahaya wajah Allah. Bukan pujian dan penerimaan manusia.

Manusia hanya medan karya tempat cinta mengejawantah. Maka Allah memberi mereka kelezatan demi kelezatan setiap kali cinta itu mengejawantah. Kelelahan-kelelahan melahirkan kegembiraan ruhani, kelezatan yang melahirkan energi baru untuk terus mengejawantahkan cinta.

Seperti orgasme yang kita rasakan pada setiap keintiman fisik, dan mengajak kita untuk mengulangi dan mengulangi, seperti itulah Allah memberi kelezatan ruhani. Setiap kali cinta pada Nya mengejawantah pada cinta misi, setiap kali cinta vertikal itu mengejawantah pada horizon kehidupan manusia.

Kelezatan ruhani itulah sumber energinya. Disana makna-makna penerimaan, keberartian, keterhormatan, keberanian hati, merasuk ke serat-serat jiwa dan melapangkan serta meluaskannya sampai ia tampak bagai karpet merah nan empuk di tengah gurun luas yang tersambung dengan kaki langit.

Itulah kelezatan ruhani yang dirasakan Khalid bin Walid dari kecamuk perang, atau Utsman saat berinfak, atau Umar saat mengantar gandum di tengah malam pada rakyat miskin, atau Sayyid Quthub menjelang digantung.

Kelezatan ruhani itu adalah ledakan kegembiraan yang mendengung di cakrawala kesadaran batin kita. Orang-orang tidak menyaksikannya. Tapi mereka merasakan penampakannya. Maka seorang ahli ibadah mengatakan: “Seandainya para raja mengetahui kelezatan yang kita rasakan dalam ibadah ini mereka pasti akan menyiksa kita untuk merampas kelezatan itu.”

Dirumahku Ada Surga

Taman punya kita berdua
Tak lebar luas, kecil saja
Satu tak kehilangan lain didalamnya
Bagi kau dan aku cukuplah

Itu penggalan puisi Chairil Anwar, 1943, tentang rumahnya yang disebut taman. Taman hati. Taman hidup. Sempit ruangnya. Tapi cinta membuatnya jadi terasa cukup lapang dalam dada. Cinta membuatnya nyaman dihuni:

Kecil, penuh surya taman kita
Tempat merenggut dari dunia dan manusia

Kenyamanan. Itu rahasia jiwa yang diciptakan cinta: maka kita mampu bertahan memikul beban hidup, melintasi aral kehidupan, melampaui gelombang peristiwa, sambil tetap merasa aman dan teduh. Cinta menciptakan kenyamanan yang bekerja menyerap semua emosi negatif masuk kedalam serat-serat jiwa melalui himpitan peristiwa kehidupan. Luka-luka emosi yang kita alami di sepanjang jalan kehidupan ini hanya mungkin di rawat di sana: dalam rumah cinta.

Dalam rumah cinta itu kita menemukan system perlindungan emosi yang ampuh. Mary Carolyn Davies mengungkapkannya dengan manis:

Ada sebuah tembok yang kuat
Di sekelilingku yang melindungiku
Dibangun dari kata-kata yang kau ucapkan padaku

Jiwa yang terlindungi akan cepat bertumbuh dan berbuah. Sederhana saja. Karena hakikat cinta selamanya hanya satu: memberi. Memberi semua kebaikan yang tersimpan dalam jiwa. Melalui tatapan mata, kata atau tindakan. Jika kita terus menerus memberi, maka kita akan terus menerus menerima. Pemberian jiwa itu memberikan kekuatan kebajikan yang sering tertidur dalam jiwa manusia. Seperti pohon: pada mulanya ia menyerap matahari dan air, untuk kemudian mengeluarkan semua kebajikan yang ada didalam dirinya: buahnya, keindahannya.

Dalam rumah yang penuh cinta itu kita menemukan rasa aman, kenyamanan dan kekuatan untuk terus bertumbuh. Itu sebabnya rumah yang begitu menghadirkan surga dalam kehidupan kita. Rumah itu pasti utuh. Dan abadi. Adakah doa cinta yang lebih agung daripada apa yang diajarkan sang Rasul kepada kita di malam pertama saat kita meletakkan dasar dari hubungan jiwa yang abadi? Letakkan tangan kananmu diatas ubun-ubun istrimu, lalu ucapkan do’a ini dengan lembut:

Ya Allah, aku mohon pada-Mu kebaikan perempuan ini
Dan semua kebaikan yang tercipta bersama penciptaannya.

Kata Terurai Jadi Laku

Kulitnya hitam. Wajahnya jelek. Usianya tua. Waktu pertama kali masuk ke rumah wanita itu, hampir saja ia percaya kalau ia berada di rumah hantu. Lelaki kaya dan tampan itu sejenak ragu kembali. Sanggupkah ia menjalani keputusannya? Tapi ia segera kembali pada tekadnya. Ia sudah memutuskan untuk menikahi dan mencintai perempuan itu. Apapun resikonya.

Suatu saat, perempuan itu datang padanya, “Ini emas-emasku yang sudah lama kutabung, pakailah ini untuk mencari wanita idamanmu, aku hanya membutuhkan status bahwa aku pernah menikah dan menjadi seorang istri.” Tapi lelaki tua itu malah menjawab, “Aku sudah memutuskan untuk mencintaimu. Aku takkan menikah lagi.”

Semua orang terheran-heran. Kelaurga itu tetap utuh sepanjang hidup mereka. Bahkan mereka kemudian dikaruniai anak-anak dengan kecantikan dan ketampanan yang luar biasa. Bertahun-tahun kemudian orang-orang ini menanyakan rahasia ini padanya. Lelaki tua itu menjawab enteng, “Aku memutuskan untuk mencintainya. Aku berusaha melakukan yang terbaik. Tapi perempuan itu melakukan semua kebaikan yang bisa ia lakukan untukku. Sampai aku bahkan tidak pernah merasakan kulit hitam dan wajah jeleknya dalam kesadaranku. Yang kurasakan adalah kenyamanan jiwa yang melupakan aku pada fisik.”

Begitulah cinta ketika ia terurai laku. Ukuran integritas cinta ia bersemi dalam hati… terkembang dalam kata, terurai dalam laku. Kalau hanya berhenti dalam hati, itu cinta yang lemah dan tidak berdaya. Kalau hanya berhenti dalam kata, itu cinta yang disertai kepalsuan dan tidak nyata. Kalau cinta sudah terurai laku, cinta itu sempurna seperti pohon; akarnya terhujam dalam hati, batangnya tegak dalam kata, buahnya menjumbai dalam laku. Persis seperti iman, terpatri dalam hati, terucap dalam lisan, dan dibuktikan oleh amal.

Semakin dalam kita merenungi makna cinta, semakin kita temukan fakta besar ini: bahwa cinta hanya kuat ketika ia datang dari pribadi yang kuat; bahwa integritas cinta hanya mungkin lahir dari pribadi yang juga punya integritas. Karena cinta adalah keinginan baik kepada orang yang kita cintai yang harus menampak setiap saat sepanjang kebersamaan.

Rahasia sebuah hubungan yang sukses bertahan dalam waktu yang lama adalah pembuktian cinta terus-menerus. Yang dilakukan oleh pecinta sejati di sini adalah memberi tanpa henti. Hubungan bertahan lama bukan karena perasaan cinta yang bersemi dalam hati, melainkan karena kebaikan tiada henti yang dilahirkan oleh perasaan itu.

Seperti lelaki itu, yang terus membahagiakan istrinya, begitu ia memutuskan untuk mencintainya. Dan istrinya, yang terus menerus melahirkan kebajikan dari cinta tanpa henti. Cinta tidak terurai dalam laku adalah jawaban atas angka-angka perceraian yang semakin menganga lebar dalam masyarakat kita.

Tidak mudah memang menemukan cinta yang ini. Tapi, harus begitulah cinta, seperti kata Imam Syafii:

Kalau sudah pasti ada cinta di sisimu
Semua kan jadi enteng
Dan semua yang ada di atas tanah
Hanyalah tanah jua

Melindungi Dengan Keberanian

Kamu haruslah seorang pemberani kalau kamu mau jadi pecinta sejati. Orang-orang yang kamu cintai harus merasa aman saat berada di dekatmu. Rasa aman adalah aroma kepribadian para pecinta pemberani.

Kalau kita sudah memberi perhatian mendalam, melakukan kerja-kerja penumbuhan, merawat cinta kasih dengan siraman kebajikan harian, hal terakhir yang kita persembahkan kepada orang yang kita cintai adalah melindunginya. Melindungi jiwanya, raganya, masa depannya serta proses pertumbuhannya.

Tapi, perlindungan bukan penjara bagi sang kekasih. Orang yang kita cintai tidak boleh merasa bahwa perlindungan adalah cara kita untuk mempertahankan “kekuasaan” dan “kepemilikan” atas dirinya. Perlindungan adalah langkah-langkah proteksi yang bersifat antisipatif untuk memastikan bahwa orang yang kita cintai menjalani proses kehidupannya secara aman, baik fisik maupun psikis, dan proses pertumbuhannya berjalan baik tanpa gangguan berarti yang bisa menggagalkannya. Yang terakhir ini, misalnya, gangguan lingkungan pergaulan dan kultur yang bisa merusak nilai-nilai yang kita tanamkan untuk menumbuhkan orang-orang yang kita cintai. Jadi perlindungannya bersifat menyeluruh: fisik, psikis, dan moral bahkan finansial.

Semua bentuk perlindungan itu hanya mungkin dilakukan para pecinta pemberani. Keberanian mereka juga menyeluruh: keberanian moral dan keberanian fisik. Orang-orang yang kita cintai harus menikmati sebuah perasaan yang kuat saat berada di sekitar kita bahwa mereka bebas dari rasa takut, sekaligus gembira karena kepercayaan yang kuat bahwa jauh dari luar dirinya ada kekuatan cinta yang bekerja secara diam-diam dan penuh keberanian untuk melindungi proses pertumbuhannya.

Dalam banyak situasi, proses perlindungan itu mengharuskan kita berkorban apa saja, termasuk jiwa. Dalam makna, pengorbanan yang tulus itulah cinta menemukan kesejatiannya. Dan keindahannya sekaligus.

Apakah ada riwayat percintaan dalam sejarah manusia yang menggugah nurani kita selain karena ia dipenuhi keringat, airmata, dan darah, tanpa akhir? Pengorbanan dalam sejarah cinta seperti pelangi yang menghiasi langit kehidupan. Atau tetesan darah yang akan menjadi saksi bagi para syuhada di hadapan Allah: saksi atas cinta dan rindu yang tak pernah selesai.

Itu sebabnya cinta sejati selalu melahirkan sifat-sifat ksatria, keterhomatan, kedermawanan, kesetiaan dan pengorbanan. Karena sifat-sifat itulah yang memberi kekuatan pada cinta dan membuatnya penuh daya gugah. Sifat-sifat itu semua mengalir dari mata air: kecemburuan. Kecemburuan adalah semangat pembelaan yang lahir dari cinta sejati. Ia hanya menjadi negatif ketika dia lahir dari semangat menguasai dan memiliki.

Dalam makna pembelaan itulah Rasullullah saw bersabda, “siapa yang mati karena membela harta dan keluarganya maka ia mati syahid.”

Pesona Kematangan

Chemistry yang biasanya mempengaruhi hubungan cinta antara laki-laki dan wanita sebenarnya hanya menegaskan satu fakta: ketika cinta yang genuine bertemu dengan motif lain dalam diri manusia, dalam hal ini hasrat atau syahwat biologis, hubungan cinta antara laki-laki dan wanita memasuki wilayah yang sangat rumit dan kompleks. Banyak fakta yang tidak bisa dipahami dalam perspektif norma cinta yang lazim. Lebih banyak lagi kejutan yang lahir di ruang ketidakterdugaan.

Namun itu tidak menghalangi kita menemukan fakta yang lebih besar: bahwa dengan memandang itu sebagai pengecualian-pengecualian, seperti dalam kasus Muawiyah Bin Abi Sufyan dengan gadis badui yang tidak dapat mencintainya, kekuatan cinta sesungguhnya dan selalu mengejewantah pada kematangan kepribadian kita. Misalnya cinta antara Utsman Bin Affan dan istrinya, Naila.

Para pecinta sejati tidak memancarkan pesonanya dari ketampanan atau kecantikannya, atau kekuasaan dan kekayaannya, atau popularitas dan pengaruhnya. Pesona mereka memancar dari kematangan mereka. Mereka mencintai maka mereka memberi. Mereka kuat. Tapi kekuatan mereka menjadi sumber keteduhan jiwa orang-orang yang dicintainya. Mereka berisi, dan sangat independen. Tapi mereka tetap merasa membutuhkan orang lain, dan percaya bahwa hanya melalui mereka ia bisa bertumbuh dan bahwa pada orang-orang itulah pemberian mereka menemukan konteksnya. Kebutuhan mereka pada orang lain bukan sebentuk ketergantungan. Tapi lahir dari kesadaran mendalam tentang keterbatasan manusia dan keniscayaan interdepensi manusia.

Pesona inilah yang dipancarkan Khadijah pada Muhammad. Maka selisih umur tidak sanggup menghalangi pesona Khadijah menembus jiwa Muhammad. Pesona kematangan itu pula yang membuat beliau enggan menikah lagi bahkan setelah Khadijah wafat. “Siapa lagi yang bisa menggantikan Khadijah?” tanya Rasulullah saw. Tapi bisakah kita membayangkan pertemuan dua pesona? Pesona kematangan dan pesona kecantikan serta kecerdasan?

Pesona itulah yang dimiliki Aisyah: muda, cantik, innocent, cerdas dan matang dini. Dahsyat, pasti! Pesonanya pesona. Dalam chemistry ini tidak ada pengecualian Muawiyah. Di sini semua pesona menyatu padu: seperti goresan pelangi di langit kehidupan pelangi Sang Nabi. Dua perempuan terhormat dari suku Quraisy itu mengisi kehidupan pribadi Sang Nabi pada dua babak yang berbeda. Khadijah hadir pada periode paling sulit di Mekkah. Aisyah hadir pada periode pertumbuhan yang rumit di Madinah. Khadijah mengawali kehidupan kenabiannya. Tapi di pangkuan Aisyahlah, ia menghembuskan nafas terakhirnya setelah menyelesaikan misi kenabiannya.

Dalam jiwa Sang Nabi, ada dua cinta yang berbeda pada kedua perempuan terhormat itu. Ketika beliau ditanya orang yang paling ia cintai, ia menjawab: Aisyah! Tapi ketika beliau ditanya tentang cintanya pada khadijah, ia menjawab: “cinta itu dikaruniakan Allah padaku.” Cintanya pada Aisyah adalah bauran pesona kematangan dan kecantikan yang melahirkan syahwat. Maka Ummu Salamah berkata, “Rasulullah saw tidak bisa ‘menahan’ diri kalau bertemu Aisyah.” Tapi cintanya pada Khadijah adalah jawaban jiwa atas pesona kematangan Khadijah: cinta itu dikirim Allah melalui kematangan Khadijah.

Sayap Yang Tak Pernah Patah

Mari kita bicara tentang orang-orang patah hati. Atau kasihnya tak sampai. Atau cintanya tertolak. Seperti sayap-sayap Gibran yang patah. Atau kisah Zainuddin dan Hayati yang kandas ketika kapal Vanderwicjk tenggelam. Atau cinta Qais dan Laila yang membuat mereka ‘majnun’, lalu mati. Atau, jangan-jangan ini juga cerita tentang cintamu sendiri, yang kandas dihempas takdir, atau layu tak berbalas.

Itu cerita cinta yang digali dari mata air air mata. Dunia tidak merah jambu di sana. Hanya ada Qais yang telah majnun dan meratap di tengah gurun kenestapaan sembari memanggil burung-burung:

O burung, adakah yang mau meminjamkan sayap
Aku ingin terbang menjemput sang kekasih hati.

Mari kita ikut berbela sungkawa untuk mereka. Mereka orang-orang baik yang perlu dikasihani. Atau jika mereka adalah kamu sendiri, maka terimalah ucapan belasungkawaku, dan belajarlah mengasihani dirimu sendiri.

Di alam jiwa, sayap cinta itu sesungguhnya tak pernah patah. Kasih selalu sampai di sana. “Apabila ada cinta di hati yang satu, pastilah ada cinta di hati yang lain,” kata Rumi, “sebab tangan yang satu takkan bisa bertepuk tanpa tangan yang lain.” Mungkin Rumi bercerita tentang apa yang seharusnya. Sementara kita menyaksikan fakta lain.

Kalau cinta berawal dan berakhir pada Allah, maka cinta pada yang lain hanya upaya menunjukkan cinta pada-Nya, pengejewantahan ibadah hati yang paling hakiki: selamanya memberi yang bisa kita berikan, selamanya membahagiakan orang-orang yang kita cintai. Dalam makna memberi itu kita pada posisi kuat: kita tak perlu kecewa atau terhina dengan penolakan, atau lemah dan melankolik saat kasih kandas karena takdir-Nya. Sebab di sini kita justru melakukan pekerjaan besar dan agung: mencintai.

Ketika kasih tak sampai, atau uluran tangan cinta tertolak, yang terjadi sesungguhnya hanyalah “kesempatan memberi” yang lewat. Hanya itu. Setiap saat kesempatan semacam itu dapat terulang. Selama kita memiliki “sesuatu” yang dapat kita berikan, maka persoalan penolakan atau ketidaksampaian jadi tidak relevan. Ini hanya murni masalah waktu. Para pencinta sejati selamanya hanya bertanya: “apakah yang akan kuberikan?” Tentang kepada “siapa” sesuatu itu diberikan, itu menjadi sekunder.

Jadi, kita hanyalah patah atau hancur karena kita lemah. Kita lemah karena posisi jiwa kita salah. Seperti ini: kita mencintai seseorang, lalu kita menggantungkan harapan kebahagiaan hidup dengan hidup bersamanya! Maka ketika dia menolak hidup bersama, itu lantas menjadi sumber kesengsaraan. Kita menderita bukan karena kita mencintai. Tapi karena kita menggantungkan sumber kebahagiaan kita pada kenyataan bahwa orang lain mencintai kita.

Semangat Pertumbuhan

Pekerjaan kedua seorang pecinta sejati, setelah memperhatikan, adalah penumbuhan. Inilah cintanya cinta. Inilah rahasia besar yang menjelaskan bagaimana cinta bekerja mengubah kehidupan kita dan membuatnya menjadi lebih baik, lebih bermakna.

Cinta adalah gagasan dan komitmen jiwa tentang bagaimana membuat kehidupan orang yang kita cintai menjadi lebih baik. Jika perhatian memberikan pemahaman mendalam tentang sang kekasih, maka penumbuhan berarti melakukan tindakan-tindakan nyata untuk membantu sang kekasih bertumbuh dan berkembang menjadi lebih baik.

Kita tidak boleh berhenti di ujung perhatian sembari mengatakan kepada sang kekasih: “Aku mencintaimu sebagaimana kita adanya.” Atau: “Aku menerima dirimu apa adanya.” Memahami dan mengerti sang kekasih tidaklah cukup. Seorang pecinta sejati harus mampu mengimajinasikan sebuah plot akhir dari kehidupan yang akan dijalani sang kekasih. Itu tidak berarti bahwa kita mengintervensi kehidupan pribadinya dan mengatur kehidupan secara rigrid atas nama cinta. Tidak! Yang dilakukan pecinta sejati adalah menginspirasi sang kekasih untuk meraih kehidupan paling bermutu yang mungkin ia raih berdasarkan keseluruhan potensi yang ia miliki.

Kalau bukan karena kerja-kerja penumbuhan, seorang pecinta sejati tidak akan sanggup bertahan hidup di samping seorang kekasih yang ilmu, pengalaman, ketrampilan dan kepribadiannya tidak bertumbuh dalam 10 tahun masa perkawinannya, misalnya. Kamu pasti bosan mengobrol dengan seorang yang hidupnya stagnan, dingin dan tidak dinamis.

Para pecinta sejati menemukan gairah kehidupan dari perubahan-perubahan yang dinamis. Para pecinta sejati menemukan gairah kehidupan dari perubahan-perubahan dinamis dalam kehidupan kekasih mereka. Seperti gairah kehidupan yang dirasakan seorang ibu ketika menyaksikan bayinya tumbuh dan berkembang menjadi anak remaja lalu dewasa. Atau gairah yang dirasakan seorang guru menyaksikan muridnya tumbuh menjadi ilmuwan dan intelektual.

Penumbuhanlah yang membedakan cinta yang matang dan cinta seorang melankolik. Penumbuhanlah adalah sisi paling rasional dan realistis dari cinta. Penumbuhan memberikan sentuhan edukasi pada hubungan cinta. Sebab di sini cinta bukan sekedar gumpalan emosi di langit jiwa: yang mungkin meledak bagai halilintar, atau membanjiri bumi dengan hujan air mata. Di sini cinta adalah sebuah pekerjaan. Pekerjaan jiwa, pikiran, dan fisik sekaligus. Itu yang membuatnya nyata. Dan efektif.

Di tangan Rasullullah SAW, Aisyah bukan seorang istri. Rasullullah SAW telah menumbuhkannya menjadi bintang di langit sejarah. Suatu saat Ali Tantawi mengatakan: “Istriku yang hanya tamatan SD ternyata lebih intelek daripada mahasiswi-mahasiswiku yang sudah hampir sarjana.” Beliau mengatakan itu setelah melewati 10 tahun masa perkawinan. Ketika Iqbal menemukan dirinya telah menjadi filosof dunia, ia menyadari itu kerja sang guru. Maka ia berkata tentang gurunya itu: “Dan nafas cintanya meniup kuncupku menjadi bunga.”

Seni Memperhatikan

Kalau intinya cinta adalah memberi, maka pemberian pertama seorang pecinta sejati adalah perhatian. Kalau kamu mencintai seseorang, kamu harus memberi perhatian penuh kepada orang itu. Perhatian yang lahir dari lubuk hati yang paling dalam, dari keinginan yang tulus untuk memberikan apa saja yang diperlukan orang yang kamu cintai untuk menjadi lebih baik dan berbahagia karenanya.

Perhatian adalah pemberian jiwa; semacam penampakan emosi yang kuat dari keinginan baik kepada orang yang kita cintai. Tidak semua orang memiliki kesiapan mental untuk memperhatikan. Tidak juga semua orang yang memiliki kesiapan mental memiliki kemampuan untuk terus memperhatikan.

Memperhatikan adalah kondisi di mana kamu keluar dari dalam dirimu menuju orang lain yang ada di luar dirimu. Hati dan pikiranmu sepenuhnya tertuju kepada orang yang kamu cintai. Itu tidak sesederhana yang kita bayangkan. Mereka yang bisa keluar dari dalam dirinya adalah orang-orang yang sudah terbebas secara psikologis. Yaitu bebas dari kebutuhan untuk diperhatikan. Mereka independen secara secara emosional: kenyamanan psikologis tidak bersumber dari perhatian orang lain terhadap dirinya. Dan itulah musykilnya. Sebab sebagian besar orang lebih banyak terkungkung dalam dirinya sendiri. Mereka tidak bebas secara mental. Mereka lebih suka diperhatikan daripada memperhatikan. Itu sebabnya mereka selalu gagal mencintai.

Itulah kekuatan para pecinta sejati: bahwa mereka adalah pemerhati yang serius. Mereka memperhatikan orang-orang yang mereka cintai secara intens dan menyeluruh. Mereka berusaha secara terus menerus untuk memahami latar belakang kehidupan sang kekasih, menyelidiki seluk-beluk persoalan hatinya, mencoba menemukan karakter jiwanya, mendefinisikan harapan-harapan dan mimpi-mimpinya, dan mengetahui kebutuhan-kebutuhannya untuk sampai kepada harapan-harapan itu.

Para pemerhati yang serius biasanya lebih suka mendengar daripada didengarkan. Mereka memiliki kesabaran yang cukup untuk mendengar dalam waktu yang lama. Kesabaran itulah yang membuat orang betah dan nyaman menumpahkan isi hatinya kepada mereka. Tapi kesabaran itupula yang memberi mereka peluang untuk menyerap lebih banyak informasi tentang sang kekasih yang mereka cintai.

Tapi di sini juga tersimpan sesuatu yang teramat agung dari rahasia cinta. Rahasia tentang pesona jiwa para pecinta. Kalau kamu terbiasa memperhatikan kekasih hatimu, secara berlahan-lahan dan tanpa ia sadari ia akan tergantung dengan perhatiannmu. Secara psikologis ia akan sangat menikmati saat-saat diperhatikan itu. Bila suatu saat perhatian itu hilang, ia akan merasakan kehilangan yang sangat. Perhatian itu niscaya akan menyiksa jiwanya dengan rindu saat kamu tidak berada di sisinya. Mungkin ia tidak akan mengatakannya. Tapi ia pasti merasakannya.

Puncak Iman

Kamu takkan pemah sanggup mendaki sampai ke puncak gunung iman, kecuali dengan satu kata: cinta. Imanmu hanyalah kumpulan keyakinan semu dan beku, tanpa nyawa tanpa gerak, tanpa daya hidup tanpa daya cipta. Kecuali ketika ruh cinta menyentuhnya. Seketika ia hidup, bergeliat, bergerak tanpa henti, penuh vitalitas, penuh daya cipta, bertarung dan mengalahkan diri sendiri, angkara murka atau syahwat.

Iman itu laut cintalah ombaknya.
Iman itu api cintalah panasnya.
Iman itu angin, cintalah badainya.
Iman itu salju, cintalah dinginnya.
Iman itu sungai, cintalah arusnya.

Seperti itulah cinta bekerja ketika kamu harus memenangkan Allah atas dirimu sendiri, atau memenangkan iman atas syahwat. Seperti itu pula cinta bekerja dalam diri pemuda ahli ibadah itu. Kejadiannya diriwayatkan Al Mubarrid dari Abu Kamil dan Ishak bin Ibrahim dari Raja’ bin Amr Al Nakha’i.

Seorang pemuda Kufa yang dikenal ahli ibadah suatu saat jatuh cinta dan tergila-gila pada seorang gadis. Cintanya berbalas. Gadis itu sama gilanya. Bahkan ketika lamaran sang pemuda ditolak karena sang gadis telah dijodohkan dengan saudara sepupunya, mereka tetap nekat, ternyata. Gadis itu bahkan menggoda kekasihnya, “Aku datang padamu atau kuatur cara supaya kamu blsa menyelinap ke rumahku”. Itu jelas jalan syahwat.

“Tidak! Aku menolak kedua pilihan itu. Aku takut pada neraka yang nyalanya tak pernah padam!” Itu jawaban sang pemuda yang menghentak sang gadis. Pemuda itu memenangkan iman atas syahwatnya dengan kekuatan cinta.

“Jadi dia masih takut pada Allah?” gumam sang gadis. Seketika ia tersadar dan dunia tiba-tiba jadi kerdil di matanya. Ia pun bertaubat dan kemudian mewakafkan dirinya untuk ibadah. Tapi cintanya pada sang pemuda tidak mati. Cintanya berubah jadi rindu yang mengelana dalam jiwa dan doa-doanya. Tubuhnya luluh lantak didera rindu. la mati, akhirnya.

Sang pemuda terhenyak. Itu mimpi buruk. Gadisnya telah pergi membawa semua cintanya. Maka kuburan sang gadislah tempat ia mencurahkan rindu dan do’a-do’anya. Sampai suatu saat ia tertidur di atas kuburan gadisnya. Tiba-tiba sang gadis hadir dalam tidurnya. Cantik. Sangat cantik.

“Apa kabar? Bagaimana keadaanmu setelah kepergianku,” tanya sang gadis.

“Baik-baik saja. Kamu sendiri di sana bagaimana?” jawabnya sambil balik bertanya.

“Aku di sini dalam surga abadi, dalam nikmat dan hidup tanpa akhir,” jawab gadisnya.

“Doakan aku. Jangan pernah lupa padaku. Aku selalu ingat padamu. Kapan aku bisa bertemu denganmu?” tanya sang pemuda lagi.

“Aku juga tidak pernah lupa padamu. Aku selalu berdoa agar Allah menyatukan kita di surga. Teruslah beribadah. Sebentar lagi kamu akan menyusulku,” jawab sang gadis.

Hanya tujuh malam setelah mimpi itu, sang pemuda pun menemui ajalnya.

Atas nama cinta ia memenangkan Allah atas dirinya sendiri, memenangkan iman atas syahwatnya sendiri. Atas nama cinta pula Allah mempertemukan mereka. Cinta selalu bekerja dengan cara itu.

(Sumber: Majalah Tarbawi edisi 80 Th. 5/Muharram 1425 H/18 Maret 2004 M)

Mata Air Keluhuran

Galau benar hati sang raja. Putera mahkotanya ternyata seorang pemuda pemalas. Apatis. Talenta raja-raja tidak terlihat dalam pribadinya. Suatu saat sang raja menemukan cara mengubah pribadi puteranya: the power of love.

Sang raja mendatangkan gadis-gadis cantik ke istananya. Istana pun seketika berubah jadi taman: semua bunga mekar di sana. Dan terjadilah itu. Sesuatu yang memang ia harapkan: puteranya jatuh cinta pada salah seorang di antara mereka. Tapi kepada gadis itu sang raja berpesan, “Kalau puteraku menyatakan cinta padamu, bilang padanya, “Aku tidak cocok untukmu. Aku hanya cocok untuk seorang raja atau seseorang yang berbakat jadi raja.”

Benar saja. Putera mahkota itu seketika tertantang. Maka ia pun belajar. Ia mempelajari segala hal yang harus diketahui seorang raja. Ia melatih dirinya untuk menjadi raja. Dan seketika talenta raja-raja meledak dalam dirinya. Ia bisa, ternyata! Tapi karena cinta!

Cinta telah bekerja dalam jiwa anak muda itu secara sempurna. Selalu begitu: menggali tanah jiwa manusia, sampai dalam, dan terus ke dalam, sampai bertemu mata air keluhurannya. Maka meledaklah potensi kebaikan dan keluhuran dalam dirinya. Dan mengalirlah dari mata air keluhuran itu sungai-sungai kebaikan kepada semua yang ada di sekelilingnya. Deras. Sederas arus sungai yang membanjir, desak mendesak menuju muara. Cinta menciptakan perbaikan watak dan penghalusan jiwa. Cinta memanusiakan manusia dan mendorong kita memperlakukan manusia dengan etika kemanusiaan yang tinggi.

Jatuh cinta adalah peristiwa paling penting dalam sejarah kepribadian kita. Cinta, kata Quddamah, mengubah seorang pengecut menjadi pemberani, yang pelit jadi dermawan, yang malas jadi rajin, yang pesimis jadi optimis, yang kasar jadi lembut. Kalau cinta kepada Allah membuat kita mampu memenangkan Allah dalam segala hal, maka cinta kepada manusia atau hewan atau tumbuhan atau apa saja, mendorong kita mempersembahkan semua kebaikan yang diperlukan orang atau binatang atau tanaman yang kita cintai. Jatuh cinta membuat kita mau merendah, tapi sekatigus bertekad penuh untuk menjadi lebih terhormat.

Cobalah simak cerita cinta Letnan Jenderai Purnawirawan Yunus Yosfiah, yang suatu saat ia tuturkan pada saya dan beberapa kawan lain. Ketika calon istrinya menyatakan bersedia hijrah dari Katolik menuju Islam, ia tergetar hebat. “Kalau cinta telah mengantar hidayah pada calon istrinya,” katanya membatin, “seharusnya atas nama cinta ia mempersembahkan sesuatu yang istimewa padanya.”

Ia sedang bertugas di Timor Timur saat itu. Maka ia berjanji, “Besok aku akan berangkat untuk sebuah operasi. Aku berharap bisa mempersembahkan kepala dedengkot Fretilin untukmu.” Tiga hari kemudian, janji itu ia bayar lunas!

Gampang saja memahaminya. Keluhuran selalu lahir dari mata air cinta. Sebab, “cinta adalah gerak jiwa sang pencinta kepada yang dicintainya,” kata Ibnul Qoyyim.

(Sumber: Majalah Tarbawi edisi 81 Th. 5/Shafar 1425 H/2 April 2004 M)

Pesona Sang Nabi
“Kalau saja aku adalah Muhammad,” kata Iqbal, “aku takkan turun kembali ke bumi setelah sampai di Sidratul Muntaha.”

Iqbal barangkali mewakili perasaan kita semua: pesona keteduhan di haribaan Allah, di puncak langit ke tujuh, di SidratuI Muntaha, terlalu menggoda untuk ditinggalkan, apalagi untuk sebuah kehidupan penuh darah dan air mata di muka bumi.

Dua kehidupan yang tidak dapat diperbandingkan. Sebab perjalanan ke SidratuI Muntaha itu memang terjadi setelah sepuluh tahun masa kenabian yang penuh tekanan, disusul kematian orang-orang tercinta yang menjadi penyangga, Khadijah dan Abu Thalib. Perjalanan itu perlu untuk menghibur Sang Nabi dengan panorama kebesaran Allah SWT.

Tapi SidratuI Muntaha bukan penghentian. Maka Sang Nabi turun ke bumi juga akhirnya. Menembus kegelapan hati kemanusiaan dan menyalakannya kembali dengan api cinta. Cintalah yang menggerakkan langkah kakinya turun ke bumi. Cinta juga yang mengilhami batinnya dengan kearifan saat ia berdoa setelah anak-anak Thaif melemparinya dengan batu sampai kakinya berdarah: “Ya Allah, beri petunjuk pada umatku, sesungguhnya mereka tidak mengetahui.”

Seperti juga cinta menghaluskan jiwanya sebelas tahun kemudian, saat ia membebaskan penduduk Makkah yang ia taklukkan setelah pertarungan berdarah-darah selama dua puluh tahun: “Pergilah kalian semua, kalian sudah kumaafkan,” katanya kesatria.

Dengan kekuatan cintalah Sang Nabi menaklukkan jiwa-jiwa manusia dan meretas jalan cepat kedalamnya. Maka wahyu mengalir bagai air membersihkan kerat-kerat hati yang kotor dan sakit, kemudian menyatukannya kembali dalam jalinan persaudaraan abadi, lalu menggerakkannya untuk menyalakan dunia dengan api cinta mereka.

Seketika kota Madinah menyala dengan cinta. Lalu Jazirah Arab. Lalu Persi. Lalu Romawi, Lalu dunia. Dan Rumi pun bersenandung riang:

     Jalan para nabi kita adalah jalan cinta
     Kita adalah anak-anak cinta
    Dan cinta adalah ibu kita

Jalan cinta selalu melahirkan perubahan besar dengan cara yang sangat sederhana. Karena ia menjangkau pangkal hati secara langsung darimana segala perubahan dalam diri seseorang bermula. Bahkan ketika ia menggunakan kekerasan, cinta selalu mengubah efeknya, dan seketika ia berujung haru.

Begitulah sebuah pertanyaan sederhana mengantar Khalid menuju Islam. Sang Nabi bertanya kepada saudara laki-laki Khalid yang sudah lebih dulu masuk Islam: “Ke mana Khalid? Sesungguhnya aku menyaksikan ada akal besar dalam dirinya.” Khalid yang pernah membantai pasukan panah Sang Nabi dalam perang Uhud seketika tergetar. Padahal saat itu ia sedang merencanakan serangan kepada Sang Nabi menjelang perjanjian Hudaibiyah. la pun mencapai kepasrahannya.

Penulis : Anis Matta
(Sumber: Majalah Tarwabi edisi 92 Th. 6/Ra]ab 1425 H/2 September 2004 M)

Rahasia Keajaiban
Lelaki tua itu akhirnya merenggut takdirnya. Roket-roket Yahudi mungkin telah meluluhlantakkan tubuh lumpuhnya. Tapi mereka keliru. Sebab nafas cintanya telah memekarkan bunga-bunga jihad di Palestina. Sebuah generasi baru tiba-tiba muncul ke permukaan sejarah dan hanya tahu satu kata: jihad. Dan darahnya yang tumpah setelah fajar itu, adalah siraman Allah yang akan menyuburkan taman jihad di bumi nabi-nabi itu. Dan tulang belulangnya hanya akan menjadi sumbu yang menyalakan api perlawanan dalam jiwa anak-anak Palestina.

Syeikh Ahmad Yasin, lelaki tua dan lumpuh itu, adalah keajaiban cinta. la hanya seorang guru mengaji. Tapi dialah sesungguhnya bapak spiritual yang menyalakan api jihad di Palestina. Ia tahu, perjuangan Palestina telah dinodai para oportunis yang menjual bangsanya. Tapi ia tetap harus melawan. Dan lumpuhnya bukan halangan. Maka ia pun meniupkan nafas cintanya pada bocahbocah Palestina yang ia ajar mengaji. Dari tadarus Qur’an yang hening dan khusyu’ itulah, lahir generasi baru di bawah bendera Hamas. Palestina memang belum merdeka. Tapi ia telah merampungkan tugasnya: perang telah dimulai. Ketika akhirnya ia syahid juga, itu hanya jawaban Allah atas doa-doanya.

Letaki tua itu mengingatkan aku pada syair Iqbal:

    Tak berwaktu cinta itu, kemarin dan esok teriepas daripadanya
    Tak bertempat ia, atas dan bawah terlepas daripadanya
    Bila ia mohon pada Tuhan akan keteguhan dirinya
    Seluruh dunia pun menjadi gunung, dan ia sendiri penunggang kuda

Sejarah adalah catatan keajaiban. Tapi cinta adalah rahasianya. Cinta adalah saat kegilaan jiwa. Begitu cinta merasuki jiwamu, kamu jadi gila. Begitu kamu gila, energimu berlipat-lipat, lalu membulat, mendidih bagai kawah yang siap meledak dan membakar semua yang ada di sekelilingnya. Begitu energimu meledak, keajaiban tercipta. Begitulah naturalnya: keajaibankeajaiban yang kita temukan dalam sejarah tercipta dalam saat-saat jiwa itu.

Legenda keadilan Umar bin Khattab adalah keajaiban. Tafsirnya adalah cintanya pada Allah dan rakyatnya telah menjadi roh kepemimpinannya. Legenda perang Khalid bin Walid adalah keajaiban. Tafsirnya juga begitu: karena ia lebih mencintai jihad ketimbang tidur bersama seorang gadis cantik di malam pengantin. Hasan Al-Banna adalah legenda dakwah yang melahirkan kebangkitan Islam modern. Tafsirnya juga begitu: ia lebih mencintai dakwahnya di atas segalanya.

Saat cinta adalah saat gila. Saat gila adalah saat keajaiban. Bumi bergetar saat sejarah mencatat keajaiban itu. Iqbal menyebut saat cinta itu sebagai saat jiwa jadi sadar-jaga. Apabila jiwa yang sadar-jaga terlahir dalam raga, Maka persinggahan lama ini, ialah dunia, gemetar hingga ke dasar-dasarnya

Penulis : Anis Matta
(Sumber: Majalah Tarwabi edisi 82 Th. 5/Shafar 1425 H/15 April 2004 M)
Kekuatan Perubahan
Kakinya berdarah-darah. Orang-orang Thoif bukan saja menolak dakwahnya. Tapi juga menggunakan kekerasan untuk menolak dakwahnya. Setelah Quraisy menolak habis dakwahnya, dan orang-orang mulia seperti Khadijah yang menjadi tulang punggungnya wafat, kini anak-anak Thoif melemparinya batu. Sampai ia berlumuran darah.

Di saat seperti itulah jibril datang menawarkan bantuan: biar kuhancurkan mereka semua!

Menggoda betul tawaran jibril itu. Tapi, “Tidak!” jawab Rasulullah saw kepada jibril. “Aku bahkan memohon penangguhan untuk mereka. Sungguh aku berharap bahwa Allah akan mengeluarkan tulang sulbi mereka anak-anak yang akan menyembah Allah dan tidak mempersekutukan-Nya.” (Bukhari dan Muslim).

Seandainya ia seorang pendendam, ia pasti menerima tawaran jibrll itu. Tapi tidak! Ia seorang pencinta. Dan ia sadar bahwa ia bisa mengubah komunitas penggembala kambing yang angkuh di jazirah Arab menjadi pemimpin-pemimpin peradaban dunia yang rendah hati. Hanya dengan kekuatan cinta.

Dan itulah yang kemudian terjadi: hanya dalam waktu 22 tahun 2 bulan dan 22 hari, beliau merampungkan tugas kenabiannya dengan membawa seluruh jazirah kedalam cahaya Islam.

Cinta adalah kekuatan perubahan yang dahsyat. Lima belas abad kemudian, Erich fromm menjelaskan kekuatan cinta dalam proses perubahan:

“Pendekatan cinta adalah kebalikan dari pendekatan dengan kekerasan. Cinta berusaha memahami, menguatkan dan menghidupkan. Dengan cinta, seorang individu akan selalu mentransformasikan dirinya. Dia menjadi lebih peka, lebih menghargai, lebih produktif, lebih menjadi dirinya sendiri. Cinta tidak sentimental dan tidak melemahkan. Cinta adalah cara untuk mempengaruhi dan merubah sesuatu tanpa menimbulkan ‘efek samping’ sebagaimana kekerasan. Tidak seperti kekerasan, cinta membutuhkan kesabaran, usaha dari dalam. Lebih dari semua itu, cinta membutuhkan keteguhan hati. Menyelesaikan masalah dengan membutuhkan keteguhan hati untuk terhindar dari frustasi, untuk tetap sabar meskipun menemui banyak hambatan. Cinta lebih membutuhkan kekuatan dari dalam, kepercayaan daripada sekedar kekuatan fisik.” (Cinta, Seksualitas, Matriarki, Gender; 291; 2002).

Kalau Erich Fromm menjelaskan kekuatan cinta dalam merubah individu dan masyarakat dengan bahasa psikososial, maka Iqbal menjelaskannya dalam bait-bait puisinya:

Kekuatan cinta bukan dari tanah, air dan udara,
kekuatannya bukan keliatan urat asalnya;
cinta menundukkan Khaibar tanpa kesulitan,
cinta membelah badan bulan,
cinta memecahkan tengkorak Nimrod tanpa pukulan,
menghancurkan tentara Fira’un tanpa pertempuron.
(Javid Namah; 29; 2003).

(Majalah Tarbawi edisi 83 Th. 5/Robiul Awwal 1425 H/29 April 2004 M)

Bersatu Ditengah Badai

Satu per satu prajurit itu gugur. Mereka berempat. Semua syahid. Tapi semua hidup. Sebab memang semua syuhada tidak mati di mata Allah.

Mereka adadi sana, di sisi Allah menikmati limpahan karunia-Nya. Sebab mereka syahid justru karena mereka ingin memberi kesempatan kepada saudaranya untuk hidup.

Itu cerita tentang empat sahabat Rasulullah saw yang sama-sama kehausan dalam suatu pertempuran. Tapi air yang tersedia tidak cukup untuk mereka berempat. Maka masing-masing mereka mendahulukan saudaranya. Sampai gelas itu berkeliling tanpa satu pun yang minum. Begitu ia sampai pada prajurit pertama ternyata ia sudah syahid. Begitu juga yang kedua, ketiga dan keempai.

Itu “itsar” dalam bahasa agama kita. Semua gugur jadi syuhada. Semua tegak jadi saksi cinta.

Bisa. Bisa. Kita bisa menunjukkan keluhuran tertinggi semacam itu di saat yang paling sulit. Itu bukan sekadar cerita cinta yang hanya bisa diriwayatkan dalam sahabat-sahabat Rasulullah saw.

Kita bisa meriwayatkannya juga dalam kehidupan kita. Seperti pada badai Tsunami lalu. Kita bisa bersatu atas nama cinta: maka ketika badai meluluhlantakkan Serambi Mekkah, cinta mengalir ke sana lebih dahsyat. Kita bahkan tidak pernab punya sejarah cinta sebagai sebuah bangsa seperti pada peristiwa Tsunami itu.

Sebab ketika Allah mempersaudarakan orang-orang beriman, Ia hanya ingin mengatakan bahwa komunitas sosial kita harus diikat dengan cinta yang lahir dari iman. Hanya dengan begitu kita bisa menemukan kekuatan perekat yang abadi, tembus masa dan ruang, dan bebas dari berbagai perubahan situasi. Di saat persatuan bangsa dipertaruhkan di tengah badai alam atau politik atau ekonomi atau sosial atau keamanan, cinta adalah satu-satunya jawaban.

Cinta yang besarlah yang memungkinkan Rasulullah saw menyatukan para penghuni jazirab Arab yang nomad, badui dan buta huruf serta tumbuh dalam struktur sosial berbasis kabilah yang kompleks.
Seperti ketika Rasulullah saw menyatukan suku Aus dan Khazraj yang terseparasi dalam perang selama 40 tahun, serta menjadikan mereka semua sebagai kaum Anshar, yang kelak menyatu dengan Muhajirin dari suku Quraisy.

Bahkan ketika “kearifan politik” menuntut beliau memberikan semua harta rampasan perang kepada kaum Quraisy yang baru saja masuk Islam, yang terkesan “tidak adil” di hati kaum Anshar, Rasulullah saw hanya memberikan jawaban cintanya: “Bisakah kalian rela bahwa jatah kalian adalah Rasulullah saw?”

Fathu Makkah bahkan tidak lagi menggoda beliau untuk kembali ke Mekkah. Raganya ada di Madinah. Hatinya ada dalam hati kaum Anshar. Kaum Anshar menangis. Cinta menghadirkan makna lain dalam kehidupan sosial politik kita. Dan mengangkat kita ke ketinggian ruh yang mungkin sulit dijangkau oleh kepentingan sesaat.

Masih mungkin! Masih mungkin kita menyatukan bangsa yang terdiri lebih 300 suku dan bahasa. Bahkan juga bangsa-bangsa dunia Islam. Dengan cinta. Cinta misi. Dan hanya itu.

Pesona Jiwa Raga

Pada mulanya adalah fisik. Seterusnya adalah budi. Raga menarik pandangan mu. Jiwa membangun simpatimu. Badan mengeluarkan gelombang magnetiknya. Jiwa meniupkan kebajikannya.

Begitulah cinta tersurat di langit kebenaran. Bahwa karena cinta jiwa harus selalu berujung dengan sentuhan fisik, maka ia berdiri dalam tarikan dua pesona itu: jiwa dan raga.

Tapi selalu ada bias di sini. Ketika ketertarikan fisik disebut cinta tapi kemudian kandas di tengah jalan. Atau ketika cinta tulus pada kebajikan jiwa tak tumbuh berkembang sampai waktu yang lama.

Bias dalam cinta jiwa ini terjadi karena ia selalu merupakan senyawa spirituals dan libido. Kebajikan jiwa merupakan udara yang memberi kita nafas kehidupan yang panjang. Tapi pesona fisik adalah sumbu yang senantiasa menyalakan hasrat asmara.

Biasnya adalah ketidakjujuran yang selalu mendorong kita memenangkan salah satunya: jiwa atau raga.

Jangan pernah pakai “atau” di sini. Pakailah “dan”; kata sambung yang menghubungkan dua pesona rtu. Sebab kita diciptakan dengan fitrah yang menyenangi keindahan fisik. Tapi juga dengan fakta bahwa daya tahan pesona fisik kita ternyata sangat sementara.

Lalu apakah yang akan dilakukan sepasang pencinta jika mereka burumur 70 tahun? Bicara. Hanya itu. Dan dua tubuh yang tidur berdampingan di atas ranjang yang sama hanya bisa saling memunggungi, tanpa selera. Sebab tinggal bicara saja yang bisa mereka lakukan.

Begitulah pesona jiwa periahan menyeruak di antara lapisan-lapisan gelombang magnetik fisik lalu menyatakan fakta yang tidak terbantahkan bahwa apa yang membuat dua manusia bisa tetap membangun sebuah hubungan jangka panjang sesungguhnya adalah kebajikan jiwa mereka bersama.

Seperempat abad lamanya Rasulullah saw hidup bersama Khadijah. Perempuan agung yang pernah mendapatkan titipan salam dari Allah lewat malaikat Jibril ini menyimpan keagungannya begitu apik pada gabungan yang sempurna antara pesona jiwa dan raganya.

Dua kali menjanda dengan tiga anak sama sekali tidak mengurangi keindahan fisiknya. Tapi apa yang menarik dari kehidupannya mungkin bukan ketika akhirnya pemuda terhormat, Muhammad bin Abdullah, menerima uluran cintanya. Yang lebih menarik dari itu semua adalah fakta bahwa Rasulullah saw sama sekali tidak pernah berpikir memadu Khadijah dengan perempuan lain. Bahkan ketika Khadijah wafat, Rasulullah saw hampir memutuskan untuk tidak akan pemah menikah lagi.

Bukan cuma itu. Bahkan ketika akhirnya menikah setelah wafatnya Khadijah, dengan janda dan gadis, beliau tetap berkeyakinan bahwa Khadijah tetap tidak tergantikan. “Allah tetap tidak menggantikan Khadijah dengan seseorang yang lebih baik darinya,” kata Rasulullah saw.

Terlalu agung mungkin. Tapi memang begitu ia ditakdirkan: menjadi cahaya keagungan yang menerangi jalan para pencinta sepanjang hidup.

Pengalaman di sekitar kita barangkali justru selalu tidak sempurna. Karena biasanya selalu hanya ada “atau”, bukan “dan” dalam pesona kita. Atau bahkan tidak ada “dan” apalagi “atau”.

Ketika pesona terbelah seperti itu, cinta pasti berada di persimpangan jalan, selamanya diterpa cobaan, seperti virus yang menggerogoti tubuh kita. Dalam keadaan begitu penderitaan kadang tampak seperti buaya yang menantu mangsa dalam diam.

Majalah Tarbawi edisi 123 Th. 7/Dzulhijjah 1426 H/5 Januari 2006 M

Mengelola Ketidaksempurnaan

Apa lagi yang tersisa dari ketampanan setelah ia dibagi habis oleh Nabi Yusuf dan Muhammad. Apalagi yang tersisa dari kecantikan setelah ia terbagi habis oleh Sarah, istri Nabi Ibrahim, dan Khadijah, istri Nabi Muhammad saw? Apalagi yang tersisa dari pesona kebajikan hati setelah ia direbut Utsman bin Affan? Apalagi yang tersisa dari kehalusan budi setelah ia direbut habis oieh Aisyah?

Kita hanya berbagi pada sedikit yang tersisa dari pesona jiwa raga yang telah direguk habis oleh para nabi dan orang shalih terdahulu. Karena itu persoalan cinta kita selalu permanen begitu: jarang sekali pesona jiwa raga menyatu secara utuh dan sempura dalam diri kita.

Pilihan-pilihan kita, dengan begitu, selalu sulit. Ada lelaki ganteng atau perempuan cantik yang kurang berbudi. Sebaliknya, ada lelaki saleh yang tidak menawan atau perempuan salehah yang tidak cantik. Pesona kita selalu tunggal.

Padahal cinta membutuhkan dua kaki untuk bisa berdiri dan berjalan dalam waktu yang lama. Maka tentang pesona fisik itu Imam Ghazali mengatakan, “Pilihlah istri yang cantik agar kamu tidak bosan.” Tapi tentang pesona jiwa itu Rasulullah saw bersabda, “Tapi pilihlah calon istri yang taat beragama niscaya kamu pasti beruntung.”

Persoalan kita adalah ketidaksempurnaan. Seperti ketika dunia menyaksikan tragedi cinta Puteri Diana dan Pangeran Charles.

Dua setengah milyar manusia menyaksikan pemakamannya di televisi. Semua sedih. Semua menangis. Puteri yang pernah menjadi trendsetter kecantikan dunia dekade 80-an itu rasanya terlalu cantik untuk disia-siakan oleh sang pangeran. Apalagi Camila Parker yang menjadi kekasih gelap sang pangeran saat itu, secara fisik sangat tidak sebanding dengan Diana.

Tapi tidak ada yang secara objektif mau bertanya ketika itu. “Kenapa akhirnya Charles lebih memilih Camila, perempuan sederhana, tidak bisa dibilang cantik, dan lebih tua, ketimbang Diana, gadis cantik berwajah boneka itu?”

Jawaban Charles mungkin memang terlalu sederhana. Tapi itu fakta. “Karena saya lebih bisa bicara dengan Camila.”

Kekuatan budi memang bertahan lebih lama. Tapi pesona fisik justru terkembang di tahun-tahun awal pernikahan. Karena itu ia menentukan.

Begitu masa uji cinta selesai, biasanya lima sampai sepuluh tahun, kekuatan budi akhirnya yang menentukan sukses tidaknya sebuah hubungan jangka panjang. Dampak gelombang magnetik fisik berkurang atau hilang bersama waktu.

Bukan karena kencantikan atau ketampanan berkurang. Yang berkurang adalah pengaruhnya. Itu akibat sentuhan terus-menerus yang mengurangi kesadaran emosi tentang gelombang magnetik tersebut.

Apa yang harus kita lakukan adalah mengelola ketidaksempurnaan melalui proses pembelajaran.
Belajar adalah proses berubah secara konstan untuk menjadi lebih baik dan sempurna dari waktu ke waktu.

Fisik mungkin tidak bisa dirubah. Tapi pesona fisik bukan hanya tampang. Ia lebih ditentukan oleh aura yang dibentuk dari gabungan antara kepribadian bawaan, pengetahuan dan pengalaman hidup. Ketiga hal itu biasanya termanifestasi pada garis-garis wajah, senyuman dan tatapan mata serta gerakan refleks tubuh kita. Itu yang menjelaskan mengapa sering ada lelaki yang tidak terlalu tampan tapi mempesona banyak wanita. Begitu juga sebaliknya.

Itu jalan tengah yang bisa ditempuh semua orang sebagai pencinta pembelajar. Karena pengetahuan dan pengalaman adalah perolehan hidup yang membuat kita tampak matang. Dan kematangan itulah pesonanya. “Sebab, setiap kali pengetahuan kita bertambah,” kata Malik bin Nabi, “wajah kita akan tampak lebih baik dan bercahaya.”

(Majalah Tarbawi edisi 124 Th. 7/Dzulhijjah 1426 H/19 Januari 2006 M)

Pembelajaran dan Keindahan

Buta huruf. Jelek. Itu gambaran wajah mereka, buruh-buruh kasaryang didatangkan dari Aljazair ke Perancis. Tentu oleh Perancis, tuan besar yang menjajah negeri Muslim itu lebih dari seratus tahun.

Bertahun-tahun kemudian wajah-wajah mereka berubah menjadi lebih baik. Lebih indah, tepatnya. Sentuhan peradaban telah meninggalkan goresan keindahannya pada sorot mata dan garis-garis wajah mereka. Waktu tersenyum wajah mereka tampak lebih renyah, lebih terbuka dan lebih mampu menyatakan isi dalam jiwa mereka.

Sisa-sisa kekasaran gurun pasir memang tidak lenyap semua. Setidaknya pada tulang-tulang pipi mereka yang menampakkan kekerasan sekaligus ketidakmengertian. Tapi penampilan mereka kini jauh lebih bagus.

Malik Bin Nabi bertutur, “Setiap kali pengetahuan dan kemampuan membaca mereka bertambah, kami selalu memotret wajah mereka. Kemudian kami menemukan fakta bahwa wajah mereka berubah menjadi lebih indah dari waktu ke waktu. Pengetahuan membuat mereka tampak lebih indah”.

Itu merupakan hasil dari sebuah riset kecil di Perancis. Malik Bin Nabi, pemikir Muslim terkenal asal Aljazair, mengajar buruh-buruh kasar dan buta huruf itu membaca. Dari situ ia menemukan bagaimana pengetahuan dan keindahan memiliki korelasi yang positif.

Menjadi indah adalah efek pengetahuan. Pengetahuan membuka ruang kemungkinan lebih luas dan menambah kemahiran. Itu membuat manusia merasa lebih berdaya. Keberdayaan meningkatkan harapan dan kepercayaan diri. Dan itu yang mewariskan kegembiraan jiwa. Yang terakhir inilah yang membuat senyum mereka merekah lebih renyah. Karena harapan mereka permanen. Karena kepercayaan diri mereka beralasan.

Ini salah satu penjelasan mengapa orang-orang yang berasal dari peradaban maju secara umum lebih menarik ketimbang mereka yang berasai dari peradaban yang tidak maju.

Ada fenomena lain lagi. Misalnya, perempuan atau laki-laki kota berpendidikan secara umum jauh lebih menarik daripada perempuan atau laki-laki desa yang mungkin secara alami berparas lebih tampan atau cantik tapi tidak berpendidikan.

Kota punya sentuhannya sendiri. Pendidikan punya sentuhannya sendiri.

Jika pengaruh gelombang magnetik keindahan fisik berkurang bersama waktu, maka pesona pengetahun justru tumbuh berkembang dalam rentang waktu yang lama. Jika sepasang pencinta hidup seiama 40 tahun perkawinan, bisakah Anda membayangkan bagaimana mereka merawat kebersamaan yang panjang itu?

Sebagian besar waktu mereka akan habis dalam obrolan. Khususnya setelah mereka berusia di atas 50 tahun.

Itu yang dimaksud pangeran Charles. Dia butuh seseorang untuk diajak bicara. Bukan seseorang untuk sekedar dipajang ke pesta. Pesta mungkin selalu ada. Tapi tidak pernah lama. Begitu pesta selesai, kita kembali kepada kehidupan sehari-hari yang natural di mana kita hanya bicara dan bicara lagi.

Dalam sebuah hubungan jangka panjang kita tidak membutuhkan sebuah boneka cantik yang gagu. Kita memerlukan seseorang yang bisa mengerti dan mudah dimengerti, seseorang yang bisa memahami riak dan gelombang perasaan kita dan mampu menyatakan isi hatinya secara jelas dan sempurna, seseorang yang mampu memetakan pikiran-pikiran kita dan juga punya pikiran yang terus berkembang dan bisa dipetakan.

Hidup menjadi “bernas” ketika ia tampak seperti lautan teduh yang menyembunyikan gelombangnya yang dahsyat dan tamannya yang indah. Tapi jika kita ingin menyelami dan menyaksikannya, kita perlu kacamata renang atau selam. Kita juga butuh alat bantu pernafasan.

Pengetahuanlah itu yang memberi makna pada cinta ketika ia hendak menembus ruang dan waktu. Pengetahuanlah itu yang memberi umur lebih panjang pada cinta yang hendak bertahta di singgasana keabadian.

Majalah Tarbawi edisi 125 Th. 7/Muharram 1427 H/2 Februart 2006 M

Pesona Ketiga

Di hadapannya, istrinya terduduk. Diam. Hening. Hanya tatapan mata yang saling bicara. Tekad memancar tegas setegas pekat hitam kedua bola matanya.

“Kini tiba giliranmu, istriku,” Umar bin Abdul Aziz membuka pembicaraan. “Perbaikan dan reformasi dinasti Bani Umayyah sudah kumulai dari diriku sendiri. Selanjutnya adalah giliranmu. Kemudian anak-anak. Kemudian keluarga besar istana. Sekarang kembalikan seluruh harta dan perhiasanmu ke kas negara.”

Istrinya langsung angkat kepala. “Tidak, Umar! Ini semua adalah pemberian ayahku, Abdul Malik Bin Marwan.”

Umar terdiam, sejenak. Lalu menjawab, “Tapi uang untuk membeli itu semua berasal dari kas negara, Fatimah!”

Dialog itu terus berlangsung, mendatar dan meninggi, antara setuju dan tidak setuju.

Beberapa saat Umar tertunduk. Terpekur. Tantangan itu ternyata ada di hadapannya kini. Dari orang terdekat dan paling ia cintai. Bisakah ia melanjutkan perjuangannya kalau hambatannya justru datang dari cinta?

Tidak! Tidak boleh! Ia harus terus melangkah maju di jalan terjal perbaikan pemerintahan.

Tiba-tiba Umar bangkit dan berkata, “Fatimah, sekarang aku sudah bertekad untuk tidak mundur. Dan kamu punya dua pilihan: kembalikan seluruh harta itu, atau jika tidak, hubungan kita berakhir di sini.”

Fatimah terhenyak. Kesadarannya seperti ditampar tangan kebenaran. Hanya sesaat kemudian Fatimah mendengarkan panggilan nuraninya. la memilih untuk terus bersama Umar.

Pada suatu masa dalam hidup kita, fisik kita berhenti menuntut hak-haknya, akal kita berhenti meminta penjelasan-penjelasan. Karena ada kebutuhan baru yang muncul begitu kita makin menua: kebutuhan akan transendensi spiritual karena tuntutan “tanah” tak lagi punya gravitasi yang kuat dalam tubuh kita.

Saat itu kesadaran akan fisik lenyap dan kehebatan akal menjadi terlalu sederhana untuk menjelaskan temuan-temuan ruh dalam kehidupan. Saat itu mata ruh kita mulai menembus tembok-tembok ruang dan waktu, melewati kesementaraan pada panggilan raga dan jiwa, dan memasuki gerbang keabadian ruh yang telah terbebaskan. Karena itu godaan raga dan jiwa pada Umar lenyap ketika ia harus memilih jalan ruhnya: tapi justru disitulah pesona keabadiannya menampakkan diri, dan seperti angin sepo iyang masuk lewat jendela bersama cahaya matahari, kebenaran itu merengkuh seluruh dirinya. Ada keagungan transendensi yang datang bersama kebenaran cinta. Itu mencerahkan. Itu menghidupkan.

Dalam transendensi itu tidak ada cantik atau jelek. Tidak ada seksi atau tidak seksi. Yang ada hanya kebenaran dan keabadian. Itu yang memberinya aura keagungan.

Setiap kali kamu melihat mereka yang memiliki pesona itu ingatanmu langsung kembali ke masa depan, melampaui semua yang kini dan di sini, masa di mana waktu tak lagi punya ujung. Maka pesona mereka membebaskanmu seperti buraq membawa Muhammad melewati atmosfir bumi dan menembus langit demi langit menuju singgasana Zat Yang Abadi. Dan begitu jugalah Muhammad saw mengakhiri konflik dengan istri-istrinya sembari mengatakan, “Hai Nabi, katakanlah kepada istri-istrimu, “Jika kamu sekalian mengingini kehidupan dunia dan perhiasannya, maka marilah supaya kuberikan kepadamu mut’ah dan aku ceraikan kamu dengan cara yang baik. Dan jika kamu sekalian menghendaki (keridhaan) Allah dan Rasul-Nya serta (kesenangan) di negeri akhirat, maka sesungguhnya Allah menyediakan bagi siapa yang berbuat baik diantaramu pahala yang besar.”

(Majalah Tarbawi edisi 126 Th. 7/Muharram 1427 H/16 Februari 2006 M)

Serasa dan Serasi

Tdak karena kamu memiliki semua pesona itu sekaligus, maka kamu bisa mencintai dan mengawini semua perempuan. Begitu juga sebaliknya.

Pesona fisik, jiwa, akal dan ruh, diperlukan untuk menciptakan daya tarik dan daya rekat yang permanen bila kita ingin membangun sebuah hubungan jangka panjang.

Tapi seperti berlian, tidak semua orang mengenalnya dengan baik, maka mereka tidak menghargainya. Atau mungkin mereka mengenalnya, tapi terasa tertalu jauh untuk dijangkau, seperti mimpi memetik bintang atau mtmpi memeluk gunung. Atau mungkin ia mengenalnya, tapi terasa terlalu mewah untuk sebuah kelas sosial, atau kurang serasi untuk sebuah suasana.

Kira-kira itulah yang membuat Aisyah-radhiyallahu ‘anha-sekali ini benar-benar gundah. Orang terbaik di muka bumi ketika itu, Amirul Mu’minin, Khalifah Kedua, Umar Bin Khattab, hendak melamar adiknya, Ummu Kaltsum. Tidak ada alasan untuk menolak lamaran beliau kecuali bahwa Abu Bakar, sang Ayah, yang juga Khalifah Pertama, telah mendidik puteri-puterinya dengan penuh kasih sayang dan kemanjaan.

Aisyah, karena itu, percaya bahwa adiknya tidak akan kuat beradaptasi dengan pembawaan Umar yang kuat dan kasar. Bahkan ketika Abu Bakar meminta pendapat Abdurrahman Bin Auf tentang kemungkinan penunjukan Umar bin Khattab sebagai khalifah, beliau menjawab: “Dia yang paling layak, kecuali bahwa dia kasar”.

Dengan sedikit bersiasat, Aisyah meminta bantuan Amru Bin ‘Ash untuk “menggiring” Umar agar menikahi Ummu Kaltsum yang lain, yaitu Ummu Kaltsum Binti Ali Bin Abi Thalib yang ketika itu berumur 11 tahun.

Karena garis jiwa, akal dan ruh mereka lebih setara dan karena itu mereka akan tampak lebih serasi karena bisa serasa. Berbekal pengalaman sebagai diplomat ulung, pesan Itu memang sampai kepada Umar Akhirnya Umar menikahi Ummu Kaltsum Bin Ali Bin Abi Thalib.

Kesetaraan dan keserasian. Itu yang lebih menentukan daripada sekedar pesona an sich. Ibnu Hazem menjelaskan, kalau ada lelaki tampan menikahi perempuan jelek, atau sebaliknya, itu bukan sebuah keajaiban. Yang ajaib adalah kalau seorang lelaki meninggalkan kekasih yang cantik dan memilih kekasih baru yang jelek.

“Saya tidak bisa memahaminya. Tapi memang tidak harus dijelaskan”.

Ibnu Hazem, imam terbesar pada mazhab Zhahiryah, yang menulis puluhan buku legendaris dalam fiqh, hadits, sejarah, sastra, puisi dan lainnya, lelaki tampan yang lembut dan seorang pencinta sejati, putera seorang menteri di Cordova, suatu ketika harus menelan luka: cintanya ditolak oleh seorang perempuan yang justru bekerja di rumahnya.

Ibnu Hazem bahkan mengejar-ngejarnya dan melakukan semua yang bisa ia lakukan untuk mendapatkan cintanya. Tapi tetap saja ditolak.

“Saya teringat, kadang-kadang saya masuk melalui pintu rumahku di mana gadis itu ada di sana, untuk berdekat-dekat dengannya. Tapi begitu ia tahu aku mendekat ia segera menjauh dengan sopan dan tenang. Jika ia memilih pintu lain, maka aku akan ke sana juga tapi dia akan pindah lagi ke tempat lain. Dia tahu aku sangat mencintainya walaupun perempuan-perempuan tidak tahu hal itu karena jumlah mereka yang sangat banyak di istanaku.”

Begitulah leiaki yang memiliki semua pesona itu ditolak. Bahkan ketika suatu saat Ibnu Hazem menyaksikan gadis itu menyanyi di istananya, Ibnu Hazem benar-benar terpesona dan makin mencintainya. Tapi ia hanya berkata dengan lirih, “Oh, nyanyian itu seakan turun ke hatiku, dan hari itu tidak akan pernah kulupakan sampai hari ketika berpisah dengan dunia”.

Oh, lelaki baik yang terluka oleh hukum keserasaan dan keserasian.

(Majalah Tarbawi edisi 129 Th. 7/Shafar 1427 H/30 Maret 2006 M)

Gejolak di Balik Bilik

Bahkan ketika kamu memiliki semua pesona fisik, jiwa, akal dan ruh, cintamu bukan saja mungkin tertolak dan kamu terluka di bawah hukum keserasaan dan keserasian. Lebih dari itu, kamu juga tidak bebas dari problematika kehidupan cinta dan asmara seperti yang dialami orang-orang biasa.

Dalam terminologi batin kehidupan, sebenarnya kita semua hanya orang-orang biasa, memiliki rasa orang-orang biasa, dan menghadapi persoalan cinta yang juga dialami orang-orang biasa.

Bahkan ketika sang kekasih setara dengan kamu pada pesona fisik, jiwa, akal dan ruhnya, itu juga bukan sebuah sertifikat bebas perkara kehidupan, yang dapat kamu tempel pada dinding kesadaranmu.

Tidak!!! Persoalan hidup adalah jatah setiap manusia, tidak peduli apakah ia orang baik atau bukan. Bahkan sumber persoalan hidup kita seringkali datang dari kebaikan hati kita. Seperti unta yang sabar; orang-orang hanya tahu memikulkan beban ke punggungnya tanpa pernah mendengar keluhannya. Kesabarannya adalah sumber masalahnya.

Yang membedakan mereka adalah bahwa mereka selalu “berada di atas” masalah-masalah mereka. Karena itu mereka selalu mampu “mengatasi” masalah-masalah mereka. Mereka selalu sanggup melampaui lorong gelap pada suatu potongan waktu kehidupan mereka.

Mereka selalu menang. Cerita mereka selalu berakhir bagus; tidak selalu karena endingnya penuh bunga dan senyum, kadang-kadang justru karena keputusan pahit yang mengharu-biru sebab ia lahir dari cinta yang ksatria.

Seperti ketika istri-istri Rasuiullah saw meminta tambahan perhiasan dunia. Apa yang salah dengan tuntutan itu? Itu datang dari istri-istri yang shalihah kepada seorang suami yang shalih. Itu bukan barang haram.

Tapi tuntutan itu berat bagi sang Rasul; bagaimana mungkin ia kembali kepada persoalan kecil seperti ini ketika ia sedang dalam perjalanan untuk melakukan sentuhan akhir dalam penyelesaian misi kenabiannya? Itu mengganggu dan menyedot perhatiannya justru ketika ia sedang membutuhkan konsentrasi penuh untuk menyelesaikan tugas akhirnya. Itu menyebabkan beliau “mendiamkan” mereka selama sebulan. Bahkan beliau menyendiri dan tidak ingin ditemui oleh sahabat-sahabat beliau.

Contoh itu mungkin terasa terlalu sophisticated. Mari kita ambil contoh lain. Suatu saat beliau berada di rumah Aisyah. Kemudian Saudah datang menemui beliau. Aisyah pun menawarkan kue yang baru saja dibuatnya. Tapi Saudah mengatakan, kue itu tidak enak. Aisyah tentu saja tersinggung. la pun menimpuk Saudah dengan kue itu. Dan Saudah membalasnya. Timpuk-menimpuk itu berlangsung sementara sang suami menyaksikannya sembari tertawa terbahak-bahak.

Oh, persoalan memang datang. Tapi selalu berialu. Di balik bilik sederhana itu ada banyak gejolak. Tapi keteduhan selalu mengakhirinya.

(Majalah Tarwabi edisi 130 Th. 7/Rabi’ul Awal 1427 H/27 April 2006 M)

Romantika Pasangan Jiwa

Orang-orang di negerinya, di Mesir sana, menganggapnya pahlawan cinta. Mereka menyebutnya sebagai kampiun asmara.

Dody Al Fayed dan Lady Diana adalah sebuah roman yang tragis. Dua jiwa bertemu. Tapi tanpa raga. Mereka tidak ditakdirkan bersatu.

Tapi Lady Diana dan pangeran Charles adalah juga roman yang tragis. Dua raga bertemu. Tapi tanpa jiwa. Mereka pernah ditakdirkan bersatu. Tapi tidak ditakdirkan untuk saling mencintai.

Tragis. Terlalu tragis. Dua setengah milyar umat manusia yang ikut menyaksikan proses pemakaman Lady Diana dan Dody hanya mampu menangis. Menyatakan haru entah kepada siapa: sebab di alam jiwa mereka semua nestapa.

Tapi cerita Charles dengan Camilla Parker yang entah menjadi pemicu keretakan rumah tangganya atau tidak, menyelipkan sebuah pertanyaan besar: mengapa sang pangeran lebih tertarik dengan perempuan tua itu ketimbang Diana yang cantik dan anggun, Diana? Bahkan ketika Camila menjadi musuh bersama rakyat Inggris, Charles tetap menikahinya beberapa tahun kemudian? Seperti sebuah kehendak yang dipaksakan walaupun harus melawan arus. Tidak berartikah kecantikan Diana baginya? Dan apakah pesona perempuan tua yang membuatnya nekat itu?

Charles adalah sebuah cerita tentang kesepian. Punya ibu seorang ratu hampir sama dengan menjadi yatim. Maka Charles tumbuh dengan sebuah kebutuhan jiwa yang akut: seseorang yang bisa diajak bicara, mau mendengarnya dan mampu memahaminya, seseorang yang bisa membuatnya merasa sebagai orang normal yang bersikap wajar dalam kehidupannya. Camilla hadir dan bisa memenuhi kebutuhan jiwa itu. Sementara Diana tumbuh sebagai gadis cantik yang terlalu lugu untuk kerumitan-kerumitan besar yang dihadapi Cahrles. Ia bagus sebagai icon kerajaan yang cantik. Tapi tidak bagi Charles yang rumit. Jiwa mereka tidak bertemu ketika raga mereka justru seranjang.

Tim kehidupan pada intinya adalah ide tentang pasangan jiwa dalam katagori cinta jiwa. Bukan terutama tentang poligami. Ini ide tentang pertemuan jiwa yang disebabkan oleh kesamaan, atau kesepadanan, atau keseimbangan, atau kelengkapan. Jiwa-jiwa yang saling bertemu itu bisa dua atau tiga atau empat dan seterusnya. Sama persis dalam semua bentuk tim dalam sebuah organisasi.

Tim itu juga bisa besar pada mulanya lalu menciut pada akhirnya. Umar bin Khattab, misalnya, menceraikan dua istrinya yang sangat cantik, Jamilah dan Qaribah. Tapi bisa bertahan hidup bersama Ummu Kaltsum binti AN atau cucu Rasulullah saw yang usianya terpaut lebih 40 tahun.

Itu sebabnya cinta jiwa merupakan sumber semua cerita roman percintaan dalam sejarah umat manusia. Baik yang berujung tragis maupun yang berakhir bahagia. Jiwa mempunyai hajatnya sendiri. Maka ia lebih bisa mengenal pasangannya sendiri. Juga bergerak dengan caranya sendiri menuju pasangannya.

Di alam jiwa, terlalu banyak kaidah dan kebiasaan alam raga yang tidak berlaku. Itu membuatnya rumit. Tapi agung. Rumit jalan ceritanya. Tapi agung suasananya. Rumit untuk dicerna. Tapi agung untuk dirasakan. Maka romantika cinta pasangan jiwa selalu begitu: bauran yang kompleks antara kerumitan dan keagungan.

(Majalah Tarbawi edisi 140 Th.8/Ramadhan 1427 H/28 September 2006 M)

Orang-orang Romantis

Qais sebenarnya tidak harus bunuh diri. Hidup tetap bisa dilanjutkan tanpa Layla. Tapi itulah masalahnya. Ia tidak sanggup. Ia menyerah. Hidup tidak lagi berarti baginya tanpa Layla.

Ia memang tidak minum racun. Atau gantung diri. Atau memutus urat nadinya. Tapi la membiarkan dirinya tenggelam dalam duka sampai nafas terakhir. Tidak bunuh diri. Tapi jalannya seperti itu.

Orang-orang romantis selalu begitu: rapuh. Bukan karena romantisme mengharuskan mereka rapuh. Tapi di dalam jiwa mereka ada bias besar.

Mereka punya jiwa yang halus. Tapi kehalusan itu berbaur dengan kelemahan. Dan itu bukan kombinasi yang bagus. Sebab batasnya jadi kabur: kehailusan dan kelemahan jadi tampak sama.

Qais lelaki yang halus. Sekaligus lemah.

Kombinasi begini membuat banyak orang-orang romantis jadi sangat rapuh. Apalagi saat-saat menghadapi badai kehidupan. Misalnya ketika mereka harus berpisah untuk sebuah pertempuran.

Maka cinta dan perang selalu hadir sebagai momen paling melankolik bagi orang-orang romantis Mengerikan. Tapi tak terhindarkan. Berdarah-darah. Tapi tak terelakkan. Itu dunia orang-orang jahat. Dan orang-orang romantis hanya datang ke sana sebagai korban.

Begitu ruang kehidupan direduksi hanya ke dalam kehidupan mereka berdua dunia tampak sangat buruk dengan perang. Tapi kehidupan punya jalannya sendiri. Ada kaidah yang mengaturnya. Dan perang adalah niscaya dalam aturan itu.

Maka terbentanglah medan konflik yang rumit dalam batin mereka. Dan orang-orang romantis yang rapuh itu seialu kalah. Itu sebabnya Allah mengancam orang-orang beriman: kalau mereka mencintai istri-istri mereka lebih dari cinta mereka pada jihad, maka Allah pasti punya urusan dengan mereka.

Tapi inilah persoalan inti dalam ruang cinta jiwa. Jika cinta jiwa ini berdiri sendiri, dilepas sama sekali dari misi yang lebih besar, maka jalannya memang biasanya ke sana: romantisme biasanya mengharuskan mereka mereduksi kehidupan hanya ke dalam ruang kehidupan mereka berdua saja, karena di sana dunia seluruhnya hanya damai, di sana mereka bisa menyembunyikan kerapuhan atas nama kehalusan dan kelembutan jiwa.

Itu sebabnya cinta jiwa selalu membutuhkan pelurusan dan pemaknaan dengan menyatukannya bersama cinta misi. Dari situ cinta jiwa menemukan keterarahan dan juga sumber energi. Dan hanya itu yang memungkinkan romantisme dikombinasi dengan kekuatan jiwa. Maka orang-orang romantis itu tetap dalam kehalusan jiwanya sebagai pencinta, tapi dengan kekuatan jiwa yang tidak memungkinkan mereka jadi korban karena rapuh.

Ketika kabar syahidnya syekh Abdullah Azzam disampaikan kepada istri beliau, janda itu hanya menjawab enteng, “Alhamdulillab, sekarang dia mungkin sudah bersenang-senang dengan para bidadari.”

(Majalah Tarbawi edisi 142 Th. 8/Syawal 1427 H/26 Oktober 2006 M)

Mengikat Jiwa Dengan Misi
Genap tiga hari sudah ia menghilang. Genap juga tiga kali sang guru bertanya tentang keberadaan muridnya. Tidak hadir di halaqah ilmu bukan kebiasaannya. Apalagi tanpa pemberitahuan.
Ia salah satu yang paling rajin di antara semua muridnya. Tapi pada hari keempat akhirnya sang murid muncul juga. Tapi dengan wajah yang menyimpan banyak sedih. Dan pilu.
“Ke mana saja kamu selama tiga hari ini?” tanya sang guru.
“Aku sedang berduka, ya syaekhana (tuan kami). Istriku baru saja wafat tiga hari lalu,” jawabnya sedih.
“Oh, kalau begitu aku turut berduka. Semoga Allah memasukkannya ke dalam surga-Nya dan memberimu ketabahan.”
Tapi kemudian sang guru tiba-tiba bertanya lagi, “Apakah kamu sudah menikah lagi?”
Tentu saja ia kaget. Tapi ia menjawab juga. “Tentu saja belum, ya syaekhana”.
“Apakah kamu ingin menikah lagi?” tanya sang guru lagi.
“Tentu saja mau, ya syaekhana,” jawabnya pasti.
“Bagaimana kalau kunikahkan kamu dengan puteriku?”.
Pertanyaan ini membuat sang murid berpikir bahwa gurunya hanya sedang menghiburnya. Maka ia menjawab sekenanya: “Tentu saja aku terima nikah puterimu, ya syaekhana.”
Sang murid kembali ke biliknya tanpa beban. Tanpa ingatan apa-apa atas dialog tadi.
Tapi di malam hari tiba-tiba pintunya diketuk. Ketika ia membukanya ia mendapati sang guru berdiri di depan pintu.
“Ini istrimu ku antar padamu, karena kamu tidak datang menjemputnya sore tadi,” kata sang guru enteng.
Sang murid tergagap. Ini nyata atau mimpi? Sekelebat saja dan sang guru telah menghilang. Dan hadirlah di hadapannya seorang gadis berwajah cantik bagai rembulan. Matanya bersinar terang. Lugu dan tanpa dosa. Ia pasti tidak tahu siasat laki-laki. Tapi jidatnya memancarkan kecerdasan yang menyala-nyala.
Dan sang murid masih saja tergagap di antara percaya dan tidak percaya. Ia makin malu ketika ia menyadari bahwa di rumahnya hanya ada sepotong roti dan secangkir air putih. Bukan. Ia malah sedikit minder. Makanya ia segera menyatakan permohonan maaf kepada puteri gurunya yang sekarang telah menjadi istrinya.
Tapi gadis itu seketika marah dan berkata, “Celakahlah ayahku, Said Ibnul Musayyab, mengapa ia menikahkan aku dengan seorang laki-laki yang imannya lemah begini? Dia masih punya sepotong roti dan segelas air tapi merasa tidak punya apa-apa!”
Begitulah kejutan cinta datang mengisi potongan kedua hidupnya. Tapi riwayatnya belum berakhir di situ.
Malam pertama itu berlangsung indah. Seindah semua malam pertama para pengantin.
Keesokan harinya sang murid membenahi buku catatan untuk berangkat beiajar. Tapi ia dicegat sang istri, “Bukankah kamu belajar dalam fiqh bahwa hak seorang perawan adalah tujuh hari tidak boieh ditinggal?”
Sang murid termangu. “Kamu benar,” hanya itu yang bisa dikatakannya.
Maka ia pun menghilang tujuh hari dari halaqah ilmu sang guru untuk memenuhi hak sang perawan.
Pada hari ke delapan ia berkemas lagi untuk pergi ke halaqah ilmu sang guru. Tapi ia dicegat lagi sang istri dengan sebuah pertanyaan, “Kamu belajar apa sama ayahku, Said Ibnul Musayyab?”
Sang murid tidak mengerti arah pertanyaan ini. Ia pun menjawab, “Aku belajar semua ilmu. Ada tafsir, hadits, fiqh, sejarah dan semua ilmu tentang agama ini.”
Lalu sang gadis menjawab penuh percaya diri, “Duduklah di sini. Belajarlah padaku. Karena semua yang ada di kepala Said juga ada di kepalaku”.
Perempuan itu agaknya mewakili kezuhudan kakeknya, Abu Hurairah, dan ilmu ayahnya, Said Ibnul Musayyab. Tapi kepada para pencinta sejati ia menyampaikan pesan ini: “bahwa orang-orang romantis hanya menjadi mungkin kuat ketika romantika mereka diikat oleh misi kehidupan yang luhur.”
(Majalah Tarbawi edisi 143 Th. 8/Zdulqa’dah 1427 H/23 November 2006 M
Di Ujung Pengalaman Pahit

“Kenapa kamu takut bunuh diri?”, tanya letaki itu gamang.

“Dan kamu, kenapa kamu tidak mau melanjutkan hidup?” kawannya gamang juga, namun tetap berusaha optimis.

Dua orang dekat Hitler itu saling menatap dalam ketakutan pada menit-menit terakhir menjelang kejatuhan Berlin ke tangan Soviet, dan yang pasti akan mengakhiri riwayat petualangan Hitler. Di medan tempur mereka kalah, dan di medan hati semua rasa berkecamuk: antara ketakutan, kesetiaan, keberanian, kehormatan dan kesia-siaan.

Ketika akhirnya Soviet merebut Berlin, lelaki yang pertama akhirnya menembak kepalanya sendiri: “Karena saya sudah berjanji pada Hitler, bahwa saya akan mengikuti jejaknya: bunuh diri begitu Soviet merebut Berlin”. Tapi lelaki yang kedua akhirnya menyerah dan memilih bersama dengan Soviet, namun terus hidup: “Karena saya tidak ingin mati sia-sia”.

Kematian selalu mengajar manusia menghargai kehidupan. Seperti perang memaksa manusia mengharapkan perdamaian. Setiap kali kegilaan angkara murka membinasakan hidup manusia, saat itu akal sehat hadir dengan tawaran yang sederhana: tinggalkan kesia-siaan ini dan hargailah hidup.

Maka di ujung keberanian yang sebenarnya adalah kegilaan, selalu muncul ketakutan yang malu-malu; tapi itu sebenarnya adalah harapan yang tulus untuk tetap bertahan hidup dan terbebas dari kesia-siaan. Dialog yang terekam dengan baik dalam film Dawn Fall itu sebenarnya merupakan dialog antara kegilaan dan akal sehat, antara kematian dan kehidupan, antara kehormatan dan kesia-siaan.

Begitulah selalu kejadiannya: cinta manusia pada perdamaian selalu lahir sesudah perang panjang yang sia-sia. Cinta damai itu adalah ikrar akal sehat yang lahir di ujung pengalaman pahit yang memilukan. Perang Dunia Kedua yang telah membinasakan puluhan juta nyawa manusia akhirnya melahirkan PBB dengan cita-cita yang sederhana: menciptakan perdamaian dunia.

Perdamaian adalah maslahat kemanusiaan yang agung. Tapi manusia tidak selalu mencintainya sejak awai. Mereka perlu melamapaui kegilaan angkara murka untuk merasakan kebutuhan yang sangat pada perdamaian itu. Itu sebabnya cinta maslahat yang lahir dari akal sehat ini selalu merupakan temuan dari pengalaman pahit.

Dan itu tabiat manusia pada dasarnya: mereka membutuhkan benturan untuk menjadi lebih baik. Seperti cinta maslahat itu. Seperti cinta damai itu.

(Majalah Tarbawi edisi 147 Th. 8/Dzulhijjah 1427 H/1B Januan 2007 M)

Semangat Penanggungan

Cinta tidak akan pernah berkembang menjadi rencana aksi kecuali ketika ia lahir dari semangat pertanggungjawaban. Cinta yang kuat adalah manifestasi dan sense of responsibility yang terus menerus bergelora dalam jiwa sang pencinta. Sebab cinta adalah tindakan. Bukan sekadar kata-kata. Atau janji-janji.

Sebagian dari tindakan cinta itu adalah mengambil-alih masalah yang tidak dapat diselesaikan oleh orang yang kita cintai. Sebagiannya lagi adalah mengembangkan diri orang yang kita cintai secara terus-menerus. Tindakan cinta adalah keterlibatan terus-menerus pada masalah dan penumbuhan orang-orang yang kita cintai.

Tantangan beratnya adalah bahwa orang-orang yang kita cintai terlalu sering tidak menyadari kebajikan yang kita suplai secara berkesinambungan kepada mereka. Bahkan sering tanpa sadar menjadi tergantung kepada kebajikan itu. Tapi seperti kepada matahari, udara dan air, sikap kita juga begitu: kita menjadi terlalu terbiasa dengan kebajikan Ilahiyah itu dan karenanya lupa untuk bersyukur dan menyatakan terima kasih yang tulus.

Jadi mencintai adalah sebuah keputusan besar yang kita buat dalam hidup kita. Dan seperti semua keputusan lainnya, keputusan untuk mencintai juga mengandung beban dan resiko. Maka semua pekerjaan yang harus dilakukan atas nama cinta selalu mengandung makna sebuah amanat, sebuah tugas, sebuah janji.

Misalnya menjadi pemimpin rakyat. Itu pekerjaan yang harus dilakukan atas nama cinta. Dan karenanya merupakan sebuah amanat, sebuah tugas, sebuah janji. Cinta dari semangat penanggungan itulah yang mengganggu tidur mereka senantiasa.

Lihatlah Umar bin Khattab yang tidak bisa tidur siang dan malam. “Bagaimana mungkin aku bisa tidur? Kalau aku tidur di siang hari lantas siapa yang mengurus rakyatku? Kalau aku tidur di ma]am hari lantas kapan aku bisa memenuhi hak diriku untuk bermunajat dengan Allah?”

Begitu juga perkawinan. Akad nikah adalah sebuah perjanjian yang keras. Seorang laki-laki yang mengambil-alih hak perwalian dari ayah perempuan yang menjadi istrinya harus menandatangani sebuah ‘aqad, sebuah kontrak, sebuah janji.

Laki-laki itu mengambil perempuannya dari perlidungan sang ayah dengan amanat Allah. Dalam kontrak itu ada sebuah komitmen sekaligus daftar kewajiban yang harus ditunaikan. Amanat itu yang selalu memastikan bahwa seorang suami yang bertanggung jawab “akan menghormati istrinya kalau ia mencintainya, tapi tidak akan pernah menzaliminya kalau kemudian ia tidak lagi mencintainya”.

Entah karena merasa sudah tua atau alasan lain suatu saat Saudah menawarkan kepada Rasulullah saw untuk memberikan giliran harinya kepada Aisyah yang lebih muda dan lebih dicintai Rasulullah saw. Tapi Rasulullah saw mengatakan, “Tidak! Kamu harus mendapatkan apa yang menjadi hakmu.”

Semangat pertanggungjawaban selalu begitu: melahirkan cinta yang tulus dan agung, karena ia membuat pandangan mata hatimu mampu menembus batas kebenaran yang tampak sekilas kepada hakikat abadi yang ada di sana: di haribaan Allah di hari keabadian.

(Majalah Tarbawi edisi 150 Th. 8/Safar 1428 H/ 1 Maret 2007 M)

Keuletan Jiwa

Semangat penanggungan dan naluri keulungan adalah gelora moral dan jiwa sekaligus yang hanya mungkin metahirkan bunyi cinta yang nyaring kalau ia menggaung dalam ruang kepribadian yang ulet.

Ulet. Pribadi yang ulet. Itu semua tentang daya tahan untuk terus memberi dan kemampuan untuk terus bertumbuh.

Keuletan adalah ciri pribadi yang kuat dan kokoh. Kerja-kerja batin dalam suatu tindakan cinta seperti memperhatikan, menumbuhkan, merawat dan melindungi hanya mungkin dilakukan oleh jiwa-jiwa yang ulet: jiwa-jiwa yang selalu mampu menembus ketidakmungkinan, jiwa-jiwa yang selalu sanggup melawan kebosanan, jiwa-jiwa yang selalu bisa memecahkan kebekuan dan kemalasan, jiwa-jiwa yang selalu dapat mengalahkan kelelahannya sendiri.

Menjadi ulet adalah karakter utama yang diperlukan untuk menjadi pencinta sejati. Menumbuhkan dan merawat suatu hubungan jangka panjang, katakanlah sampai dua puluh lima atau lima puluh tahun, tentu saja membutuhkan daya tahan mental dan kemampuan untuk mempertahankan produktivitas hidup yang tinggi.

Lihatlah berapa lama waktu yang diperlukan para nabi untuk menyampaikan dakwahnya dengan hasil yang tidak dapat dipastikan? Lihatlah berapa lama waktu yang diperlukan para pemimpin bangsa untuk membangun bangsanya? Dalam kehidupan keluarga yang berlangsung hingga seperempat atau setengah abad, bagaimanakah kita mempertahankan kehangatan emosi melalui perhatian, penumbuhan, perawatan dan perlindungan terus menerus?

Keuletan adalah kesabaran pada maknanya yang progresif. Di sini bertahan tidak berarti berhenti. Di sini menanti tidak berarti melamun. Di sini mengalah tidak berarti mundur. Ulet adalah kata tentang geliat tanpa henti. Ulet adalah kata tentang pergerakan jiwa dalam dunia kebajikan yang tak selesai.

Jika ada latihan paling berat untuk menjadi pencinta sejati, maka inilah dia latihan itu: melatih jiwa menjadi ulet, meiatih jiwa untuk tetap dan terus bergerak di tengah semua kesulitan, melatih jiwa melawan kebosanan dan kemalasan serta kelelahan, melatih jiwa melawan kesedihan dan keputusasaan serta ketakutan, melatih jiwa untuk mempertahankan kegembiraan dan keriangan serta kesenangan dalam semua situasi, melatih jiwa untuk tetap produktif daiam semua rintangan, melatih jiwa untuk tetap optimis dan progresif menghadapi waktu.

Tidak mudah memang. Tapi jalan cinta selalu begitu; itu adalah cerita panjang tentang kebajikan yang tak dapat dikalahkan oleh waktu. Para pencinta sejati selalu mampu menembus dinding waktu itu ketika mereka menjeima menjadi pribadi-pribadi yang ulet, yang selalu bergeliat dan bergerak dalam kebajikan tanpa henti. Tidak mudah memang.

Tapi jalan cinta selalu begitu.

(Majalah Tarwabi edisi 153 Th.8/RabiulAwaL 1428 H/12 April 2007 M)

Mencintai Itu Keputusan

Lelaki tua menjelang 80-an itu menatap istrinya. Lekat-lekat. Nanar. Gadis itu masih terlalu belia. Baru saja mekar.

Ini bukan persekutuan yang mudah. Tapi ia sudah memutuskan untuk mencintainya. Sebentar. kemudian ia pun berkata, “Kamu kaget melihat semua ubanku? Percayalah! Hanya kebaikan yang kamu temui di sini”.

Itulah kalimat pertama Utsman bin Affan ketika menyambut istri terakhirnya dari Syam, Naila. Selanjutnya adalah bukti. Sebab cinta adalah kata lain dari memberi. Sebab memberi adalah pekerjaan…Sebab pekerjaan cinta dalam siklus memperhatikan, menumbuhkan, merawat dan melindungi itu berat. Sebab pekerjaan berat itu harus ditunaikan dalam waktu lama. Sebab pekerjaan berat dalam waktu lama begitu hanya mungkin dilakukan oleh mereka yang memiliki kepribadian kuat dan tangguh.

Maka setiap orang hendaklah berhati-hati saat ia mengatakan, “Aku mencintaimu”. Kepada siapapun! Sebab itu adalah keputusan besar. Ada taruhan kepribadian di situ.

Aku mencintaimu, adalah ungkapan lain dari aku ingin memberimu sesuatu. Yang terakhir ini juga adalah ungkapan lain dari, “Aku akan memperhatikan dirimu dan semua situasimu untuk mengetahui apa yang kamu butuhkan untuk tumbuh menjadi lebih baik dan bahagia…” “Aku akan bekerja keras untuk memfasilitasi dirimu agar bisa tumbuh semaksimal mungkin…” “Aku akan merawat dengan segenap kasih sayangku proses pertumbuhan dirimu melalui kebajikan harian yang akan kulakukan padamu…” “Aku juga akan melindungi dirimu dari segala sesuatu yang dapat merusak dirimu…”
Dan proses pertumbuhan itu taruhannya adalah kepercayaan orang yang kita cintai terhadap integritas kepribadian kita.

Sekali kamu mengatakan kepada seseorang, “Aku mencintaimu”, kamu harus membuktikan ucapan itu. Itu deklarasi jiwa bukan saja tentang rasa suka dan ketertarikan, tapi terutama tentang kesiapan dan kemampuan memberi, kesiapan dan kemampuan berkorban, kesiapan dan kemampuan pekerjaan-pekerjaan cinta: memperhatikan, menumbuhkan, merawat dan melindungi.

Ini yang menjelaskan mengapa cinta yang terasa begitu panas membara di awal hubungan lantas jadi redup dan padam pada tahun kedua, ketiga, keempat dan seterusnya. Dan tiba-tiba saja perkawinan bubar, persahabatan berakhir, keluarga berantakan, atau pemimpin jatuh karena tidak rakyatnya Jalan hidup kita biasanya tidak linear. Tidak juga seterusnya pendakian atau penurunan. Karena itu, konteks di mana pekerjaan-pekerjaan cinta dilakukan tidak selalu kondusif secara emosional.

Tapi disitulah tantangannya: membuktikan ketulusan di tengah situasi-situasi yang sulit. Di situ konsistensi teruji. Di situ juga integritas terbukti. Sebab mereka yang bisa mengejawantahkan cinta di tengah situasi yang sulit, jauh lebih bisa membuktikannya dalam waktu yang longgar.

Mereka yang dicintai dengan cara begitu, biasanya mengatakan bahwa hati dan jiwanya penuh seluruh. Bahagia sebahagia-bahagianya. Puas sepuas-puasnya. Sampai tak ada tempat bagi yang lain. Bahkan setelah sang pencinta mati.

Begitulah Naila. Utsman telah memenuhi seluruh jiwanya dengan cinta. Maka ia memutuskan untuk tidak menikah lagi setelah suaminya terbunuh. Ia bahkan merusak wajahnya untuk menolak semua pelamarnya. Tak ada yang dapat mencintai sehebat lelaki tua itu

Cinta Misi

Sang Khalifah termenung gundah. Sedih. Tampaknya belum ada tanda-tanda kalau kelaparan yang melanda kota Madinah akan segera berakhir. Puluhan orang meninggal sudah. Di tingkat teknis operasional rasanya semuanya sudah ia lakukan. Tapi masih adakah upaya lain yang mungkin ia lakukan?

Tidak jelas betul hubungannya. Tapi sang Khalifah kemudian merasa kalau ia membutuhkan tekad lebih besar. Cinta pada rakyat harus diekspresikan lebih nyata. Perasaan itulah yang mengantarnya kepada keputusan kecilnya: selama kelaparan ini masih berlangsung, Ummar bin Khattab tidak akan membiarkan seorang pun dari anggota keluarganya untuk makan daging, dan tidak boleh menggauli satu dari ketiga istrinya.

TIdak ada korelasi teknis. Tapi sebagai pemimpin, Umar telah menyatakan tanggung jawab dan kepedulian kepada rakyatnya. Karena ia terlibat. Sangat terlibat.

Itu sebagian penampakan dari cinta misi. Ini buah keluhuran jiwa dan keyakinan yang kuat terhadap sebuah misi. Cinta pada sebuah misi mendorong kita mencintai semua orang dan pekerjaan yang ada di sepanjang jalan menuju misi itu. Semua orang. Semua pekerjaan. Di sini cinta bekerja seperti mesin kendaraan. Tidak penting betul siapa penumpangnya, dan jalan mana yang harus dilalui.

Keluhuran misi menguasai jiwa sang pecinta dan membuat perasaan pada orang yang kita cintai jadi beda. Kita tidak sedang mencintai sebuah “bentuk” di sini.

Yang kita cintai adalah “gerak” yang lahir dari bentuk itu: gerak dari “manusia” sebagai sebuah “entity” di alam raya. Karena itu beda warna adalah variasi yang indah. Beda karakter juga kekayaan hidup. Semua niscaya. Karena kita memerlukannya untuk melukis misi di atas kanvas kehidupan kita.

Hubungan yang terbentuk dari cinta ini adalah penyatuan pada orbit pikiran. Perasaan kita bergerak mengitari orbit itu. Perasaan adalah fungsi pikiran. Ia lahir, bergerak dan meliuk seperti seorang penari mengikuti alur lagu.

Orang yang kita cintai tidak harus memiliki perasaan yang sama. Para pecinta hanya berpikir bagaimana mencintai. Mereka tidak terganggu jika kemudian mereka tidak dicintai. Sebab mereka tidak mencintai “orangnya”. Mereka mencintai “entity”-nya. Sebab entity merupakan fungsi pencapaian misi.

Cinta inilah yang ada dan harus ada, misalnya di kalangan pada duat (dai), ulama, mujahidin, guru, pekerja sosial, pemimpin politik, seniman, wartawan dan lainnya. Karena cinta ini tertuju pada gerak, bukan bentuk, maka semua pekerjaan yang terkait dengan pencapaian misi juga jadi niscaya.

Misalnya, Khalid bin Walid. Ia mencintai “jihad”. Ia bukan menikmati “saat-saat membunuh orang”. Ia mencintai “pekerjaannya”. Karena itu,niscaya untuk mencapai misi dakwah. Maka ia menikmati kesulitan-kesulitan di jalan itu. Lebih dari apapun juga. “Berada pada suatu malam yang dingin membeku dalam sebuah pertempuran lebih aku sukai daripada tidur bersama seorang gadis di malam pengantin,” katanya.

Cinta dan Keterasingan

Cinta! Kata ini kedengaran begitu melankolis, sentimentil, puitis sekaligus dramatis. Ketiganya sering menjadi adonan runyam serta renyah sehingga kehadirannya tidak bisa dijelaskan oleh bahasa apa pun. Maka, ungkapan bahwa cinta itu misteri, merupakan ungkapan klise dari ketidakmampuan kita untuk menerangkan secara alamiah.

Apapun kita menamainya, yang jelas setiap orang pasti mengalami cinta. Bahkan, sejarah manusia sesungguhnya cinta itu sendiri; mulai dari manusia masih dalam proses pembuaian, kelahiran kemudian menjadi dewasa, semuanya karena cinta. Singkatnya cinta ada di mana-mana dan kapan saja. Ia menembus ruang dan waktu serta menghancurkan segala bentuk penghalang.

Karenanya, cinta tidak bisa diciptakan atau dibunuh. Ia hadir mengalir terus tanpa harus direncanakan kehadirannya. Jadi biarkan cinta ada, berkembang, tumbuh tanpa harus di schedule. Biarkan cinta berjalan alami dengan apa adanya. Begitu alaminya, sebenarnya cinta itu amat sederhana. Ia tidak serumit orang orang modern yang selalu tersekat oleh rencana-rencana, keuntungan dan kerugian. Meski sederhana, sebenarnya cinta sangat dalam dan berpengaruh luar biasa dalam setiap detik kehidupan.

Namun, seringkali kita merasakan bahwa cinta dan benci selalu mengalir selalu bersamaan. Begitu melekatnya, kadang kita tidak bisa merasakan apakah ini benci atau cinta. Perbedaannya sangat tipis. Setipis kulit bawang. Kita tidak dapat mengklasifikasikan di mana kebencian dan dalam ruang mana cinta itu berada. Keduanya selalu bergumul sempurna. Di dalam diri kita!

Cinta dan Kimia Jiwa

Lelaki parlente itu tidak hanya dikenal sangat tampan yang ketampanannya bahkan mengalahkan kecantikan wanita paling cantik. Ia juga lelaki paling berkuasa dan paling disegani di muka bumi ketika itu. Lelaki itu adalah khalifah pertama sekaligus pendiri khilafah Bani Umayyah.

Di ibu kota khilafahnya, Damaskus, ia membangun sebuah istana megah. Ia punya selera. Semua yang dimiliki adalah mimpi-mimpi wanita. Namun itu lantas menjadi ironi: kali ini cinta tersedak. Ia tergila-gila pada seorang gadis badui yang cantik dan innocent. Ia menikahinya. Lalu memboyongnya tinggal di istananya. Tapi ia gagal menerbitkan bahwa sebersitpun cinta dalam hati sang istri.

Ketampanan, kemewahan dan kekuasaan Muawiyah tidak cukup memadai membangkitkan cinta dalam jiwanya. Setiap langkah kakinya menderap di sudut-sudut istana ingatannya malah kembali ke dusunnya. Sebab di sana ada seorang pemuda badui yang terus merindukannya.

Pada suatu malam yang sunyi, ketika purnama menghias langit malam, kesabarannya berakhir. Rindunya meledak dalam bait-bait syair yang ia senandungkan. Sayup-sayup sang Muawiyah mendengarnya. Ia terhenyak. Ia tahu bait-bait itu adalah deklarasi: aku tidak mencintaimu, aku tidak bisa mencintaimu, aku ingin pulang, aku ingin menikah dengan kekasihku!

Muawiyah tersadar. Kekuasaan memungkinkan dia menikahi gadis badui itu dengan mudah. Tapi kekuasaan tidak membantunya merebut cintanya. Gadis innocent itu adalah perempuan merdeka. Ia memilih untuk meninggalkan istana Muawiyah yang megah hanya untuk hidup bersama seorang pemuda dusun yang teramat sederhana. Dengan berat hati akhirnya Muawiyah menceraikan sang istri, seorang gadis lugu yang telah membuatnya tergila-gila.

Cinta secara umum adalah emosi kebajikan yang meledakkan semangat memberi dalam jiwa kita. Itu sebabnya kita selalu menjadi lebih baik ketika kita sedang jatuh cinta. Tapi ketika cinta dihadapkan pada objeknya, khususnya cinta antara laki-laki dan wanita, emosi kebajikan itu tetaplah emosi kebajikan, tapi dengan chemistry yang sangat unik.

Dua emosi kebajikan belum tentu bisa bertaut secara kimiawi dengan mudah. Jauh sebelum cinta menjelma menjadi pertemuan dua fisik, ia terlebih dahulu bertaut di alam jiwa. Jika ada pertemuan fisik yang tidak didahului oleh pertemuan jiwa itu bukanlah cinta. Maka sepasang laki-laki dan wanita bisa melakukan hubungan seks tanpa cinta.

Sebagai manusia jiwa kita memiliki tabiat kimiawi yang sangat unik. Dan bisa ditebak. Seorang perempuan lembut bisa jadi mencintai seorang laki-laki kasar, karena kelembutan dan kekasaran adalah dua kutub jiwa yang bisa bertemu seperti air dan api: saling tergantung dan saling menggenapkan.

Tapi keunikan jiwa itu sama sekali tidak mengurangi kadar kebenaran dan fakta bahwa cinta sebagai emosi kebajikan tetaplah harus mengejawantah pada semangat memberi, dan bahwa nilai kita di mata orang yang kita cintai tetaplah terletak pada kadar manfaat yang kita berikan padanya. Dan jika pada suatu hubungan cinta tidak memberi sesuatu pada orang yang kita cintai, sementara hubungan itu tetap berlanjut, bahkan langgeng, percayalah, itu semata-mata karena kesabaran sang kekasih menyaksikan pencintanya mengkonsumsi kebajikannya setiap saat, atas nama cinta.

Yang satu memberi atas nama cinta, yang lainnya menerima atas nama cinta. Ironis memang. Tapi faktanya ada. Bahkan mungkin banyak beredar di sekitar kita.

Cinta Dari Darah dan Ruh

Lelaki itu sudah mengabdi pada ibunya sampai tuntas. Ia menggendong ibunya yang lumpuh. Memandikan dan mensucikannya dari semua hadats-nya. Ikhlas penuh ia melakukannya. Itu balas budi dari seorang anak yang menyadari bahwa perintah berbuat baik pada orang tua diturunkan Allah persis setelah perintah tauhid.

Tapi entah karena dorongan apa ia kemudian bertanya pada Umar Bin Khattab: “Apakah pengabdianku sudah cukup untuk membalas budi ibuku?”. Lalu Umar pun menjawab: “Tidak! Tidak cukup! Karena kamu melakukannya sembari menunggu kematiannya, sementara ibumu merawatimu sembari mengharap kehidupanmu”.

Tidak! Tidak! Tidak!

Tidak ada budi yang membalas budi seorang ibu. Apalagi mengimbanginya. Sebab cinta ibu mengalir dari darah dan ruh. Anak adalah buah cinta dua hati. Tapi ia tidak dititip dalam dua rahim. Ia dititip dalam rahim sang ibu selama sembilan bulan: di sana sang hidup bergeliat dalam sunyi sembari menyedot saripati kehidupa sang ibu. Lalu ia keluar diantar darah: inilah ruh baru yang dititip dari ruh yang lain.

Itu sebabnya cinta ibu merupakan cinta misi. Tapi dengan ciri lain yang membedakan dari jenis cinta misi yang lainnya, darah! Ya, darah! Anak adalah metamorfosis dari darah dan daging sang ibu, yang lahir dari sebuah kesepakatan. Cinta ini adalah campuran darah dan ruh. Ketika seorang ibu menatap anaknya yang sedang tertidur lelap, ia akan berkata di akar hatinya: itu darahnya, itu ruhnya! Tapi ketika ia memandang anaknya sedang merangkak dan belajar berjalan, ia akan berkata di dasar jiwanya: itu hidupnya, itu harapannya, itu masa depannya! Itu silsilah yang menyambung kehadirannya sebagai peserta alam raya.

Itu kelezatan jiwa yang tercipta dari hubungan darah. Tapi di atas kelezatan jiwa itu ada kelezatan ruhani. Itu karena kesadarannya bahwa anak adalah amanat langit yang harus dipertanggungjwabkan di akhirat. Kalau anak merupakan isyarat kehadirannya dimuka bumi, maka ia juga penentu masa depannya di akhirat. Dari itu ia menemukan semangat penumbuhan tanpa batas: anak memberinya kebanggaan eksistensial, ia juga sebuah pertanggungjawaban dan sepucuk harapan tentang tempat yang lebih terhormat di surga berkat doa-doa sang anak.

Dalam semua perasaan itu sang ibu tidak sendiri. Sang ayah juga berserikat bersamanya. Sebab anak itu kesepakatan jiwa mereka. Mungkin karena kesadaran tentang sisi dalam orang tua itu, DR. Mustafa Sibai menulis persembahan kecil di halaman depan buku monementalnya “Kedudukan Sunnah Dalam Syariat Islam”. Buku ini, kata Sibai, kupersembahkan kepada ruh ayahandaku yang senantiasa melantunkan doa-doanya: “Ya Allah, jadikan anakku ini sebagai sumber kebaikanku di akhirat kelak”.

Doa sang ibu dan sang ayah selamanya merupakan potongan-potongan jiwanya. Karena itu ia selamanya terkabul.

Cinta Terkembang Jadi Kata

Selalu begitu. Cinta selalu membutuhkan kata. Tidak seperti perasaan-perasaan lain, cinta lebih membutuhkan kata lebih dari apapun. Maka ketika cinta terkembang dalam jiwa tiba-tiba kita merasakan sebuah dorongan yang tak terbendung untuk menyatakannya. Sorot mata takkan sanggup menyatakan semuanya.

Tidak mungkin memang. Dua bola mata kita terlalu kecil untuk mewakili semua makna yang membuncah di laut jiwa saat badai cinta datang. Mata hanya sanggup menyampaikan sinyal pesan bahwa ada badai di laut jiwa. Hanya itu. Sebab cinta adalah gelombang makna-makna yang menggores langit hati, maka jadilah pelangi; goresannya kuat, warnanya terang, paduannya rumit, tapi semuanya nyata. Indah.

Itu sebabnya ada surat cinta. Ada cerita cinta. Ada puisi cinta. Ada lagu cinta semuanya adalah kata. Walaupun tidak semua kata mampu mewakili gelombang makna-makna cinta, tapi badai itu harus diberi kanal; biar dia mengalir sampai jauh. Cinta itu membuat makna-makna itu jadi jauh lebih nyata dalam rekaman jiwa kita. Bukan hanya itu.

Cinta bahkan menyadarkan kita; langit, laut, gunung, padang rumput, tepi pantai, gelombang, purnama, matahari, senja, gelap malam, cerah pagi, taman bunga, burung-burung. Tiba-tiba semua itu punya arti. Tiba-tiba semua wujud itu masuk ke dalam kesadaran kita. Tiba-tiba semua wujud itu menjadi bagian dari kehidupan kita. Tiba-tiba semua wujud menjadi kata yang setia menjelaskan perasaan-perasaan kita. Tiba-tiba semua wujud itu berubah menjadi metafora-metafora yang memvisualkan makna-makna cinta.

Itu sebabnya para pecinta selalu berubah menjadi sastrawan atau penyair atau penyanyi. Atau setidak-tidaknya menyukai karya-karya para sastrawan, menyukai puisi, atau mau belajar melantunkan lagu. Bukan karena ia percaya bahwa ia akan benar-benar menjadi sastrawan atau penyair atau penyanyi yang berbakat. Tapi semata-mata ia tidak kuat menahan menahan gelombang makna-makna cinta.

Cinta membuat jiwa kita jadi halus dan lembut. Maka semua yang lahir dari kehalusan dan kelembutan itu adalah juga makna-makna yang halus dan lembut. Hanya katalah yang dapat mengurainya, menjamahnya perlahan-lahan sampai ia tampak terang dalam imaji kita.

Puisi “Aku Ingin”nya Sapardi Djoko Damono mungkin bisa jadi sebuah contoh bagaimana kata mengurai dan menjamah makna-makna itu. Apakah Sapardi sedang jatuh cinta itu atau sedang memaknai kembali cintanya? Saya tidak tahu! Tapi begini katanya:

Aku ingin mencintaimu
dengan cara yang sederhana
kayu kepada api yang menjadikannya abu

Aku ingin mencintaimu
dengan cara yang sederhana
awan kepada hujan yang menjadikannya tiada

Indahnya Cinta Jiwa

Tidak ada yang lebih indah dalam sejarah perasaan manusia seperti saat-saat ketika ia sedang jatuh cinta. Bukan karena dunia disekeliling kita berubah pada kenyataannya. Tapi saat-saat jatuh cintalah yang seketika mengubah persepsi kita tentang dunia disekeliling kita. Tidak selalu karena wanita yang kita cintai itu memang cantik pada kenyataannya. Tapi cinta kita padanya yang membuat cantik di mata kita.

Saat jatuh cinta adalah saat di mana persepsi kita mengalamai shifting pada semua realitas yang ada di sekeliling kita. Kadang kita mungkin mengelabuhi diri sendiri. Tapi itu puncak subjektifitas yang justru mengubah kita menjadi lebih positif dalam kita memandang segala sesuatu.

Seperti indahnya subjektifitas pada dunia anak-anak. Bagi mereka realitas yang sesungguhnya adalah realitas yang mereka persepsikan. Bukan realitas yang ada di luar sana seperti yang dilihat oleh orang dewasa. Bangku bisa dipersepsi sebagai rumah. Tongkat bia dipersepsi sebagai senjata. Dunia menjadi sangat ringan dan fleksibel di mata mereka. Karena itu dunia anak selalu indah, selalu penuh kenangan.

Begitu juga saat kita jatuh cinta. Shifting pada persepsi kita membuat dunia kita serasa jadi realitas lain yang begitu indah. Dan itu membawa kenyamanan pada rongga dada kita. Karena perasaan kita seketika berbunga-bunga. Karena, kata Ibnu Hazem, ruh kita seketika jadi ringan dan lembut, badan kita seketika wangi, senyum kita seketika mengembang lebar, benci dan dendam dan angkara murka seketika lenyap dari ruang hati kita, dan tiba-tiba saja yang bukan penyair jadi penyair, yang tidak bisa bernyanyi menjadi penyayi.

Suatu saat, seorang raja bingung menyaksikan putera mahkotanya begitu pemalas, apatis, tidak bergairah, tidak berminat pada ilmu pengetahuan, tidak bisa pidato. Ia gundah, karena putera mahkotanya sama sekali tidak layak jadi raja. Maka sang raja memerintahkan seorang dayang cantik istana untuk menggoda sang putera mahkota.

Bilang padanya, pesan sang raja pada dayang cantik itu, aku sangat mencintaimu dan bersedia jadi permaisurinya. Nanti kalau hatinya sudah berbunga-bunga, bilang lagi padanya-lanjut sang raja-tapi ada syaratnya, kamu harus bersemangat, lebih rajin dan mau menyiapkan diri jadi raja, dan aku percaya kamu bisa.

Firasat sang raja ternyata benar. Putera mahkota seketika berubah: ia mengubah penampilannya jadi keren dan wangi, ia mempelajari berbagai macam ilmu, ia juga tampil berpidato, ia juga menulis. Saat jatuh cinta telah mengubah persepsinya tentang dirinya dan dunianya, seketika membangkitkan semangat hidupnya, dan meledakkan semua potensinya.

Shifting pada persepsi mengembalikan sisi kekanakan kita saat kita jatuh cinta. Itu keindahan yang mempertemukan kita dengan sisi kemanusiaan kita; subjektif, melankolis, kekanakan, tapi positif. Dan indah.

Akhir Sejarah Cinta Kita

Suatu saat dalam sejarah cinta kita
Kita tidur saling memunggungi
Tapi jiwa berpeluk-peluk
Senyum mendekap senyum

Suatu saat dalam sejarah cinta kita
Raga tak lagi saling membutuhkan
Hanya jiwa kita sudah lekat menyatu
Rindu mengelus rindu

Suatu saat dalam sejarah cinta kita
Kita hanya mengisi waktu dengan cerita
Mengenang dan hanya itu
Yang kita punya

Suatu saat dalam sejarah cinta kita
Kita mengenang masa depan kebersamaan
Ke mana cinta kan berakhir
Di saat tak ada akhir.

Kasihanilah Para Pecinta

Sepasang aktivis itu datang menemui saya dengan mata berbinar. Binar cinta yang bersemi di mushalla kampus dan bangku kuliah dan di arak-arakan jalanan demonstrasi untuk reformasi. Di tengah badai politik itu cinta bersemi.

Tapi cinta gadis keturunan Arab dengan pemuda jawa itu kandas. Kasih mereka tak sampai ke pelaminan. Restu orang tua sang gadis tak berkenan meneruskan riwayat asmara putih mereka.

Tragis. Tragis sekali. Karena di hati siapa pun cinta yang suci dan tulus seperti itu singgah, kita seharusnya mengasihi pemilik hati itu. Sebab itu perasaan yang luhur. Sebab perasaan yang luhur begitu adalah gejolak kemanusiaan yang direstui di sisi Allah. Sebab karena direstui itulah Rasulullah SAW lantas bersabda, “tidak ada yang lebih baik bagi mereka yang sudah saling jatuh cinta kecuali pernikahan”.

Islam memang begitu. Sebab ia agama kemanusiaan. Sebab itu pula nilai-nilainya selalu ramah dan apresiatif terhadap gejolak jiwa manusia. Dan sebab cinta adalah perasaan kemanusiaan yang luhur, mengertilah kita mengapa ia mendapat ruang sangat luas dalam tata nilai Islam.

Itu karena Islam memahami dahsyatnya goncangan jiwa yang dirasakan orang-orang yang sedang jatuh cinta. Tak ada tidur. Tak ada lelah. Tak ada takut. Tak ada jarak. Tak ada aral. Yang ada hanya hasrat, hanya tekad, hanya rindu, hanya puisi keindahan. Puisi adalah busur yang mengirimkan panah-panah asrmara ke jantung hati sang kekasih. Rembulan adalah utusan hati yang membawa pesan kerinduan yang pernah lelah melawan waktu.

Dua jiwa yang sudah terpaut cinta akan tampak akan menyatu bagaikan api dengan panasnya, salju dengan dinginnya, laut dengan pantainya, rembulan dengan cahaya. Mungkin berlebihan atau mungkin memang begitu, tapi siapapun yang melantunkan bait ini agaknya ia memang mewakili perasaan banyak arjuna yang sedang jatuh cinta: “separuh nafasku terbang / bersama dirimu”.

Bisakah kita membayangkan betapa sakitnya sepasang jiwa yang dipautkan cinta lantas dipisah tradisi atau apa saja? Tragedi Zaenuddin dan hayati dalam Tenggelamnya Kapal Vanderwick, atau Qais dan Laila dalam Majnun Laila, terlalu miris. Sakit. Terlalu sakit.

Karena di alam jiwa seharusnya itu mustahil. Tragedi cinta selamanya merupakan tragedi kemanusiaan. Sebab itu memisahkan pasangan suami-istri yang saling mencintai adalah misi terbesar syetan. Sebab itu menjodohkan sepasang kekasih yang saling mencintai adalah tradisi kenabian.

Suatu saat, Khalifah Al Mahdi singgah beristirahat dalam perjalanan haji ke Mekkah. Tiba-tiba seorang pemuda berteriak, “Aku sedang jatuh cinta.”

Maka Al Mahdi pun memanggilnya, “Apa masalahmu?”

“Aku mencintai puteri pamanku dan ingin menikahinya. Tapi ia menolak karena ibuku bukan Arab. Sebab itu aib dalam tradisi kami.”

Al Mahdi pun memanggil pamannya dan berkata padanya, “Kamu lihat putera-puteri Bani Abbasiyah? Ibu-ibu mereka juga banyak yang bukan Arab. Lantas apa salah mereka? Sekarang nikahkanlah lelaki ini dengan puterimu dan terimalah 20 ribu dirham ini; 10 ribu untuk aib dan 10 ribu untuk mahar.”

Pelajaran Cinta

Memang tidak mudah. Sebab tidak karena kamu mencintai lalu hendak memberi, atau kamu menebar pesona kematanganmu melalui itu, maka cintamu berbalas. Fakta ini mungkin pahit. Tapi begitulah adanya: kadang-kadang kamu harus belajar menepuk angin, bukan tangan lain yang melahirkan suara cinta.

Sebabnya sederhana saja. Cinta itu banyak macamnya. Ada cinta misi: cinta yang memang kita rencanakan sejak awal. Cinta ini lahir dari misi suci, didorong oleh emosi kebajikan dan didukung dengan kemampuan memberi. Misalnya cinta para nabi kepada umatnya, atau guru kepada muridnya, atau pemimpin kepada rakyatnya, atau ibu kepada anaknya. Jiwamu dan jiwa orang yang kamu cintai tidak mesti bersatu. Cinta ini sering tidak berbalas. Bahkan sering berkembang menjadi permusuhan. Lihatlah bagaimana nabi-nabi itu dimusuhi umatnya, atau para ibu ditelantarkan anak-anaknya di usia tua, atau pemimpin yang baik dibunuh rakyatnya, atau guru yang dilupakan murid-muridnya.

Inilah cinta yang paling luhur. Paling suci. Sebagian besar kebaikan yang kita saksikan dalam kehidupan kita, bahkan dalam sejarah umat manusia, sebenarnya merupakan buah dari cinta yang ini. Ambillah contoh 1,3 milyar umat Islam saat ini adalah hasil perjuangan berdarah-darah sang nabi beserta sahabat-sahabatnya. Itu cinta misi.

Tapi ada jenis cinta yang lain. Cinta jiwa. Cinta ini lahir dari kesamaan atau kegenapan watak jiwa. Jiwa yang sama atau berbeda tapi saling menggenapi biasanya akan saling mencintai. Cinta ini yang lazim ada dalam hubungan persahabatan dan perkawinan atau keluarga. Cinta ini mengharuskan adanya respon yang sama: cinta tidak boleh bertepuk sebelah tangan di sini.

Inilah cinta yang paling rumit. Serumit kimia jiwa manusia. Suatu saat misalnya Umar bin Khattab hendak melamar Ummu Kaltsum binti Abu Bakar, adik Aisyah ra. Gadis itu sangat belia dan tumbuh di antara jiwa-jiwa yang lembut nan penyayang. Aisyah ra jadi gusar. Wataknya tidak bertemu dengan watak Umar. Tapi siapa berani menolak lamaran manusia paling sholeh di muka bumi ketika itu? Namun dengan diplomasi yang sangat halus, melalui kepiawaian Amr bin Ash, Aisyah ra menolak lamaran itu sembari menyarankan sang Khalifah menikahi Ummu Kaltsum binti Ali bin Abi Thalib, adik Hasan dan Husein. Kali ini lamarannya diterima: Ali dan Umar memiliki watak yang sama. “Tidak ada alasan menolak lamaran manusia terbaik di muka bumi,” kata Ali ra.

Ada cinta ketiga. Cinta maslahat. Cinta ini dipertemukan oleh kesamaan kepentingan. Mereka bisa berbeda watak atau misi. Tapi kepentingan mereka sama maka mereka saling mencintai. Misalnya hubungan baik yang lazim berkembang di dunia bisnis. Suara ramah dari penjawab telepon, atau senyum manis seorang pramugari, atau layanan sempurna seorang resepsionis hotel: semua berkembang dari kepentingan tapi efektif menciptakan kenyamanan jiwa (comfortability). Anda adalah bagian dari pekerjaannya. Bukan jiwanya. Anda adalah kepentingannya. Bukan misinya.

Layakkah Kita Dicintai ?

Layak dicintai adalah lambang keberartian. Sebab cinta tidak dipersembahkan untuk padang jiwa yang hampa. Tidak juga untuk karya-karya tidak bermakna. Hanya bila kita berguna, maka kita layak dicintai.

Kelayakan dicintai adalah definisi sebuah kapasitas diri. Kapasitas yang diukur sejauh mana kita memiliki harga. Dalam wujud amal nyata dan peran-peran yang berbukti. Bukan status, apalagi sekedar hiasan performa dan gincu-gincu kepalsuan.

Kelayakan dicintai, berpulang pada banyak sebab. Ada dedikasi di sana. Sebab, kelayakan itu tak datang percuma. Tanpa harga dan tanpa biaya. Tidak. Kelayakan itu adalah buah persembahan yang berpeluh dan berjibaku.

Kita memang harus selalu bertanya tentang kelayakan untuk dicintai. Sebab cinta bukan menuntut tapi mematut diri. Jika kita patut, maka orang-orang dengan sendirinya akan mencintai kita dengan tulus. Tapi jika kita sudah mematut, tidak jua orang datang. Kita tak perlu gusar! Yang penting adalah terus mencintai. Karena cinta, sejujurnya adalah ketulusan untuk selalu memberi!

Seperti sunnatullah pada segala hal, cinta punya tabiat keseimbangannya. Antara mencintai dan kelayakan dicintai. Keduanya adalah capaian dan derajat hidup yang tak datang dengan cuma-cuma. Ada kerja dan persembahan besar dibaliknya. Orang-orang besar mengerti benar, betapa mencintai dan dicintai adalah karya-karya jiwa yang melelahkan!

Membangun Kemampuan Mencintai

Pada mulanya cinta adalah gagasan tentang bagaimana membahagiakan dan menumbuhkan orang lain. Selanjutnya adalah kemauan baik yang menjembatani gagasan itu menuju alam kenyataan. Sisanya adalah kemampuan. Cinta yang hanya berkembang di batas gagasan dan kemauan baik akan tampak seperti pohon rindang yang tidak berbuah.

Bagian cinta yang pertama dan kedua, gagasan dan kemauan baik, biasanya terbentuk dari serangkaian penghayatan akan nilai-nilai luhur kemanusiaan dan keagamaan tentang kehidupan dan hubungan antar manusia di dalamnya, hubungan manusia dengan Tuhan, dan hubungan manusia dengan alam. Sedalam apa itu penghayatan dalam diri seorang pencinta, sedalam itu pula sumber energi yang ada di dalam dirinya.

Tapi bagian ketiga dari cinta, kemampuan, memerlukan latihan dan proses pembelajaran. Kalau kita mau memberi, kita harus belajar dan berlatih bagaimana memiliki. Kalau kita mau memperhatikan orang yang kita cintai, kita harus belajar dan berlatih untuk tidak membutuhkan perhatian orang lain. Kalau kita mau menumbuhkan sang kekasih, kita harus belajar dan berlatih bagaimana bertumbuh sendiri terlebih dahulu. Begitu seterusnya: memberi, memperhatikan, menumbuhkan, merawat dan melindungi mengharuskan kita memiliki kemampuan pribadi untuk melakukan tindakan-tindakan produktif.

Membangun kemampuan mencintai berarti membangun kemampuan produktif dalam diri kita. Menjadi seorang pecinta sejati berarti menjadi seorang produktif yang selalu berorientasi bukan saja pada proses, tapi juga terutama hasil akhir. Produktivitas adalah indikator kematangan seorang pecinta. Seorang pecinta yang tidak produktif adalah pohon rindang yang tidak berbuah.

Ini sisi cinta yang paling rasional dan paling berat: belajar dan berlatih untuk menjadi produktif. Ini bukan pelajaran tentang bagaimana menguntai kata-kata cinta. Atau tentang teknik-teknik merawat cinta kasih. Ini pelajaran tentang bagaimana kita mengembangkan diri, mengubah semua potensi dalam diri kita menjadi kemampuan-kemampuan baru itu menjadi produktivitas.

Mencintai dengan semua siklusnya adalah kerja dari dalam ke luar. Seorang pencinta sejati adalah seseorang yang mampu keluar dari dirinya sendiri menuju orang lain. Tapi sejauh seseorang sebelum mampu keluar dari dirinya sendiri, ia harus masuk ke dalam dirinya sendiri. Sedalam mungkin. Karena dari kedalaman itulah, ia bisa keluar sejauh mungkin.

Pelajaran cinta adalah pelajaran tentang bagaimana kita masuk kedalam diri sendiri untuk kemudian keluar dengan cara yang lain. Ini latihan untuk menjadi lebih baik. Dan akhirnya, ini adalah pelajaran tentang bagaimana mengubab kehidupan kita menjadi taman yang lebih indah dipandang dan lebih nyaman dihuni. Karena di sana kita bertumbuh. Karena dalam pertumbuhan itu kita berbahagia.

Perseteruan Dua Cinta

“Wahai orang-orang beriman, sesungguhnya diantara istri-istri dan anak-anak kamu ada yang menjadi musuh bagimu.”

Bisakah Anda membayangkan bahwa suatu saat, istri dan anak-anak yang Anda cintai, justru menjadi musuh Anda? Mungkin. Mungkin sekali itu terjadi. Pada siapa saja. Karena cintanya pada istri dan anak-anaknya tidak “turun” dari cinta misi, dari cintanya pada Allah. Atau sebaliknya, jika cinta pada istri dan anak-anak tidak berhasil membawa mereka ke dalam lingkaran cinta misi.

Itulah tragedi dua orang nabi dan seorang perempuan shalihah. Dengan segenap cinta dan harapan jiwanya, Nabi Nuh masih terus berusaha mempertahankan istri dan anak-anaknya ketika tsunami itu datang. Tapi tidak! Cinta misinya tidak tersambung dengan nasabnya. Begitu juga Nabi Luth. Istrinya ada dalam daftar umatnya yang dibinasakan Allah. Dan perempuan shalihah itu bernama Aisyah, istri seorang thagut terbesar sepanjang sejarah, Fir’aun. Ketika cinta harus memilih, ia memilih Tuhannya. Ia memilih cinta misinya. Meskipun ia harus mengorbankan nyawanya sendiri.

Itu saat yang getir. Ketika kita harus memilih dua cinta yang bertarung dalam jiwa. Dan Allah mengabadikan cerita pertarungan dua cinta itu dalam jiwa Nuh, Luth dan Aisyah. Agar kita mengerti bahwa permisalan itu adalah takdir kehidupan bahwa siapapun mungkin mengalami itu: saat-saat di mana kita harus memutuskan pilihan dari dua cinta yang tidak dapat dipertemukan.

Tidak harus selalu begitu, memang. Sebab ada cerita cinta lain. Cerita tentang dua cinta yang bertemu. Seperti cinta Muhammad dan Khadijah, atau Yusuf dan Zulaikha, atau Adam dan Hawa. Cerita tentang Adam yang memakan buah khuldi yang terlarang adalah manifesti cinta jiwa yang tidak terangkai dalam cinta misi. Tapi mereka segera bertaubat dan meluruskan arah cinta. Tapi ketegaran Yusuf menghadapi godaan istri sang raja adalah yang mengantarkan hidayah ke dalam jiwa Zulaikha. Adapun Muhammad dan Khadijah: itu cinta yang sejak awal tumbuh dan berkembang dalam bingkai cinta misi.

Secara manusiawi perseteruan dua cinta ini lahir dari kecenderungan jiwa yang tidak terbingkai dengan nilai-nilai cinta misi. Itu cobaan hati yang paling banyak menimpa orang shalih. Ketika “bentuk” mengalahkan “makna”, ketika “rupa” mendahului “jiwa”, itu pertanda awal datangnya cobaan. Mereka yang memenangkan bentuk dan rupa, biasanya harus membayar harga kenikmatan duniawi dengan ongkos makna dan jiwa yang seringkali terlalu mahal. Itu sebabnya Rasullullah saw menganjurkan kita mendahulukan agama dalam memilih pasangan hidup.

Itu kalau harus memilih. Tapi masalah ini tentu selesai dengan sendirinya kalau bentuk berpadu dengan makna, rupa bertemu jiwa. Dan itu, kata Ibnu Qoyyim, adalah puncak karunia dan kenikmatan dunia akhirat: menikahi seorang perempuan shalilah, cerdas dan cantik sekaligus. Seperti Muhammad kepada Aisyah. Tidak mudah memang. Tapi tetap saja mungkin.

Mencintai Itu Keputusan

Lelaki tua menjelang 80-an itu menatap istrinya. Lekat-lekat. Nanar. Gadis itu masih terlalu belia. Baru saja mekar.

Ini bukan persekutuan yang mudah. Tapi ia sudah memutuskan untuk mencintainya. Sebentar. kemudian ia pun berkata, “Kamu kaget melihat semua ubanku? Percayalah! Hanya kebaikan yang kamu temui di sini”.

Itulah kalimat pertama Utsman bin Affan ketika menyambut istri terakhirnya dari Syam, Naila. Selanjutnya adalah bukti. Sebab cinta adalah kata lain dari memberi. Sebab memberi adalah pekerjaan…Sebab pekerjaan cinta dalam siklus memperhatikan, menumbuhkan, merawat dan melindungi itu berat. Sebab pekerjaan berat itu harus ditunaikan dalam waktu lama. Sebab pekerjaan berat dalam waktu lama begitu hanya mungkin dilakukan oleh mereka yang memiliki kepribadian kuat dan tangguh.

Maka setiap orang hendaklah berhati-hati saat ia mengatakan, “Aku mencintaimu”. Kepada siapapun! Sebab itu adalah keputusan besar. Ada taruhan kepribadian di situ.

Aku mencintaimu, adalah ungkapan lain dari aku ingin memberimu sesuatu. Yang terakhir ini juga adalah ungkapan lain dari, “Aku akan memperhatikan dirimu dan semua situasimu untuk mengetahui apa yang kamu butuhkan untuk tumbuh menjadi lebih baik dan bahagia…” “Aku akan bekerja keras untuk memfasilitasi dirimu agar bisa tumbuh semaksimal mungkin…” “Aku akan merawat dengan segenap kasih sayangku proses pertumbuhan dirimu melalui kebajikan harian yang akan kulakukan padamu…” “Aku juga akan melindungi dirimu dari segala sesuatu yang dapat merusak dirimu…”
Dan proses pertumbuhan itu taruhannya adalah kepercayaan orang yang kita cintai terhadap integritas kepribadian kita.

Sekali kamu mengatakan kepada seseorang, “Aku mencintaimu”, kamu harus membuktikan ucapan itu. Itu deklarasi jiwa bukan saja tentang rasa suka dan ketertarikan, tapi terutama tentang kesiapan dan kemampuan memberi, kesiapan dan kemampuan berkorban, kesiapan dan kemampuan pekerjaan-pekerjaan cinta: memperhatikan, menumbuhkan, merawat dan melindungi.

Ini yang menjelaskan mengapa cinta yang terasa begitu panas membara di awal hubungan lantas jadi redup dan padam pada tahun kedua, ketiga, keempat dan seterusnya. Dan tiba-tiba saja perkawinan bubar, persahabatan berakhir, keluarga berantakan, atau pemimpin jatuh karena tidak rakyatnya Jalan hidup kita biasanya tidak linear. Tidak juga seterusnya pendakian atau penurunan. Karena itu, konteks di mana pekerjaan-pekerjaan cinta dilakukan tidak selalu kondusif secara emosional.

Tapi disitulah tantangannya: membuktikan ketulusan di tengah situasi-situasi yang sulit. Di situ konsistensi teruji. Di situ juga integritas terbukti. Sebab mereka yang bisa mengejawantahkan cinta di tengah situasi yang sulit, jauh lebih bisa membuktikannya dalam waktu yang longgar.

Mereka yang dicintai dengan cara begitu, biasanya mengatakan bahwa hati dan jiwanya penuh seluruh. Bahagia sebahagia-bahagianya. Puas sepuas-puasnya. Sampai tak ada tempat bagi yang lain. Bahkan setelah sang pencinta mati.

Begitulah Naila. Utsman telah memenuhi seluruh jiwanya dengan cinta. Maka ia memutuskan untuk tidak menikah lagi setelah suaminya terbunuh. Ia bahkan merusak wajahnya untuk menolak semua pelamarnya. Tak ada yang dapat mencintai sehebat lelaki tua itu.

Doa Cinta Sang Imam

     “Ya Allah Engkau tahu
     Hati-hati ini telah
     Berkumpul daiam cintaMu
     Bertemu dalam taatMu
     Menyatu menolong dakwahMu
     Berjanji perjuangkan syariatMu
     Maka eratkan ikatannya
     Dan abadikan cintanya”

Tidak ada penjelasan historis tentang suasana yang melatari Imam Syahid Hasan Al Banna saat menulis potongan doa itu. Ia menyebutnya Wirid Pengikat. Pengikat hati. Hati yang sedang dibangunkan untuk memikul beban kebangkitan umat. Beban mereka berat. Jumlah mereka sedikit. Musuh mereka banyak. Jadi mereka butuh landasan yang kokoh dan pengikat yang kuat. Landasannya adalah iman. Pengikatnya adalah cinta.

Cinta menjalin jiwa-jiwa mereka dalam kelembutan yang menyamankan: maka setiap mereka adalah permadani sutera yang empuk, setiap orang dengan segala tipenya bisa duduk santai di situ. Cinta mereka selalu mampu menampung semua bentuk perbedaan: ada kebebasan berpendapat tapi tidak ada sikap yang melukai, ada keterbukaan tapi objektivitas tetap di atas segalanya. Cinta melahirkan pertanggungjawaban: setiap mereka selalu bertanya tentang sejauh mana mereka mampu mempertanggungjawabkan sikap mereka di depan Allah?

Tapi cinta juga melahirkan kelembutan: maka perbedaan-perbedaan mereka terkelola dalam etika yang menyamankan jiwa. Karena setiap pembicaraan mereka selalu berujung amal. Beban dan perbedaan di antara mereka tidak akan mengubah situasi mereka. Seperti kata Iqbal, “sebagai sapu lidi yang dlikat cinta untuk membersihkan kehidupan.”

Tapi cinta juga memberi mereka energi. Para pemikul beban kebangkitan itu pastilah akan menempuh jalan perjuangan penuh liku dan pendakian. Pada setiap satu jarak waktu dan tempat beban mereka bertambah. Mereka pasti mengalami penuaan dini, seperti kata Rasulullah saw: “Surat Hud dan saudara-saudaranya telah mengubankan rambutku.”

Kalau bukan dengan energi yang dahsyat, siapakah yang sanggup mendaki gunung sembari memikul beban? Dan cintalah sumbernya.

Energi cinta memicu mereka untuk bergerak dan bertumbuh dalam tempo yang cepat. Tapi ikatan cinta mengatur irama mereka dalam keserasian yang indah. Itu sebabnya mereka kuat. Nyaman. Dan abadi. Jadi, biarkan Sang Imam menggumamkan kembali doa cintanya:

     “Maka eratkan ikatannya
     Dan abadikan cintanya.”

Penulis : Anis Matta
(Sumber: Majalah Tarwabi edisi 68 Th. 5/Jumadil Awwal 1425 H/8 juli 2004 M)
Perang Dan Cinta
John Lenon adalah sebuah trauma. Lahir di tengah puing perang dunia pertama, kedua, dan perang Vietnam, Legenda pop tahun 60-an itu tiba-tiba ikan bumi ini seperti sepenggal neraka. Maka  lahirlah Flower Generation dengan semangat anti perang dan fenomena hyppies. Bahkan ketika Tuhan disebut dalam perang, Bob Dylan justru mengatakan: “If God in our side, He will stop the next war.”

Sejarah perang moderen adalah mimpi buruk terpanjang umat manusia. Api. Debu. Darah. Air mata. Terlalu mengerikan. Perang moderen jadi tragedi kemanusiaan karena ia lahir dari dendam, keserakahan, megalomania dan kesunyian. Imperialisme Eropa ke timur adalah riwayat dendam dan keserakahan. Perang dunia pertama dan kedua adalah kisah keserakahan dan megalomania. Napoleon, Hitler, dan Mussolini adalah legenda megalomania dan kesunyian: perang adaiah cara mereka menyebar kemeranaan mereka. Sebab itu perang moderen adalah brutalisme, sadisme, kanibalisme: saat-saat panjang tanpa kasih, dari orang-orang yang menemukan kepuasan pada tetestetes darah dan air mata.

Tapi perang tidak hanya punya satu wajah. Perang punya wajah lain yang lebih agung, etis dan manusiawi. Perang adalah takdir manusia. Kamu suka atau tidak suka. Perang itu niscaya. Bedanya hanya pada dua hal: siapa musuhmu, dan dengan cara apa kamu melawannya.

Siapa musuhmu menentukan atas nama apa kamu berperang. Caramu melawan menggambarkan watak perang yang kamu lakoni. Di dasar batinmu yang terdalam sebenarnya kamu tahu atas nama siapa kamu berperang: kebenaran atau kebatilan. Angkara murka yang lahir dari kebatilan niscaya melahirkan dendam, keserakahan, megalomania, sadisme, brutalisme dan kanibalisme. Habis itu kesunyian yang panjang dan darah yang terus mengalir tanpa kasih.

Maka begitu Hitler menyadari kekalahannya, ia bunuh diri. Darahnya dan darah korban-korbannya sama saja: merah! Tapi Khalid bin Walid justru menangis karena mati di atas kasur, bukan di medan laga!

Tapi mengapa revolusi Chili jadi nyanyian Pablo Nerudo? Mengapa Khalid Bin Walid mengatakan: “Berjaga pada sebuah malam dingin di tengah deru peperangan, lebih aku suka daripada berada di sisi seorang gadis di malam pengantin?” Mengapa Abu Bakar mengatakan: “Carilah kematian agar kamu menemukan kehidupan?”

Jika kamu berperang di bawah bendera kebenaran, cinta mengendalikan motifmu dan caramu berperang. Tetap ada kekerasan. Darah. Tapi cinta membuatnya jadi agung. Etis. Manusiawi.

Perang—atau revolusi-adalah drama kemanusiaan. Di sana kita menyabung nyawa, karena ada yang kita cintai di sini: Tuhan, hidup, tanah air, bangsa, keluarga, diri sendiri. Perang bukan kebencian. Maka mereka yang tidak terlibat dalam perang tidak boleh dijadikan korban: anak-anak, orang tua, wanita, tumbuhan, hewan dan lingkungan hidup.

Jika kebutuhan biologismu tersumbat selama perang, kamu bisa jadi sadis. Atau bahkan kanibalis. Maka prajurit perang—dalam Islam—harus kembali ke keluarganya setiap empat bulan: biar jihad jadi lebih dekat kepada cinta, tidak berubah jadi benci. Perang semacam ini menciptakan kehidupan dari kematian. Hanya perang semacam ini yang dapat menghentikan perang dengan perang.

Penulis : Anis Matta
(Sumber: Majalah Tarwabi edisi 84 Th. 5/Rabi’ul Awwal 1425 H/13 Mei 2004 M)
Cinta Tanpa Defenisi

Seperti angin membadai. Kau tak melihatnya. Kau merasakannya. Merasakan kerjanya saat ia memindahkan gunung pasir di tengah gurun. Atau merangsang amuk gelombang di laut lepas. Atau meluluhlantakkan bangungan-bangungan angkuh di pusat kota metropolitan.

Begitulah cinta. Ia ditakdirkan jadi kata tanpa benda. Tak terlihat. Hanya terasa. Tapi dahsyat.

Seperti banjir menderas. Kau tak kuasa mencegahnya. Kau hanya bisa ternganga ketika ia meluapi sungai-sungai, menjamah seluruh permukaan bumi, menyeret semua benda angkuh yang bertahan di hadapannya. Dalam sekejap ia menguasai bumi dan merengkuhnya dalam kelembutannya. Setelah itu ia kembali tenang: seperti seekor harimau kenyang yang terlelap tenang.

Demikianlah cinta. la ditakdirkan jadi makna paling santun yang menyimpan kekuasaan besar.

Seperti api menyala-nyala. Kau tak kuat melawannya. Kau hanya bisa menari di sekitarnya saat ia mengunggun. Atau berteduh saat matahari membakar kulit bumi. Atau meraung saat lidahnya melahap rumah-rumah, kota-kota, hutan-hutan. Dan seketika semua jadi abu. Semua jadi tiada.

Seperti itulah cinta. Ia ditakdirkan jadi kekuatan angkara murka yang mengawal dan melindungi kebaikan.

Cinta adalah kata tanpa benda, nama untuk beragam perasaan, muara bagi ribuan makna, wakil dari sebuah kekuatan tak terkira. la jelas, sejelas matahari. Mungkin sebab itu Eric Fromm—dalam The Art of Loving— idak tertarik—atau juga tidak sanggup—mendefinisikannya. Atau memang cinta sendiri yang tidak perlu definisi bagi dirinya.

Tapi juga terlalu rumit untuk disederhanakan. Tidak ada definisi memang. Dalam agama, atau filsafat atau sastra atau psikologi. Tapi inilah obrolan manusia sepanjang masa. Inilah legenda yang tak pernah selesai.

Maka abadilah Rabiah Al-Adawiyah, Rumi, Iqbal, Tagore atau Gibran karena puisi atau prosa cinta mereka. Abadilah legenda Romeo dan Juliet, Laela Majunun, Siti Nurbaya atau Cinderella. Abadilah Taj Mahal karena kisah cinta di balik kemegahannya.

Cinta adalah lukisan abadi dalam kanvas kesadaran manusia. Lukisan. Bukan definisi. Ia disentuh sebagai sebuah situasi manusiawi, dengan detil-detil nuansa yang begitu rumit. Tapi dengan pengaruh yang terlalu dahsyat.

Cinta merajut semua emosi manusia dalam berbagai peristiwa kehidupannya menjadi sublim: begitu agung tapi juga terlalu rumit. Perang berubah jadi panorama kemanusiaan begitu cinta menyentuh para pelakunya. Revolusi tidak dikenang karena geloranya tapi karena cinta yang melahirkannya. Kekuasaan tampak lembut saat cinta memasuki wilayah-wilayahnya. Bahkan penderitaan akibat kekecewaan kadang terasa manis karena cinta yang melatarinya: seperti Gibran yang kadang terasa menikmati Sayag-sayap Patah-nya.

Kerumitan terletak pada antagoni-antagoninya. Tapi di situ pula daya tariknya tersembunyi. Kerumitan tersebar pada detil-detil nuansa emosinya, berpadu atau berbeda. Tapi pesonanya menyebar pada kerja dan pengaruhnya yang teramat dahsyat dalam kehidupan manusia.

Seperti ketika kita menyaksikan gemuruh badai, luapan banjir atau nyala api, seperti itulah cinta bekerja dalam kehidupan kita. Semua sifat dan cara kerja udara, api dan air juga terdapat dalam sifat dan cara kerja cinta. Kuat. Dahsyat. Lembut. Tak terlihat. Penuh haru biru. Padat makna. Sarat gairah. Dan, antagonis.

Barangkali kita memang tidak perlu definisi. Toh kita juga tidak butuh penjelasan untuk dapat merasakan terik matahari. Kita hanya perlu tahu cara kerjanya. Cara kerjanya itulah definisinya: karena—kemudian—semua keajaiban terjawab di sana.

(Majalah Tarbawi edisi 78 Th. 5/Dzulhijjah 1424 H/19 Pebruari 2004 M)

Negeri Cinta

Arafah. Padang luas tempat kita menghampar jiwa. Semua lebur jadi satu tanpa sekat. Semua sekat; etnis, wama kulit, postur, latar budaya dan sejarah. Ihram putih yang membalut tubuh-tubuh kita menyimbolkan kesatuan. Semua kesatuan: asal usul, tujuan hidup, jalan hidup yang kita tempuh untuk mencapai tujuan itu.

Arafah itu seperti lukisan jiwa-jiwa yang digantung di dinding sejarah. Seluruh jiwa menyatu dalam lukisan yang rumit; disatukan oleh kekuatan yang lahir kekuatan; kekuatan cinta yang lahir kekuatan iman.

Tiba-tiba kita semua merasakan kerendahan hati yang tulus. Lalu jiwa kita hampar bagai permadani; silakan semua orang duduk di sana. Perbedaan-perbedaan ini-etnis, warna kulit, postur, tatar budaya dan sejarah-seketika berubah menjadi sumber keindahan yang menghiasi langit kehidupan kita.

Cintalah rahasianya. Maka ekspansi Islam dari jazirah Arab ke kawasan Asia-Tengah, Selatan, Tenggara dan Cina, atau kawasan Afrika-Selatan dan Utara-sampai ke Eropa Barat dan Timur, bukanlah suatu catatan tentang pedang terhunus yang tak pernah berhenti berdarah. Itu justru serangan pasukan cinta yang datang membebaskan jiwa-jiwa manusia dari belenggu yang membatasi hidupnya dengan sekat tanah dan etnis: maka menyatulah mereka dalam cinta yang melapangkan dunia.

“Akan kami perangi mereka dengan cinta”, kata Hasan Al Banna.

Dalam celupan cinta jiwa-jiwa itu muncul kembali dengan kesamaan-kesamaan baru: keramahan yang tulus, kerendahan hati yang natural, kedermawanan dan kebiasaan menolong orang lain. Pergilah ke negara-negara Islam dan temuilah masyarakatnya, kamu pasti menemukan sifat-sifat itu merata di antara mereka. Itulah sifat-sifat yang lahir dari cinta.

Dan itulah yang terjadi kemudian. Bangsa-bangsa Islam adalah rumpun ideologi yang tidak pernah bisa punah, bahkan ketika khilafah mereka runtuh dan negara-negara mereka porak-poranda.

Bandingkanlah dengan imperium Romawi, atau Persia atau Uni Soviet. Bangsa-bangsa mereka pecah begitu institusi negara mereka runtuh. Nasib seperti ini rasanya juga akan dialami oleh negara-negara kosmo saat ini. Materialisme telah membangun sebuah dunia kosmo yang disatukan dan dipisahkan oleh uang.

Di dunia kita saat ini, krisis ekonomi bisa dengan mudah menghancurkan sebuah bangsa, menutup riwayat sebuah negara. Seperti Uni Soviet. Walaupun tidak dapat meramalkan waktu kejadiannya, tapi saya memiliki kepercayaan yang kuat, bahwa Amerika Serikat juga akan mengalami masa depan yang sama.

Batasan negeri kita, dan negeri mana pun, adalah ruang hati kita. Seluas apa ruang hati kita dapat menampung orang lain, seluas itulah negeri yang mungkin kita huni. Selama apa cinta dapat bertahan dalam hati kita, selama itulah umur negeri kita. Dalam kehidupan berbangsa dan bernegara yang rumit sebenarnya tersimpan sebuah ratiasia yang sederhana: keutuhan kita sebagai bangsa seumur dengan umur cinta kita.

(Majalah Tarbawi edisi 87 Th. 5/Jumadil Awwal 1425 H/24 Juni 2004 M)

Disini Cinta Punya Hirarki

“Aku mencintaimu, wahai Rasulullah, melebihi cintaku pada semua yang lain, kecuali diriku sendiri.” Begitu Umar Bin Khattab berkata pada Rasulullah saw. la hendak menyatakan cintanya pada Sang Rasul. Dengan caranya sendiri.

Tapi ia tidak menduga kalau jawaban Sang Rasul justru berbeda sama sekali. “Tidak! Wahai Umar! Sampai aku lebih engkau cintai daripada dirimu sendiri,” jawab Rasulullah saw.

Itu ciri utamanya. Hirarki. Cinta misi berawal dan berujung pada satu dan hanya satu nama: Allah Subhanahu Wataala. Tapi Allah yang menjadi awal dan akhir dari semua cinta berkata kepada Nabi dan kekasih-Nya, Muhammad saw, “Katakanlah pada mereka, jika kamu mencintai Allah, maka ikutilah aku.” Maka cinta pada Allah harus turun pada cinta kepada Rasul-Nya, Muhammad saw.

Tapi cinta pada Muhammad saw mengharuskan kita mencintai semua manusia yang telah beriman kepadanya, khususnya para anggota keluarga yang luhur dan sahabat-sahabatnya yang mulia, dan kepada semua generasi yang datang sesudah mereka dari para tabiin dan pengikut para tabiin, serta siapapun yang mengikuti jalan hidup (manhaj) mereka dari kaum salaf bersama seluruh generasi mukmin hingga hari kiamat.

Cukup? Belum! Masih ada lagi. Cinta pada orang-orang beriman mengharuskan kita mencintai semua ‘pekerjaan’ yang mendekatkan kita pada Allah, Rasul-Nya dan orang-orang beriman. Jadi cinta pada Allah harus turun pada orang dan pekerjaan. Orang-orang itu terdiri dari Nabi dan semua orang beriman. Pekerjaan itu terdiri dari semua amal saleh.

Begitu hirarkinya. Semua cinta kita yang lain hanya akan menjadi lurus kalau ia menyesuaikan diri dengan hirarki ini. Cinta pada istri-istri dan anak-anak dan sanak saudara dan handai taulan dan sahabat karib dan rumah-rumah dan mobil-mobil dan harta-harta dan semua dan semua hanya akan menjadi lurus jika ia berada dalam mang besar yang bernama cinta pada Allah SWT. Perasaan kita harus ditata dalam struktur cinta seperti itu.

Cinta misi adalah sebuah ruang besar tanpa batas. Semua cinta yang lain harus disusun secara proporsional dalam mang besar itu. Tidak mudah, memang. Tapi inilah sumber keharmonisan jiwa manusia.

Hanya ketika emosi tertata secara apik dalam hirarki cinta misi, kita menemukan pemaknaan yang hakiki terhadap semua aliran emosi kita yang lain. Persis seperti anak-anak sungai yang mengalir sendiri-sendiri: pada mulanya menyatu di hulu, laiu tampak berpencar di tengah, tapi kemudian bertemu lagi di muara.

Dengan cara itu Al Banna memaknai cintanya pada Allah dan dakwah. Suatu saat anaknya terbaring sakit. Panasnya meninggi. Istrinya panik. Beliau sendiri sedang menjalankan sebuah aktivitas dakwah. Tapi sang istri memanggilnya pulang. Ia tidak kuat sendiri menghadapinya. la khawatir terjadi sesuatu pada anak mereka. Tapi sang dai menjawab enteng, “Ajalnya ada di tangan Allah. Kedatanganku tidak akan menambah atau menguranginya.”

Majalah Tarbawi edisi 110 Th. 7/Jumadil Ula 1426 H/9 Juni 2005 M

Cinta Bersemi di Pelaminan

Lupakan! Lupakan semua cinta jiwa yang tidak akan sampai ke pelaminan. Tidak ada cinta jiwa tanpa sentuhan fisika. Semua cinta dari jenis yang ini yang tidak berujung dengan penyatuan fisik hanya akan mewariskan penderitaan bagi jiwa. Misalnya yang dialami Nashr bin Hajjaj di masa Umar bin Khattab.

Ia pemuda paling ganteng yang ada di Madinah. Sholeh dan kalem. Secara diam-diam gadis-gadis Madinah mengidolakannya. Sampai suatu saat Umar mendengar seorang perempuan menyebut namanya dalam bait-bait puisi yang dilantunkannya di malam hari.

Umar pun mencari Nashr. Begitu melihatnya, Umar terpana dan mengatakan, ketampanannya telah menjadi fitnah bagi gadis-gadis Madinah. Akhirnya Umar pun memutuskan untuk mengirimnya ke Basra.

Di sini, ia bermukim pada sebuah keluarga yang hidup bahagia. Celakanya, Nashr justru jatuh cinta pada istri tuan rumah. Wanita itu juga membalas cintanya.

Suatu saat mereka duduk bertiga bersama sang suami. Nashr menulis sesuatu dengan tangannya di atas tanah yang lalu dijawab oleh sang istri. Karena buta huruf, suami yang sudah curiga itu pun memanggil sahabatnya utuk membaca tulisan itu.

Hasilnya: “Aku cinta padamu!” Nashr tentu saja malu karena ketahuan. Akhirnya ia meninggalkan keluarga itu dan hidup sendiri. Tapi cintanya tak hilang. Dan ia menderita karenanya. Sampai ia jatuh sakit dan badannya kurus kering.

Suami perempuan itu pun kasihan dan menyuruh istrinya untuk mengobati Nashr. Betapa gembiranya Nashr ketika perempuan itu datang.

Tapi cinta tak mungkin tersambung ke pelaminan. Mereka tidak melakukan dosa, memang. Tapi mereka menderita. Dan Nashr meninggal setelah itu.

Itu derita panjang dari sebuah cinta yang tumbuh di lahan yang salah.

Tragis memang. Tapi ia tak kuasa menahan cintanya. Dan ia membayarnya dengan penderitaan hingga akhir hayat. Pastilah cinta yang begitu akan jadi penyakit. Sebab cinta yang ini justru menemukan kekuatannya dengan sentuhan fisika.

Makin intens sentuhan fisiknya, makin kuat dua jiwa saling tersambung. Maka ketika sentuhan fisik jadi mustahil, cinta yang ini hanya akan berkembang jadi penyakit.

Itu sebabnya Islam memudahkan seluruh jalan menuju pelaminan. Semua ditata sesederhana mungkin.
Mulai dari proses perkenalan, pelamaran, hingga mahar dan pesta pernikahan. Jangan ada tradisi yang menghalangi cinta dari jenis yang ini untuk sampai ke pelaminan.

Tapi mungkin halangannya bukan tradisi. Juga mungkin tidak selalu sama dengan kasus Nashr. Kadang-kadang misalnya, karena cinta tertolak atau tidak cukup memiliki alasan yang kuat untuk dilanjutkan dalam sebuah hubungan jangka panjang yang kokoh.

Apapun situasinya, begitu peluang menuju pelaminan tertutup, semua cinta yang ini harus diakhiri. Hanya di sana, cinta yang ini absah untuk tumbuh bersemi: di singgasana pelaminan

(Majalah Tarbawi edisi 121 Th. 7/Dzulqa’dah 1426 H/8 Desember 2005 M)

Cinta Maslahat

Ini jenis cinta ketiga: cinta maslahat. Cinta ini lahir dari dan karena dan untuk maslahat.

Kita mencintai sesuatu atau seseorang atau sebuah pekerjaan karena ada maslahatyang kita peroteh di balik itu. Jadi maslahat adalah alasannya.Maslahat itu bisa terbatas dalam skala pribadi bisa juga meluas dalam skala kelompok atau bangsa atau bahkan dunia.

Dalam skala pribadi misalnya cinta hobi. Para pembalap atau pemburu menanggung resiko besar dari aktivitas mereka. Tapi mereka melakukannya karena hobi: maslahat mereka adalah kenyamanan karena kepuasan psikologis.

Dalam skala kelompok misalnya cinta para pengusaha kepada pelanggan mereka. Mereka mengeluarkan uang besar untuk melakukan survey tentang kebutuhan pelanggan mereka. Lalu membangun sistem dan tradisi pelayanan yang baik untuk memuaskan pelanggan mereka: karena di balik itu ada untung besar.

Dalam skala bangsa misalnya adalah apa yang dilakukan para politisi untuk mendapatkan dukungan suara rakyat dalam pemilu. Mereka mungkin tidak didorong oleh misi suci ibadah untuk memperbaiki keadaan rakyat mereka. Tapi mereka tetap harus melakukan sesuatu untuk mendapatkan simpati mereka: kelanjutan karir mereka ada pada dukungan suara mereka.

Dalam skala dunia misalnya gerakan cinta lingkungan yang muncul setelah perang dan industri mengancam keselamatan lingkungan global.

Dalam lingkungan pergaulan sehari-hari, kadang-kadang kita harus “berbuat baik” pada seseorang atau sekelompok orang. Bukan karena kita mencintai orang atau kelompok tersebut. Tapi dengan berbuat baik pada mereka kita melindungi diri kita dari potensi kejahatan mereka. Ini juga cinta maslahat.

Dulu Umar Bin Khattab memberikan sepuluh ribu dirham kepada seorang penyair. Untuk apa? Agar dia tidak membuat syair-syair hinaan kepada siapa saja yang bisa mempengaruhi ketenangan masyarakat. Karena syair punya pengaruh besar dalam masyarakat Arab. Katakanlah seperti pengaruh media dalam masyarakat kita saat ini.

Menghindari kejahatan seseorang dengan berbaik-baik pada mereka adalah cinta maslahat. Bukan cinta misi. Bukan juga cinta jiwa. Pendorongnya bukan dari dalam jiwa. Tapi dari luar.

Hanya berguna untuk keseluruhan eksistensi jiwa dan proses pencapaian misi kita. Kecuali dalam kasus cinta hobi, cinta maslahat umumnya adalah buah dari akal sehat atau hasrat pemuasan jiwa. Akal sehat selalu lahir dari fitrah kemanusiaan yang lurus. Maka buahnya pun begitu: selalu berguna bagi maslahat kemanusiaan.

(Majalah Tarbawi edisi 144 Th. 8/Dzulqa’dah 1427 H/7 Desember 2006 M

Cinta dari Maslahat Pribadi

Memang gagah laki-laki itu. Tinggi, besar, ganteng dan seorang pemberani. Ia senang berburu. Dan ia memanjakan kegemaran pribadinya itu sejauh yang bisa ia lakukan.

Maka ia pun berburu ke seluruh tempat perburuan di manca negara: Afrika, Amerika, Kanada, Asia Tengah, Eropa Timur, dan lainnya. Meskipun untuk setiap kali berburu ia harus mengeluarkan uang ratusan juta atau bahkan milyaran rupiah.

Bukan cuma itu. Ia juga mengoleksi hasil buruannya dalam sebuah galeri besar: bangunan berlantai tiga. Walau pun galeri ini terletak di Medan, tapi mungkin bahkan yang terbesar di Asia. Maka tidak heran kaiau untuk semua itu ia tercatat sebagai salah seorang the great hunter di jagad ini.

Orang-orang melakukan kerja-kerja besar bahkan raksasa, mengerahkan semua pikiran, energi, waktu dan sumber daya lainnya untuk sesuatu yang ia gemari, sesuatu yang ia senangi, sesuatu yang ia cintai.

Kita sebut ini hobi. Tapi sumber energinya adalah cinta. Itu yang menjelaskan mengapa hasilnya selalu besar, selalu spektakuler, selalu luar biasa, selalu menakjubkan.

Jadi hobi adalah kegemaran, kesenangan dan cinta yang bermuara pada hajat dan maslahat pribadi seseorang. Maslahat pribadi itu biasanya benar-benar pribadi. Misalnya dalam kasus perburuan ini adalah kepuasan batin, eksplorasi perasaan kejantanan dan maskulinitas, kebanggaan dan keberanian, semangat petualangan dan seterusnya. Biasanya juga tidak merusak orang lain atau kepentingan publik. Karena orientasinya adalah pemuasan pribadi.

Tapi kadang-kadang maslahat pribadi itu bisa juga terkait dengan maslahat umum yang lebih besar. Misalnya jika kegemaran berburu itu dilakukan dalam kerangka konservasi alam dan hasilnya untuk kepentingan pendidikan bagi publik. Atau perburuan barang-barang antik dari para kolektornya untuk kemudian disimpan dalam sebuah museum pribadi tapi bisa dinikmati publik.

Kadang juga tidak bisa dikaitkan sama sekali dengan maslahat publik. Tapi sumber energinya bisa dialihkan pada pekerjaan lain yang lebih bermanfaat bagi publik.

Sebab hobi adalah sumber energi yang sangat dahsyat dalam diri seseorang. Misalnya jika kita bisa mengalihkan hobi para pencinta binatang kepada pencinta manusia. Maka kegemaran merawat, melindungi, dan memelihara binatang dialihkan menjadi perawatan, perlindungan dan pemeliharaan manusia.

Hasilnya bisa sama dahsyatnya. Misalnya dalam bidang aktivitas sosial atau pendidikan.

Cerita itulah yang mengawali perubahan hidup dari seorang da’i besar abad lalu: Umar Tilmsani.
Mursyid Am ketiga Ikhwanui Muslimin ini pada mulanya adalah seorang pencinta binatang. Areal rumah pribadinya yang hampir satu hektar dipenuhi dengan binatang peliharaannya. Dan ia sedang bermain dengan binatang-binatang itu ketika sekelompok pemuda dakwah mendatanginya dalam kerangka rekrutmen dakwah.

Mereka tidak banyak bicara soal dakwah. Mereka justru ikut bicara soal binatang. Tapi di ujung pertemuan itu mereka mengeluarkan sebuah komentar yang kemudian mengubah seluruh hidup Umar Tilmsani. Mereka berkata pada beliau, “Seandainya kegemaran memelihara binatang ini dialihkan kepada memelihara manusia, mungkin itu akan jauh lebih bermanfaat. Sebab manusia muslim yang memerlukan pendidikan jauh lebih banyak dan lebih penting dari binatang-binatang ini.”

Mari Kita Belajar Mencintai

Jika cinta, pada semua jenisnya, adalah kesadaran, adalah perasaan, adalah tindakan, maka cinta pada akhirnya adalah kemampuan yang terintegrasi dalam seluruh aspek kepribadian kita.

Kemampuan seseorang untuk mencintai adalah gambaran paling utuh dari seluruh kapasitas kepribadiannya. Hanya orang-orang dengan kepribadian kuat dan kapasitas besar yang mampu mencintai. Orang-orang lemah, yang setiap saat bisa kita saksikan di sekitar kita, tidak akan pernah mencintai. Bahkan untuk mencintai diri mereka sekalipun. Takdir mereka adalah menantikan cinta dan kasih sayang orang-orang kuat.

Orang-orang kuat mencintai dengan segenap kesadarannya. Maka mereka terus-menerus memproduksi kebajikan demi kebajikan. Sementara orang-orang lemah bahkan tidak memiliki kesadaran untuk mencintai. Maka mereka terus-menerus mengkonsumsi kebajikan orang-orang kuat. Itu sebabnya orang-orang kuat dalam masyarakat selalu merupakan faktor kohesi yang merekatkan masyarakat.

Mereka merekatkan masyarakat dengan cinta dan kebajikan mereka. Makna inilah yang ditebarkan oleh Rasulullah saw begitu beliau tiba di Madinah dan memulai kerja membangun negara baru itu: “Wahai sekalian manusia, tebarkan salam, berikan makan, bangun sholat malam saat orang-orang tertidur, niscaya kalian akan masuk surga dengan penuh damai”.

Ini merupakan penjelasan bagi keterangan selanjutnya. Bahwa untuk bisa mencintai, bahwa untuk menjadi pencinta sejati, kita harus mengembangkan kapasitas dan kepribadian kita. Cinta adalah pelajaran tentang bagaimana mengubah kepribadian kita untuk menjadi lebih baik secara berkesinambungan, pelajaran tentang bagaimana menjadi manusia yang produktif untuk bisa memberi, pelajaran tentang bagaimana menjadi orang kuat yang penyayang, pelajaran tentang bagaimana melimpahruahkan kebajikan abadi bagi penumbuhan kehidupan orang-orang di sekitar kita yang kadang berujung tanpa sedikitpun rasa terima kasih, atau bahkan penolakan.

Ini bukan pelajaran tentang teknik atau keterampilan mencintai seperti ketika belajar tentang tehnik berkomunikasi dengan orang lain, atau bagaimana merebut hati seseorang untuk suatu hubungan cinta asmara. Bukan. Sama sekali bukan tentang itu.

Ini adalah pelajaran tentang bagaimana membangun kembali dasar-dasar kepribadian yang kokoh dan tangguh, yang memungkinkan kita mencintai secara sadar, bertanggungjawab dan bertindak produktif untuk membuktikan cinta itu dalam kenyataan. Dan dengan begitu cinta bukan saja berefek pada perbaikan berkesinambungan terhadap hubungan-hubungan kemanusiaan kita, tapi juga terutama pada perbaikan kehidupan kita seluruhnya secara berkesinambungan.

Dan ini mungkin dan terbuka. Semua kita bisa mempelajarinya. Alasannya sangat sederhana. Rasulullah saw bersabda: “Ilmu diperoleh dengan belajar. Kesabaran diperoleh dengan belajar menjadi sabar. Kesantunan diperoleh dengan belajar menjadi santun.”

Ini menjelaskan bahwa di samping karakter-karakter bawaan yang melekat dalam diri kita sebagai warisan genetik, semua karakter lain bisa kita peroleh dengan mempelajari dan mengimplementasikannya dalam kehidupan kita.

Begitu juga cinta. Begitu juga cinta. Semua kita bisa mencintai. Semua kita mungkin menjadi pencinta sejati. Asal kita kita mau belajar. Asal kita mau belajar bagaimana mencintai.

Majalah Tarhawi edisi 148 Th. 8/Muharram 1428 H/1 Februari 2007 M

Mata Air Keluhuran
Galau benar hati sang raja. Putera mahkotanya ternyata seorang pemuda pemalas. Apatis. Talenta raja-raja tidak terlihat dalam pribadinya. Suatu saat sang raja menemukan cara mengubah pribadi puteranya: the power of love.

Sang raja mendatangkan gadis-gadis cantik ke istananya. Istana pun seketika berubah jadi taman: semua bunga mekar di sana. Dan terjadilah itu. Sesuatu yang memang ia harapkan: puteranya jatuh cinta pada salah seorang di antara mereka. Tapi kepada gadis itu sang raja berpesan, “Kalau puteraku menyatakan cinta padamu, bilang padanya, “Aku tidak cocok untukmu. Aku hanya cocok untuk seorang raja atau seseorang yang berbakat jadi raja.”

Benar saja. Putera mahkota itu seketika tertantang. Maka ia pun belajar. Ia mempelajari segala hal yang harus diketahui seorang raja. Ia melatih dirinya untuk menjadi raja. Dan seketika talenta rajaraja meledak dalam dirinya. Ia bisa, ternyata! Tapi karena cinta!

Cinta telah bekerja dalam jiwa anak muda itu secara sempurna. Selalu begitu: menggali tanah jiwa manusia, sampai dalam, dan terus ke dalam, sampai bertemu mata air keluhurannya. Maka meledaklah potensi kebaikan dan keluhuran dalam dirinya. Dan mengalirlah dari mata air keluhuran itu sungai-sungai kebaikan kepada semua yang ada di sekelilingnya. Deras. Sederas arus sungai yang membanjir, desak mendesak menuju muara. Cinta menciptakan perbaikan watak dan penghalusan jiwa. Cinta memanusiakan manusia dan mendorong kita memperlakukan manusia dengan etika kemanusiaan yang tinggi.

Jatuh cinta adalah peristiwa paling penting dalam sejarah kepribadian kita. Cinta, kata Quddamah, mengubah seorang pengecut menjadi pemberani, yang pelit jadi dermawan, yang malas jadi rajin, yang pesimis jadi optimis, yang kasar jadi lembut. Kalau cinta kepada Allah membuat kita mampu memenangkan Allah dalam segala hal, maka cinta kepada manusia atau hewan atau tumbuhan atau apa saja, mendorong kita mempersembahkan semua kebaikan yang diperlukan orang atau binatang atau tanaman yang kita cintai. Jatuh cinta membuat kita mau merendah, tapi sekatigus bertekad penuh untuk menjadi lebih terhormat.

Cobalah simak cerita cinta Letnan Jenderai Purnawirawan Yunus Yosfiah, yang suatu saat ia tuturkan pada saya dan beberapa kawan lain. Ketika calon istrinya menyatakan bersedia hijrah dari Katolik menuju Islam, ia tergetar hebat. “Kalau cinta telah mengantar hidayah pada calon istrinya,” katanya membatin, “seharusnya atas nama cinta ia mempersembahkan sesuatu yang istimewa padanya.”

Ia sedang bertugas di Timor Timur saat itu. Maka ia berjanji, “Besok aku akan berangkat untuk sebuah operasi. Aku berharap bisa mempersembahkan kepala dedengkot Fretilin untukmu.” Tiga hari kemudian, janji itu ia bayar lunas!

Gampang saja memahaminya. Keluhuran selalu lahir dari mata air cinta. Sebab, “cinta adalah gerak jiwa sang pencinta kepada yang dicintainya,” kata Ibnul Qoyyim.

Penulis : Anis Matta
(Sumber: Majalah Tarbawi edisi 81 Th. 5/Shafar 1425 H/2 April 2004 M)
Puncak Iman
Kamu takkan pemah sanggup mendaki sampai ke puncak gunung iman, kecuali dengan satu kata: cinta. Imanmu hanyalah kumpulan keyakinan semu dan beku, tanpa nyawa tanpa gerak, tanpa daya hidup tanpa daya cipta. Kecuali ketika ruh cinta menyentuhnya. Seketika ia hidup, bergeliat, bergerak tanpa henti, penuh vitalitas, penuh daya cipta, bertarung dan mengalahkan diri sendiri, angkara murka atau syahwat.

     Iman itu laut cintalah ombaknya.
     Iman itu api cintalah panasnya.
     Iman itu angin, cintalah badainya.
     Iman itu salju, cintalah dinginnya.
     Iman itu sungai, cintalah arusnya.

Seperti itulah cinta bekerja ketika kamu harus memenangkan Allah atas dirimu sendiri, atau memenangkan iman atas syahwat. Seperti itu pula cinta bekerja dalam diri pemuda ahli ibadah itu. Kejadiannya diriwayatkan Al Mubarrid dari Abu Kamil dan Ishak bin Ibrahim dari Raja’ bin Amr Al Nakha’i.

Seorang pemuda Kufa yang dikenal ahli ibadah suatu saat jatuh cinta dan tergila-gila pada seorang gadis. Cintanya berbalas. Gadis itu sama gilanya. Bahkan ketika lamaran sang pemuda ditolak karena sang gadis telah dijodohkan dengan saudara sepupunya, mereka tetap nekat, ternyata. Gadis itu bahkan menggoda kekasihnya, “Aku datang padamu atau kuatur cara supaya kamu blsa menyelinap ke rumahku”. Itu jelas jalan syahwat.

“Tidak! Aku menolak kedua pilihan itu. Aku takut pada neraka yang nyalanya tak pernah padam!” Itu jawaban sang pemuda yang menghentak sang gadis. Pemuda itu memenangkan iman atas syahwatnya dengan kekuatan cinta.

“Jadi dia masih takut pada Allah?” gumam sang gadis. Seketika ia tersadar dan dunia tiba-tiba jadi kerdil di matanya. Ia pun bertaubat dan kemudian mewakafkan dirinya untuk ibadah. Tapi cintanya pada sang pemuda tidak mati. Cintanya berubah jadi rindu yang mengelana dalam jiwa dan doa-doanya. Tubuhnya luluh lantak didera rindu. la mati, akhirnya.

Sang pemuda terhenyak. Itu mimpi buruk. Gadisnya telah pergi membawa semua cintanya. Maka kuburan sang gadislah tempat ia mencurahkan rindu dan do’a-do’anya. Sampai suatu saat ia tertidur di atas kuburan gadisnya. Tiba-tiba sang gadis hadir dalam tidurnya. Cantik. Sangat cantik.

“Apa kabar? Bagaimana keadaanmu setelah kepergianku,” tanya sang gadis.
“Baik-baik saja. Kamu sendiri di sana bagaimana?” jawabnya sambil balik bertanya.
“Aku di sini dalam surga abadi, dalam nikmat dan hidup tanpa akhir,” jawab gadisnya.
“Doakan aku. Jangan pernah lupa padaku. Aku selalu ingat padamu. Kapan aku bisa bertemu
denganmu?” tanya sang pemuda lagi.
“Aku juga tidak pernah lupa padamu. Aku selalu berdoa agar Allah menyatukan kita di surga.
Teruslah beribadah. Sebentar lagi kamu akan menyusulku,” jawab sang gadis.

Hanya tujuh malam setelah mimpi itu, sang pemuda pun menemui ajalnya. Atas nama cinta ia memenangkan Allah atas dirinya sendiri, memenangkan iman atas syahwatnya sendiri. Atas nama cinta pula Allah mempertemukan mereka. Cinta selalu bekerja dengan cara itu.

Penulis : Anis Matta
(Sumber: Majalah Tarbawi edisi 80 Th. 5/Muharram 1425 H/18 Maret 2004 M)


Previous
Next Post »

Komentar harus sopan, tidak mengandung spam dan iklan ConversionConversion EmoticonEmoticon

Thanks for your comment